Maret ini (1986, red.) genap 13 tahun meninggalnya Ahmad Wahib. Siapa Ahmad Wahib, orang sudah banyak tahu. Tetapi sebutan yang diberikan orang kepada almarhum tidak sama. Sebagian orang menganggap anak Madura jebolan FIPIA UGM (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Gadjah Mada) ini sebagai figur terpenting yang berada di balik layar gerakan pembaruan pemikiran keislaman di seputar tahun 1970-an. Rekan-rekan Almarhum di majalah Tempo di mana Wahib bekerja menjelang akhir hayatnya mengatakan, Wahib adalah mutiara filsuf yang belum diasah.
Namun, sementara sebagian orang merasa mendapat angin segar ketika menyimak pikiran-pikiran Wahib, sebagian lagi merasa tersinggung, bahkan murka. Tidak aneh, kerena dengan modal kebebasan pikirnya Wahib menyikut NU, menjewer Muhammadiyah, bahkan juga memberondong pikiran-pikiran ulama yang tidak kepalang seperti Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof. Mukti Ali, Muchtar Yahya, Munawar Cholil sampai Prof. H.M. Rasyidi. Maka yang terakhir ini menyebut pikiran Wahib sebagai tragedi bagi umat Islam, dan Pak Rasyidi tidak sudi memberi komentar apa pun. Dan banyak tokoh Islam di Yogyakarta sampai kepada kesimpulan bahwa Wahib seorang Marxis sehingga harus dikucilkan.
Pro dan kontra (menurut pengamatan saya lebih banyak yang kontra) terhadap pikiran Wahib muncul dan meluas sejak catatan hariannya diterbitkan oleh LP3ES tahun 1981. Memang, siapa saja yang masih menyimpan sikap apologi serta formalis akan tersentak ketika membaca Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib yang terbit post-mortem itu. Karena, Wahib benar-benar mengerahkan tembakannya ke segenap penjuru dan ke segenap aspek kehidupan dan pemahaman Islam; dari aspek ubudiah sampai muamalah, dari fikih sampai tauhid. Dan bagi saya, hanya dengan menganggap pikiran pikiran Wahib sebagai sebuah himpunan karikatur yang cerdas, kita akan bisa bersikap lebih tenang dan lebih apresiatif. Dari situ betapa jua kita akan memperoleh manfaat yang besar.
Sisi Konvensional
Secara umum pikiran-pikiran Wahib memang baru, berani dan revolusioner. Dia sungguh memanfaatkan secara optimal kebebasan pikirnya. Namun dari rentetan hasil permenungannya saya jumpai hal yang sama sekali konvensional yang menjadi ciri umum pemahaman Islam. Salah satu pikiran Wahib yang diberi subjudul “Tuhan Egoistis?”, terbacalah ini : “Andaikata Tuhan sendiri berpendapat inti dari Islam itu tauhid, apakah itu tidak menunjukkan bahwa Tuhan itu egoistis? Saya kira pertanyaan macam ini wajar-wajar saja. Bukan pertanyaan gila dan bukan pula pertanyaan yang sederhana.” Demikian Wahib.
Karena saya tidak menemukan penjelasan Wahib lebih lanjut, maka saya katakan pikiran Wahib di atas konvensional. Biasa dan tidak baru. Pada sisi ini kadar kefilsufan Wahib kelihatan sangat tipis. Sebab, mengapa dia tidak menetralkan pertanyaannya sendiri dengan argumen bahwa eksistensi Tuhan wajib ’mempribadi’ (personal) dan mutlak sempurna? Sebagai Dzat yang mutlak sempurna maka mustahil Tuhan perlu berpendapat, sebab kegiatan berpendapat adalah ciri sebuah proses sedangkan Dzat Tuhan tidak berproses.
Apabila Tuhan melalui rasul-rasulnya mewajibkan manusia beriman mengesakan Dzatnya, maka hal itu lebih tepat diartikan sebagai puncak kasih-sayang Ilahi kepada makhluk-Nya. Sebab, Tuhan mewajibkan sesuatu, tetapi Tuhan tidak, bahkan mustahil mengambil manfaat dari sesuatu termasuk tauhidnya manusia. Tuhan sudah Esa dengan sendirinya, Dia tetap Esa meski semua manusia jadi musyrik, misalnya.
Dengan demikian kepada siapa pernyataan tauhid kita tujukan? Kepada Tuhan? Tentu saja, ya. Namun cakrawala kesadaran kita musti melebar bahwa Tuhan tidak butuh sesuatu dari makhluknya. Maka pada hakikatnya sasaran terakhir pernyataan tauhid adalah jiwa manusia sendiri. Tauhid harus menjadi pencerah setiap jiwa, tauhid harus menjadi motor pembentuk dan pembangun inner self kita; “Hai jiwa, selaraskan selalu dirimu dengan keesaan Al Khaliq!”
Kita Panjatkan
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Ilahi, itulah ungkapan sehari-hari yang sering kita dengar. Sama sekali tidak salah, bahkan baik, sebab banyak sekali ayat yang menyuruh kita bersyukur atas banyak kenikmatan Tuhan yang telah kita terima. Lalu bagaimana misalnya kita membuat visualisasi dinamika pernyataan syukur itu? Gambaran yang ada rupanya begini: rasa syukur itu seperti cahaya suci yang keluar dari diri kita lalu terbang ke arah langit. Terbang dan hilang. Bila memang demikian gambarannya maka rasa syukur itu pasti kurang membekas dalam jiwa. Dia hanya berbekas dalam bibir ketika bibir itu mengucap alhamdulillah. Dia hanya tampil ekspresif. Padahal apabila kita sadar betul bahwa Tuhan tidak butuh pujian manusia, karena Dzatnya sudah terpuji dengan sendirinya, maka rasa syukur yang kita panjatkan itu akan terpantul kembali menjadi kesadaran impresif; ya, hanya Allah yang mutlak sempurna maka segala makhluk termasuk awak ini tidak berhak atas pujian apa pun!
Itu tentang tahmid. Bagaimana tentang tahlil dan takbir? Sama saja; semangat tahlil dan takbir harus mampu memantul kembali ke dalam jiwa awak. Oh, banyak sekali bentuk-bentuk ibadah vertikal yang seharusnya kembali menghunjam ke dalam dan melebar horizontal tanpa penjelasan yang mendalam dan tuntas. Bahkan sering dibersitkan pemahaman bahwa yang vertikal dan horizontal itu ada pemisahannya. Sayang.

Penulis: Ahmad Tohari, novelis, kolumnis dan budayawan, kini menetap di Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah.
Sumber: Panji Masyarakat No 497, 11 Maret 1986