Ads
Cakrawala

A.R. Baswedan dan Keturunan Arab

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Saya dan beberapa teman sangat yakin dengan pengumuman TVRI bahwa jenazah almarhum Abdurrahman Baswedan yang meninggal pada tanggal 15 Maret 1986 jam 17.00 akan dimakamkan esok harinya jam 11.00 di Tanah Kusir Jakarta Selatan, oleh sebab itu sejak jam 10:30 sudah banyak berdatangan para pengantar antara lain Ir. Saleh Widodo dan istri, Nono Makarim dan keluarga, Menteri Saleh Afif dan sejumlah orang lagi.

Ternyata jenazah baru akan tiba di pemakaman sekitar jam 12.30 karena akan disembahyangkan di Al-Azhar lepas salat zuhur. Dalam tenggang waktu menunggu nampak hadirin membentuk kelompok-kelompok kecil, semacam usrah. Mereka asyik berbincang sejak soal keluarga sampai kepada politik. Orang bilang kesempatan ’’emas’’ untuk bertemu konco lama hanya pada dua peristiwa, yaitu pesta pernikahan dan takziah kematian. Karena itu saya tidak terkejut kalau puluhan negarawan menghadiri pemakaman Olof Palme di Swedia. Tanpa pesta perkawinan dan takziah kematian, tampaknya ’’orang modern’’ tak dapat berkomunikasi.

“Kita tidak lagi mencetak orang semacam Almarhum, yang sanggup bekerja keras hingga akhir hayatnya’’, tiba-tiba Nono Makarim, bekas Pemimpin Redaksi Harian KAMI yang kini menjadi konsultan, memecah kesunyian. Saya tidak siap memberi respons dan Saleh Afiff cuma terdiam belaka. Panas matahari kian menyengat. ’’Kelompok-kelompok usrah’’ kian menggeser mencari tempat berteduh. Sementara itu pengantar semakin banyak berdatangan. Ada Fikri Jufri Wapemred Majalah Berita Mingguan Tempo, ada Maher Algadri dan Ahmad Ganis pengusaha-pengusaha muda yang sedang “naik turun”. Juga terlihat Abdul Qadir Basalamah yang Dirjen (Kemenag, dulu Depag. Red), tak ketinggalan Hamid Al-Hadad diplomat senior Deplu (Kemenlu). Ali bin Nur, Sekjen Al Irsyad yang baru pun ada di tengah hadirin. Begitu pun Husein Umar seorang tokoh mubalig.

Kehadiran nama-nama tersebut di atas memberikan kesaksian terhadap hasil perjuangan Almarhum A.R. Baswedan yang paling menonjol. Yaitu integrasi total masyarakat keturunan Arab dalam keluarga besar nation Indonesia. Perjuangan itu dicanangkannya sejak 1934 ketika ia mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI).

Baswedan tegas menolak pengumpulan keturunan Arab ke dalam Vreemde Oosterlingen, Golongan Timur Asing sebagai “kelas” dalam struktur kependudukan Indonesia. Baswedan dan teman-teman seperjuangannya menandaskan bahwa keturunan Arab adalah bukan golongan asing, tetapi warga negara Indonesia asli. Karena sudah sejak beberapa generasi lahir dan dibesarkan di ’’negeri ahwal’’, kampung halaman saudara sendiri. Oleh karena itu ketika dalam belasan tahun terakhir ini orang meramaikan soal ’’pembauran’’, jelas masyarakat keturunan Arab telah mengerjakannya jauh sebelum kemerdekaan.

Jikalau kini kita menyaksikan akseptabelitas masyara kat terhadap kepemimpinan birokrasi tokoh-tokoh seperti Mendikbud Fuad Hassan, Duta Besar PBB Ali Alatas, Duta Besar di Tunisia S.M. Alaydrus, niscayalah kita tidak akan melupakan “keringat” A.R. Baswedan, tokoh yang tak pernah menyerah walau dijarah usia tua.

Pak A.R. masih sempat pada akhir Februari yang lalu mengakhiri penulisan memoarnya. Untuk itu ia mukim lebih dari tiga bulan di Jakarta. Di Jogja, katanya kepada penulis lewat telepon, ’Ssaya terlalu banyak tamu. Saya perlu ketenangan untuk merampungkan memoar saya,’’ katanya dengan suara yang jernih dan intonasi yang sangat tegar. Saya tidak membayangkan bahwa saya tengah berbicara dengan seorang tua yang berusia 78 tahun. Semangatnya masih berkobar untuk mewariskan apa yang ia ketahui secara empiris kepada generasi muda. Alhamdulillah kami sempat bersurat membahas peranan sejarah Syekh Syurkati. Hanya sayang korespondensi itu tak dapat saya tingkatkan menjadi dialog langsung sebagaimana permintaan Almarhum. Dalam bulan Februari dan Maret saya sangat sibuk melakukan perjalanan daerah, sehingga permintaan Almarhum hingga akhir hayat beliau, belum sempat saya penuhi.

Vitalitasnya amat mengagumkan, kecintaannya terhadap perjuangan sangat mengesankan. Pada ujung usia senja Baswedan sempat melontarkan gagasannya kepada Muktamar Muhammadiyah agar Pimpinan Pusat organisasi Islam terbesar itu diisi juga oleh tokoh wanita. Untuk itu Baswedan melakukan ‘wawancara dengan sejumlah media, juga membuat korespondensi dengan tokoh-tokoh yang dianggapnya menaruh minat. Meski. akhirnya ia mengetahui bahwa gagasannya itu tidak diakomodasi Muktamar Muhammadiyah, nampaknya ia tidak kecewa. Karena ia hanya memenuhi peluang yang dimungkinkan oleh kehidupan yang demokratis yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat.

Tampaknya Baswedan tidak terpukau oleh substansi gagasannya yaitu menempatkan tokoh wanita pada PP Muhammadiyah, tetapi ia lebih tergoda untuk mengamalkan prinsip demokrasi,. kebebasan berpendapat. Kepergian Baswedan, dan tokoh-tokoh lainnya yang segenerasi, menyentakkan kita dari keasyikan suasana ’’klobotisme’’ dan ’’memble’’. Kita memang sudah tidak lagi mencetak tokoh semacam Baswedan. Tokoh yang tak ingin larut dalam ’’klobotisme’’, tokoh yang tidak ingin duduk-duduk sembari ’’memble’’.

H.M. Yunan Nasution, kawan seperjuangan Almarhum, menyampaikan pidato di depan liang lahat seraya secercah riwayat dibaca dengan singkat. Agaknya kalimat akhir dari Pak Yunan tak dibiarkan berlalu begitu saja oleh para hadirin ketika ia mengunci pidatonya dengan kata-kata: ’’Saudara Baswedan, hingga di sinilah kami mengantarkan Saudara, tetapi entahlah kelak siapa yang akan mengantarkan kami.’’

Catatan Redaksi: H.M. Yunan Nasution, yang juga sesepuh Majalah Panji Masyarakat yang ia besarkan bersama Almarhum Buya Hamka, telah pulang ke alam baka. Begitu pula dengan penulis kolom ini, Ridwan Saidi, yang belakangan kita kenal dengan sebutan Babe Ridwan.

Penulis: Ridwan Saidi (1942-2022), pengamat sosial politik dan budaya, pernah menjadi anggota DPR Ri dan aktif di Partai {Persatuan Pembangunan (PPP).
Sumber: Panji Masyarakat, No.. 499, 1 April 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda