Ads
Aktualita

Ende di Suatu Masa: Refleksi Perayaan HUT RI ke-78

Ditulis oleh Panji Masyarakat

HUT Proklamasi ke-78 segera tiba.
Saat-saat begini selalu mengingatkan saya pada pengalaman masa muda di Ende, Nusa Tenggara Timur. Kota kecil tempo doeloe yang menyimpan sejuta kenangan tentang perayaan hari lahir bangsa.
Perayaan 17 Agustus masa itu di kota kecil tempat Bung Karno menemukan nilai-nilai luhur bangsa yang kelak jadi dasar negara Pancasila ini berlangsung luar biasa meriah. Melibatkan seluruh warga.
Sebulan sebelumnya kota Ende sudah berhias diri. Bak perawan cantik yang sedang menanti dilamar sang kekasih. Rangkaian kegiatan dilakukan sejak pertengahan Juli.


Gotong royong bersihkan lingkungan. Cat ulang dinding kantor, toko, rumah, sekolah dan semua bangunan yang ada. Pokoknya tidak kalah dari persiapan natal, lebaran dan tahun baru. Semuanya swadaya. Tidak ada APBD. Tidak ada APBN. Tidak ada anggaran Pemerintah dalam bentuk apa pun .
Di batas kampung kaum mudanya berlomba lomba bikin gapura. Yang terbaik menurut penilaian pak camat akan dapat hadiah. Bupati keluarkan surat edaran mewajibkan seluruh warga menaikkan bendera satu tiang penuh mulai 1 Agustus. Pak lurah akan keliling kampung kontrol dan tegur yang telat naikkan bendera.


Pelajar dari tingkat SD sampai SMA yang sudah sekolah setengah hari sejak 1 Agustus juga tidak ketinggalan. Ada lomba lagu lagu perjuangan. Ada lomba baca puisi. Sajak-sajak perjuangan Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono jadi favoritnya. Juga cerdas cermat antar sekolah. Temanya selain tentang sejarah para pahlawan nasional, juga tentang pahlawan Flores seperti Motang Rua dari Manggarai, Nipado dari Ngada, Moan Teku Iku dari Sikka. Terutama pahlawan Ende sendiri tentunya. Marilonga.


Marilonga sang — “topo doga ae bele iwa sele” — ini pahlawan Ende yang terkenal keberaniannya dalam melawan Belanda. Ia berjuang sampai titik darah penghabisan demi negeri dan leluhurnya. Ia gugur di medan perang dalam pertempuran melawan Belanda. Makam dan benteng bambu Marilonga yang fenomenal masih ada sampai sekarang di kampung Watunggere kecamatan Detukeli kabupaten Ende.
Perjuangan Marilonga sampai titik darah penghabisan dan semua pahlawan Flores ini sayangnya belum cukup dapat penghargaan yang sepantasnya. Mereka semua masih tetap jadi pahlawan daerah. Entah sampai kapan.


Lalu ada juga pemilihan bintang radio. Pesertanya sudah lolos audisi yang berlangsung sebulan penuh. Terlalu banyak calon kontestan. Anak Ende umumnya dikenal pintar nyanyi.
Selain lomba lomba serius, ada pula lomba jenaka yang bikin warga sekampung ketawa terpingkal-pingkal. Di antaranya lomba panjat pinang yang pohonnya dilumuri oli dan kadang diprotes karena katanya ini tontonan kemiskinan. Segala sesuatu memang selalu punya dua sudut pandang. Tergantung dari mana melihatnya.


Hal unik dilakukan orang tua saya dan kawan kawannya. Mereka memberi THR dan angpao (amplop merah) sebagai hadiah kepada karyawannya bukan di hari Natal tapi jelang 17 Agustus. Ketika saya tanya kenapa tidak di hari Natal? Jawabnya singkat dan sangat logis. Agar semua bisa terima dihari yang sama. Hari besar semua. Kalau Natal nanti yang dapat cuma yang Katolik.
Hal unik lain. Obral barang alias cuci gudang masa itu terjadi dua kali setahun. Di bulan Desember dan bulan Agustus.


Kenangan atas kemeriahan perayaan 17 Agustus terus datang silih berganti. Bagai sebuah buku yang terbuka halamannya satu persatu.
Terbayang suatu ketika ada lomba sepeda pancal. Yang jadi Juaranya bukan yang tercepat tapi yang paling lambat tiba di finish.


Hal lucu pernah terjadi. Suatu ketika panitia bingung tentukan pemenang. Pasalnya ada 3 peserta yang dengan gerakan akrobatiknya mampu hentikan sepedanya di tengah lintasan. Akhirnya perundingan kilat terjadi di lapangan. Ketiganya jadi juara bersama dan harus rela berbagi hadiah. Pasalnya panitia tidak punya anggaran lagi untuk tambah hadiah. Ketiganya dengan senang hati terima. Karena semua sepakat ini perayaan sukacita. Tidak perlu ribut soal hadiah.


Selain lomba jenaka ada pula pertandingan serius. Lapangan PERSE ( Persatuan Sepakbola Ende) di dekat pelabuhan jadi saksinya. Sebulan penuh pertandingan sepakbola berlangsung di situ. Olahraga dominasi kaum pria ini berlangsung seru. Tiap sore warga Ende berbondong bondong jalan kaki menuju lapangan. Maklum. Belum ada sepeda motor. Apalagi angkot.
Pertandingan ini akan berhenti kurang lebih pkl 6 sore. Suara adzan magrib dan dentang lonceng gereja Katedral di dekat lapangan menghentikan semua pertandingan. Ini saatnya sholat bagi umat Muslim dan saat teduh doa angelus bagi umat Katolik.


Suatu ketika hal unik terjadi difinal. Pertandingannya terlambat dimulai. Pak Bupati yang harus kick off terlambat datang. Pertandingan itu berlangsung imbang, seru dan perlu perpanjangan waktu. Ditengah perpanjangan waktu dengan skor yang masih kosong-kosong ini terdengar suara adzan memanggil pulang umatnya untuk salat. Pertandingan pun spontan dihentikan. Salah satu finalisnya kebetulan dari kampung saya Mbongawani yang mayoritas muslim. Maka perundingan kilatpun terjadi. Kedua kesebelasan sepakat pertandingan diselesaikan besok pagi.


Ini contoh hidup bersesama yang penuh toleransi. Barangkali ini juga yang menginspirasi si Bung.
Di ujung perayaan ada pula pasar malam dan pawai keliling kota. Pasar malam ini berlangsung sebulan penuh. Lokasinya di pesisir pantai dekat taman Rendo.


Ada banyak permainan. Mulai yang baik baik sampai yang judi. Ada adu ketangkasan lempar botol pakai gelang. Targetnya botol kosong minuman terkenal masa itu yang namanya seven up.
Ada stand yang isinya judi. Termasuk permainan roda dunia yang mirip rolet. Ini memang rolet versi kampung. Perlengkapannya sederhana. Tripleks berbentuk bulat dengan angka-angka di pinggir yang diputar mengelilingi sebuah pengait kecil. Roda “rolet” akan berhenti karena pengait itu. Pengunjung stand judi ini paling banyak. Bandarnya yang kebetulan tetangga dekat selalu pulang bawa duit banyak. Kami biasa diminta bantu hitung duitnya. Yang hitung ketiban rezeki juga.


Beberapa hari setelah 17 Agustus biasanya ada pawai keliling kota. Pawai ini wajib diikuti seluruh instansi, baik sipil maupun militer. Juga anak sekolah Tidak ketinggalan kami pelajar SMA Syuradikara dalam seragam kebanggaan kuning putih. Di depan panggung kehormatan barisan Syuradikara akan unjuk kebolehan membentuk beberapa formasi yang rumit dan butuh latihan berminggu-minggu. Biasanya para tamu di tenda kehormatan tepuk tangan panjang sampai barisan lewat. Entah karena memang bagus. Atau karena putra bupati dan para pejabat biasanya ada dalam barisan.

Pengalaman masa kecil yang sudah lama hilang ini jadi topik hangat diskusi di Forum Pembauran Kebangsaan FPK NTT. Ini forum tempat diskusi para tokoh etnis. Teman teman yang semuanya sudah lumayan tua juga cerita hal yang sama.


Maka muncullah ide. FPK sebagai wadah berhimpunnya tokoh-tokoh etnis ini sesuai missinya yaitu meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa harus bikin sesuatu. FPK harus mampu menghadirkan kembali pengalaman indah masa kecil ini. Hari lahir bangsa mesti dirayakan semeriah mungkin penuh sukacita seperti dulu lagi.
Kebetulan ada komandan BAIS dan kepala badan Kesbangpol yang punya semangat yang sama.
Maka gayung pun bersambut.


Sejak tahun lalu FPK-NTT selenggarakan perayaan HUT RI dengan pesertanya seluruh paguyuban etnis yang ada di kota Kupang. Kenapa pesertanya harus paguyuban etnis? Sebab perayaan terbesar bangsa ini mesti libatkan seluruh warga. Orang terlahir selalu dengan given identity yang namanya etnisitas. Given identity ini tetap tidak bisa berubah. Identitas lain bisa gonta-ganti. Maka dengan undangan berdasarkan etnis ini tidak akan ada wakil warga yang terlewatkan. Lagipula para tokoh etnis ini belum tentu semuanya pernah alami upacara bendera di alun alun rumah jabatan. Kecuali yang pernah jadi pejabat. Atau PNS. Atau pelajar pilihan.


Perayaan HUT RI ini selain untuk mengingatkan bahwa ini hari jadi seluruh anak bangsa, juga bertujuan meningkatkan keakraban lintas etnis.


Diupacara semua peserta berbusana adat. Perangkat upacaranya lengkap. Ada trumpet, genderang, paskibra terlatih, perwira upacara dll. Acara berlanjut dengan tarian massal daerah dari seluruh nusantara yang melibatkan seluruh peserta. Khususnya tarian asal NTT seperti Ja’i, tebe, dolo dolo, gawi, pado’a dll. akan jadi favoritnya. NTT terkenal kaya budaya. Tiap daerah punya tarian bersama yang unik.


Acara berlanjut dengan lomba-lomba jenaka berhadiah dan akan berakhir disore hari saat penurunan bendera.


Semoga perayaan hari jadi bangsa oleh FPK di bawah koordinasi Kesbangpol dan BAIS yang konon baru pertama kali diselenggarakan di seluruh Nusantara ini bisa jadi model di daerah lain.
Proklamasi harus jadi perayaan kegembiraan bersama melibatkan seluruh anak bangsa. Merdeka!!!.

Penulis: Theodorus Widodo, Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) – NTT

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda