Mencapai kemerdekaan Indonesia tidak seperti membalikkan sebelah tangan, namun melalui tahap-tahap perjuangan panjang yang tidak mudah, baik dengan kekuatan fisik dan diplomasi. Ribuan korban berjatuhan dan air mata mengalir di bumi Ibu Pertiwi.
Sejak Serikat Dagang Belanda mendirikan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) masuk ke Indonesia pada 1602 dan kekuasaannya kemudian diambil alih oleh Pemerintah Belanda 1648 -karena VOC bangkrut banyak korupsi – perlawanan terhadap kekuatan asing dilakukan bertubi-tubi oleh kekuatan-kekuatan kedaerahan antara lain:
- Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, cukup sengit memberikan perlawanan bersenjata terhadap Belanda, setelah dia berhasil menggabungkan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia Timur 16531669.
- Perang Diponegoro (Perang Jawa) berkobar selama lima tahun (1825-1830) setelah Belanda merampas tanah pemakaman leluhur Pangeran Diponegoro karena dianggap tidak menghormati adat istiadat yang berlaku di daerah itu.
- Perang Bonjol di Sumatra Barat pun berkobar setelah ulama (padri) mendeklarasikan perang melalui Ikrar Tandikat di lereng Gunung Tandikat pada 11 Januari 1833 karena sentimen keagamaan dan kedaerahan.
- Perjuangan rakyat Maluku pimpinan Kapitan Pattimura melawan pedudukan Belanda secara politik dan militer.
- Pahlawan wanita Martha Christina Tiahahu, anak Kapitan Paulus Tiahahu, terjun langsung melawan Belanda membantu Kapitan Pattimura pada tahun 1817.
- Pada masa kesadaran kebangsaan yang merasa senasib dijajah Belanda selama itu, maka bermunculanlah gerakan-gerakan melawan monopoli perdagangan yang dikuasai oleh Belanda dipimpin oleh Haji Samanhudi di Solo, bernama Serikat Dagang Islam tahun 1905 — sebagai embrio Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto, guru dan mentor politik Bung Karno.
- Kemudian berdiri pada 1908 gerakan Budi Utomo dipimpin oleh dr. Soetomo yang lebih menonjol mengarah kepada nasionalisme anti kolonialisme. Kaum sosialis dan komunispun mengekspresikan anti kolonialisme melalui infiltrasi di tubuh Serikat Dagang Islam, sehingga pecah menjadi Serikat Dagang Islam yang yang Hijau dan Serikat Dagang Islam yang Merah.
Berlangsungnya Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, merupakan terobosan yang luar biasa pentingnya bagi kesadaran satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.
Mengusir penjajahan Belanda memang tidak mudah karena Indonesia terdiri dari ribuan pulau, suku bangsa dan bahasa yang pendidikannya pada saat itu sangat rendah sehingga mudah dipecah belah dan diadu domba oleh penjajah. Juga karena belum punya persenjataan dan teknologi modern yang bisa menandingi teknologi yang dimiliki oleh penjajah saat itu. Juga mungkin karena sudah bercokolnya kaum penjajah terutama Belanda selama ratusan tahun, sehinga amat susah dicabut akarnya. Salah satu pembuka kesempatan yang sangat menentukan untuk kemerdekaan adalah pendudukan Jepang di beberapa wilayah Asia, termasuk Indonesia, selama Perang Dunia II, yang melululuhlantakkan supremasi Orde Penjajah, sehingga bangsa-bangsa itu lebih percaya diri bisa mengalahkan penjajah Barat. Indonesia segera memproklamirkan kemerdekaannya dua hari setelah Jepang takluk menghadapi kekuatan Sekutu.
Pada tahap ini sewaktu Indonesia mempertahankan Kemerdekaan, pimpinan Soekarno-Hatta, mengalami tantangan hebat dari Belanda, yang didukung oleh sekutu-sekutunya negara Barat. Kedatangan tentara sekutu di Surabaya yang dipimpin Jenderal Mellaby dari Inggris, yang bertugas melucuti tentara Jepang, ternyata membawa tentara Belanda untuk menjajah Indonesia kembali. Pertempuran antara pemuda Indonesia yang gagah berani melawan tentara sekutu di Surabaya, telah banyak makan korban nyawa pemuda dan penduduk sipil, sehingga 10 November 1945, dikenang sebagai Hari Pahlawan. Dalam peristiwa ini Jenderal Mallaby sendiri terbunuh.
Berturut-turut kekejaman Belanda dalam banyak peristiwa lainnya, antara lain, pembantaian Kapten Westerling terhadap penduduk sipil di Sulawesi Selatan sebanyak 40.000 orang (1946-1947), pembantaian petani di Rawa Gede, Jawa Barat, 150 tewas ditembak dan 431 luka-luka, (Desember 1947) dan peristiwa lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Selain itu belum lagi kesulitan sosial ekonomi yang dialami oleh bangsa selama pengepungan oleh Belanda terhadap Daerah Republik Indonesia oleh Daerah Pendudukan yang dikuasai Belanda.
Sementara pemimpin-pemimpin Indonesia melanjutkan perjuangan melalui perundingan diplomasi, pemuda-pemudinya melancarkan perjuangan menyabung nyawa di medan gerilya. Melihat situasi konflik yang terus bergolak antara Indonesia dan Belanda, maka Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) pada 26 Agustus 1947, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia dan Belgia, dengan tugas pokok menengahi konflik antara Indonesia dan Belanda. Perundingan pertama diadakan di Linggarjati (Jawa Barat) dan kedua diadakan di kapal perang Renville (milik Amerika Serikat) pada 17 Januari 1948. Hasil perundingan yang semula disepakati bersama, tidak lama kemudian dilanggar oleh Belanda, masing-masing dengan aksi militer ke-satu dengan menduduki Daerah Pendudukan. Aksi militer ke-dua dengan menduduki seluruh Daerah Pendudukan termasuk ibu kota R.I. Yogyakarta dan menangkap Soekarno-Hatta dan kawan-kawannya.
Atas reaksi Indonesia yang melanjutkan perang gerilya dibawah komando Tentara Republik Indonesia, maka Belanda setuju diadakan Perundingan Roem-Roiyen di Nederland yang kemudian berbuah dengan dilanjutkan Perundingan Komisi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949. Delegasi Indonesia dalam KMB dipimpin oleh Bung Hatta. Perundingan KMB ini membuahkan pengakuan Belanda dan dunia internasional atas kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia, sehingga pada tahun 1950, Indonesia resmi diterima menjadi anggota PBB.
Melalui uraian di atas kita mengetahui betapa susahnya mencapai Indonesia merdeka dan menyadari betapa sulitnya mempertahankan kemerdekaan. Pejuang-pejuang dan rakyat umumnya mengorbankan segala-galanya untuk kemerdekaan tanah air. Mereka hidup dalam kesederhanaan dan keprihatinan. Pidato Bung Karno dan pidato Bung Hatta bertubi-tubi menjelaskan bahwa kemerdekaan hanya merupakan “jembatan emas” menuju keadilan kemakmuran bagi bangsa seluruhnya, yang berarti bukan bagi yang berkuasa dan penyelenggara negara atau bagi mereka yang hanya ingin menggali dan korupsi kekayaan alam Indonesia.
Apa yang kita rasakan sekarang setelah merdeka beberapa puluh tahun (78 tahun). Memang sudah banyak ada kemajuan di beberapa sektor : politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan pembangunan fisik,namun belum maksimal dan masih tertinggal kemajuannya dengan beberapa negeri tetangga yang “startnya” atau memulai melancarkan pembangunannya setelah Indonesia. Beberapa pakar berpendapat bahwa – setelah Indonesia merdeka – banyak pemimpin-pemimpin sekarang (bukan semua) yang memegang kekuasaan bermandi kemewahan, lupa dan tidak peka melihat penderitaan rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Kata beberapa pendapat juga, setelah merdeka beberapa tahun, terjadi perubahan karakter bangsa yang dulunya bersifat peduli sesama, ramah-tamah dan suka bergotong royong, sekarang hidup sangat individualistis. Juga disinyalir timbul penyakit-penyakit sosial seperti korupsi yang dianggap bukan mencuri uang rakyat.
Korupsi dan narkoba, dua kejahatan, yang paling merusak dan sangat menghalangi kemajuan bangsa dan negara, sehingga seorang pucuk pimpinan negeri tertinggi yang baik dan jujur pun, kadang tidak bisa meneruskan suatu pembangunan karena APBN hasil pajak dari rakyat, tidak cukup untuk membiayainya dan “proyeknya menjadi mangkrak”. Lalu negara terpaksa berutang ke negara-negara lain berlebihan yang nantinya menjadi beban anak cucu untuk membayarnya. Juga disinyalir adanya berbisnis tanpa etika, beribadah tanpa moralitas, berilmu tanpa akhlak, berdemokrasi disertai anarki, suka menuntut tanpa taat kepada aturan yang berlaku, “amar makruf nahi mungkar” disertai kemungkaran, berucap tanpa bekas dalam berbuat, tawuran antar warga dan aparat serta tawuran antar aparat itu sendiri.
Lembaga Transparansi International (TII) melaporkan pada tahun 2022 (laporan ini terbit 1 Februari 2023), yaitu Index Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Laporan ini menunjukkan Indonesia semakin mendekati deretan negara paling korup di dunia.
Marilah kita sadar sebagai manusia terdidik dan sebagai pemimpin bahwa bangsa ini pada dasarnya baik, cinta kesederhanaan dan cinta sesama yang a.l. diperlihatkan dengan semangat gotong royong. Namun penyakit-penyakit sosial yang muncul karena sebagian dari kita menyukai kehidupan materi secara berlebihan, yaitu terutama di kalangan penguasa oligarki dan pengusaha hitam. Hal ini telah membawa mundurnya kehidupan moral kita. Dikira kehidupan materi adalah segala-galanya yang harus dikejar dengan cara yang tidak halal pun. Sebenarnya ada kehidupan moral dan spiritual yang dapat menciptakan ketenangan dan mengangkat derajat dan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat.
Namun untuk keselamatan dan kelanjutan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia — sebelum dirusak dan dibubarkan oleh pelaku-pelaku penyakit sosial — yang menghalangi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat — maka penegakan hukum harus dilaksanakan secara serius, benar dan adil tidak hanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja, melainkan juga oleh segenap kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, bersama rakyat yang bebas menyatakan pendapat dan kritik yang membangun dengan penuh tanggung jawab.
Kebebasan berpendapat jangan sampai digunakan saling menghina, memfitnah, caci-maki untuk menjatuhkan martabat seseorang, siapa pun dia, dengan alasan berdemokrasi dan merupakan Hak Asasi Manusia. Berdemokrasi ala sebagian negara Barat yang tanpa tanggung jawab akan menimbulkan kegaduhan dan keonaran serta perpecahan. Bagi bangsa Indonesia hal itu tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila yang antara lain menyerukan kita berbuat sesuai dengan “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sesuai dengan adat ketimuran. Sebaliknya kediktatoran dan kesewenang-wenangan penguasa dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan di kalangan rakyat yang mengerikan.
Jadi yang terbaik itu adalah khairul umuri ausatuha. Artinya, sebaiknya segala urusan itu diselesaikan dengan jalan “tengah”, jalan “musyawarah” dan berargumen dengan pikiran yang sehat. Bukan dengan kekuatan dan kekerasan.
Dirgahayu Republik Indonesia !!!

Penulis: Hamid Alhadad, Mantan Diplomat; Duta Besar RI untuk Republik Aljazair 1991-1994) dan untuk Kerajaan Kamboja (1997-2000).