Ads
Tafsir

Jangan Cenderung pada Kezaliman

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan. (Q.S. Hud: 113).

“Laa Tarkanuu”, janganiah kamu sampai cenderung, atau condong atau miring kepada orang yang zalim, jangan condong ke sana, karena kalau sekali sudah condong yang mengarah kepada dekat, lama-lama akan payahlah menjauhkan diri dari padanya. Karena kezaliman adalah suatu sikap yang bertentangan dengan peri kemanusiaan. Kezaliman artinya ialah aniaya. Aniaya adalah main api. Aniaya adalah menimbulkan benci dan dendam dihati orang yang teraniaya.

Kalau di ayat yang sebelumnya (Maka tetaplah engkau [Muhammad] [di jalan yang benar] sebagaimana sebagaimana telag diperintahkan kepadamu dan orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Q.S. Hud: 112, red) Rasul dan orang-orang telah taubat dari kemusyrikan disuruhkan istikamah, maka di ayat ini dijelaskan lagi, janganiah mendekat kepada orang yang zalim, condong ke sana pun jangan. Tegakkanlah disiplin sebagai orang mukmin. Perbuatan aniaya bukan saja menganiaya orang lain. Orang yang melanggar peraturan Tuhan, orang yang mempersekutukan Tuhan, semuanya itu adalah aniaya.

Mukmin sejati mesti menunjukkan bahwa dia tidak menyukai kezaliman dalam segala bentuknya. Karena bila condong ke sana artinya bermain api, disentuh oleh api. Baik api di dunia karena merasa terbakarnya jiwa, atau api neraka di akhirat. Sebab segala aniaya di dunia ini, samalah artinya dengan pembakaran jiwa. ’’Dan tidak ada bagi kamu selain dari Allah akan jadi penolong,” artinya kalau kamu satu kali telah beriman telah tumbuh dalam jiwamu, engkau sudah sukar melepaskan diri dari sana. Jiwamu akan gelisah terus, namun orang lain tidak seorang pun yang sanggup melepaskan dirimu atau mencabutkan kamu dari jurang tempatmu jatuh. Kamu tinggalkan Pimpinan Allah, lalu kamu kehilangan pimpinan buat selamanya. ’’Kemudian kamu pun tidak akan dibela.’’ (ujung ayat 113).

Tidak ada yang sanggup membela. Sayangnya keruntuhan itu adalah kamu pilih sendiri, karena dari semula kamu telah condong kepada orang-orang yang zalim. Mungkin karena kamu terpesona oleh kelebihan-kelebihan lahiriyah yang telah dicapai oleh si zalim itu.

“Laa Tarkanuu’’ — ’’janganlah kamu condong ke sana.”

Ibnu Abbas dan Hatim Al-Asham (si Tuli) menafsirkan: “Jangan kamu condong serambut pun dalam urusan agamamu kepada orang yang zalim.”’

Menurut tafsir Abu Aliyah: ’’Jangan kamu tunjukkan suka atas amal-amal perbuatan orang yang zalim.”

Menurut tafsir Qatadah: ’’Jangan kamu masuk di rombongan orang-rang musyrikin.’’

Menurut As-Suddi dan Ibnu Zaid: ’’Jangan kamu ambil muka kepada mereka yang zalim.”’

Dan kata setengahnya lagi: ’’Jangan kamu masuk ke dalam golongan mereka, atau menggabungkan diri. Jangan menyatakan suka akan perbuatan mereka dan jangan menyatakan simpati terhadap mereka, tetapi kalau masuk ke sana dengan rencana untuk mengetahui rahasia mereka dan menangkis kejahatan mereka, boleh.”

Zamakhsyari dan Sayid Quthub

Al-Imam Zamakhsyari, pengarang Tafsir Al-Kasysyaf, menafsirkan; ’’Jangan didekati, putuskan hubungan, jangan berkawanan kepada mereka dan jangan duduk di dalam majelismereka, atau ziarah kepada mereka atau menunjukkan simpati. Bahkan jangan menyerupai mereka dan memakai pakaian yang bentuknya sama dengan pakaian yang mereka pakai, dan jangan terpesona oleh kelebihan dan kemewahan mereka, dan jangan banyak membicarakan dan memuji-muji dan membesarbesarkan mereka.”’

Sayid Quthub pada tafsirnya yang beliau tulis di zaman perjuangan Islam sekarang ini menafsirkan: ’’Jangan menyadarkan diri dan jangan merasakan keenakan berhubungan dengan si zalim, yaitu penguasa-penguasa tak terbatas, totaliter, diktator, yang merasa dirinya kuat, kuasa, gagah perkasa sendiri, sehingga tidak ada orang yang akan berani buka mulut kepadanya di permukaan bumi ini. Yang menindas hamba Allah dengan kekuatannya, mentang-mentang dia merasa kuat, dan memaksa jadi budaknya. Jangan condong kepada mereka, karena kalau ‘condong kepada mereka, berarti kemungkaran yang diperbuatnya. Menyatakan simpati kepada mereka adalah munkar yang lebih besar, Neraka tantangannya!’’

Al-Muwaffaq, Abu Dzar dan Mu’awiyah

Tersebutlah perkataan tentang Al Muwaffaq. Seorang wali negara yang menjalankan pemerintahan Al-Mu’tamid (256H/870 M sampai 279 H/ 892/M) dari Bani Abbas. Meskipun bukan dia yang jadi khalifah, dialah yang berkuasa pada masa itu, karena gagah perkasanya dan disegani. Pada suatu hari Al-Muwaffaq sembahyang, menjadi makmum di suatu mesjid di Baghdad. Tiba-tiba Imam sembahyang membaca ayat La Tarkanu ini. Al-Muwaffaq mendengar dengan khusyuk.. Sehabis ujung ayat ini, kedengaran orang terjatuh, Imam meneruskan sembahyang. Rupanya Al-Muwaffaq, pahlawan Bani Abbas yang besar itu yang jatuh pingsan mendengar ayat itu yang dibaca Imam dalam sembahyang. Setelah siuman, beliau berkata; ’’Sedangkan condong saja kepada.orang zalim sudah begitu berat siksaannya, apalagi kalau berlaku zalim. Ya Allah peliharalah daku dari kezaliman.’’

Orang yang menyadarkan jiwa kepada si zalim, apatah lagi si zalim itu sendiri tidaklah akan tawar dan sejuk dalam jiwanya. Jiwanya selalu terbakar, menggelegak, dan mendesak untuk terus berlaku zalim. Orang yang iman satu kali telah meresap ke dalam hatinya, akan turut terbakar jika mendekat ke situ. Pada akhirnya iman itu sendiri pun akan terbakar.

Keimanan kepada Allah menyebabkan jiwa bebas merdeka dari segala pengaruh alam. Namun kalau sudah disandarkan kepada yang zalim, iman terancam akan merosot. Tidaklah sama nilai orang yang bebas merdeka dengan orang yang jiwanya telah jadi budak.

Inilah peringatan Allah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang mengaku bertobat dan pengikut Rasul. Sahabat Nabi Saw yang terkenal, Abu Dzar Al-Ghiffari, sangat terkenal akan pendirian tegas, bahwa mengumpulkan harta benda dan kekayaan untuk diri sendiri, adalah melanggar kepada dasar ajaran Islam. Kalau seseorang mempunyai harta sudah lebih dari keperluannya sendiri, menurut beliau, segeralah bagikan kepada yang patut untuk dibantu, dan percayalah bahwa untuk keperluan hari esok sudah dijamin oleh Tuhan.

Pendirian ini dipandang amat berbahaya oleh kalangan Mu’awiyah yang di waktu itu menjadi gubernur di negeri Syam, semasa kekhalifahan Ustman bin Affan di Madinah. Tetapi Mu’awiyah belum percaya pendirian itu sebelum diujinya. Pada suatu sore, sehabis magrib Mu’awiyah menginmkan sebuah pundi yang berisi penuh dengan uang emas (dinar). Utusan yang mengantar mengatakan bahwa hanya semata mata hadiah Gubernur buat dirinya. Uang itu diterimanya dan utusan itu pun kembali kepada Mu’awiyah.

Pagi-pagi buta setelah sembahyang subuh, utusan itu datang kembali tergesa-gesa menemui Abu Dzar, dan dia minta maaf, karena dia sudah salah beri. Uang itu bukan untuk Abu Dzar, melainkan untuk orang lain. Gubernur meminta uang itu kembali. Dengan jujur Abu Dzar mengatakan bahwa uang itu telah habis dibagi-bagikannya tadi malam, sebelum dan sesudah sembahyang isya kepada orang-orang yang dipandangnya patut dibantu, sehingga seketika dia datang sembahyang subuh ke mesjid, satu dinar pun tidak ada lagi yang tinggal padanya. Dia yakin bahwa uang itu dihadiahkan Gubernur kepadanya. Sebab itu dia tidak ragu-ragu lagi membagikannya.

Karena itu yakinlah Mu’awiyah bahwa Abu Dzar ini memang benar-benar berpendirian demikian. Maka dipandangnyalah Abu Dzar amat berbahaya bagi ketenteraman negara. Lalu Abu Dzar sebagai salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang dimuliakan diiringkan dengan segala hormat kembali ke Madinah. Mu’awiyah mengirimkan juga sepucuk surat kepada Khalifah menerangkan pendirian Abu Dzar yang berbahaya itu.

Sampai di Madinah Sayidina Ustman bin Affan pula yang mengujinya sekali lagi. Seorang budak disuruhnya mengantarkan kepada Abu Dzar sebuah pundi-pundi yang juga berisi uang emas penuh, Khalifah berkata; ’’Kalau dapat engkau memberikan uang ini kepada Abu Dzar dan dia sudi menerimanya engkau aku merdekakan dari perbudakan.’’

Budak itu pun segera menemui Abu Dzar sambil membawa pundi emas, dan menyatakan bahwa pundi emas ini pemberian dari Khalifah itu.

Tiba-tiba Abu Dzar menolak.

Lalu dengan hati-hati budak itu berkata; ’’Silakan Tuan terimalah hadiah ini. Dia hanya semata-mata hadiah Amirul Mukminin, dengan tidak ada maksud apa-apa. Kalau hadiah ini tuan terima, tuan telah menolong saya, karena Amirul Mukminin berjanji akan memerdekakan saya dari perbudakan, jika tuan sudi menerimanya. Kasihanilah saya, saya ingin merdeka.”

Dengan tenang dengan wajah sedih pula Abu Dzar menjawab; Bawalah uang ini kembali kepada Amirul Mukminin. Saya mengerti bahwa engkau ingin merdeka. Tetapi saya tidak mau apabila sesaat setelah engkau merdeka itu, di saat itu pula aku hilang kemerdekaanku. Menerima uang bagiku adalah kehilangan kemerdekaan.”

Artinya, uang itu dianggap Abu Dzar sebagai pembeli kemerdekaannya.

Inilah contoh teladan yang diberikan oleh salah seorang sahabat Rasulullah Saw, padahal Mu’awiyah dan Ustman bin Affan adalah sahabat Rasulullah juga.

Inilah pendirian yang diperintahkan Tuhan supaya dipegang teguh seketika mulai menegakkan paham dan menyampaikan risalah kepada manusia. Maka tidaklah berlawanan disiplin karena ini dengan sikap yang dilakukan kemudian oleh Rasulullah Saw sebagai membuat perjanjian bertetangga baik dengan Yahudi seketika mulai pindah ke Madinah, atau seketika mengadakan perdamaian dengan Musyrikin di Hudaibiyah. Sebab kedua hal itu dilakukan setelah kekuasaan berada dalam tangan Islam, sehingga boleh melakukan taktik, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Maka kebolehan mengadakan perdamaian dengan perintah meneguhkan disiplin dan jangan condong kepada yang kafir, karena untuk mencapai kelapangan di Madinah, mesti juga lebih dahulu melalui keteguhan disiplin secara di Mekkah. Sebelum kuat keluar, hendaklah teguhkan dahulu di dalamnya.

*Dikutip dari Tafsir Al-Azhar oleh Hamka, Surat Hud ayat 112-113.
Sumber: Panji Masyarakat No. 502, 1 Mei 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda