Dalam Papers on Southeast Asian Subjects No. 4. Guide to Malay Periodicals 1876-1941, tercantum nama majalah Al-Munir yang terbit di Padang tahun 1911 sampai 1915. Dikatakan bahwa majalah ini diilhami oleh majalah ’Al-Imam’ Singapura pimpinan Syekh Taher Jalaluddin 1906-1908. Sedangkan Al-Imam sendiri dilhami oleh Majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Rasyid Ridha di Mesir tahun 1315 H. atau 1898 Masehi. Majalah Al-Munir yang menggunakan bahasa Melayu huruf “Jawi’ adalah medianya gerakan kaum muda Minangkabau sebagai tercantum pada kulitnya; ’’Usaha orang-orang alim Minangkabau’’? menyebarkan paham yang mereka bawa dari tanah suci pada awal abad ke-XX. Akan tetapi tidak hanya di sekitar ranah Minang, majalah itu beredar di Jawa dan Semenanjung Tanah Melayu dan dianggap sebagai pelopor media dakwah di Indonesia, di bawah pimpinan Syekh Abdullah Ahmad, wlama Indonesia pertama yang menggunakan media cetak untuk menyebarkan dakwah Islam, sebelum organisasi dan ulama lain mengikuti jejaknya.
Bila kita menggunakan kriteria Wilbur Schraam tentang definisi pers yang harus memenuhi unsur-unsur publisitas, periodisitas, aktualitas, dan universalitas, Al-Munir dapat digolongkan sebagai sebuah karya jurnalistik meskipun sesuai dengan kondisi masa itu, oplahnya tak lebih dari 1.000 eksemplar.
Prof. Dr. Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia’ 1900-1942 (hlm. 47) menulis tentang Al-Munir sebagai berikut:
’’Majalah Dwi Mingguan ini memuat artikel yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan pengetahuan para pembacanya. Jenis artikel ini mencakup masalah agama (seperti perlunya beragama), biografi Nabi Muhammad, pengertian tentang mazhab, perlunya hisab dibandingkan dengan rukyat dan masalah duniawi seperti umpamanya kegunaan surat kabar dan majalah, kegunaan organisasi serta juga kejadian-kejadian di luar negeri, terutama di Timur Tengah. Ada juga terdapat artikel yang lebih dalam sifatnya, yaitu yang filosofis tetapi masih berkisar pada persoalan agama juga, seperti soal Tauhid. Artikel-artikel di atas biasanya ditulis pada kesempatan yang sesuai dengan isi artikel. Jadi umpamanya artikel tentang mikraj, ditulis pada hari-hari sekitar mikraj, artikel tentang puasa ditulis pada bulan Ramadan. Kadang kala juga artikel itu ditulis sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh para pembacanya. Umumnya jenis artikel ini berkenaan dengan masalah hukum fikih. Ada pula artikel terjemahan yang diambil dari majalah Timur Tengah, termasuk Al-Manar dari Mesir. Artikel terjemahan ini umumnya berkenaan dengan kejadian-kejadian di Timur Tengah seperti cara orang-orang di daerah tersebut merayakan wij bagaimana bulan Ramadan berjalan di Turki atau pembukaan suatu sekolah baru dalam hal mana sifat dari sekolah tersebut dijelaskan.” .
Berdasarkan pengamatan Deliar Noer itu, Al-Munir yang terbit setiap hari Sabtu itu memenuhi keempat syarat untuk disebut sebagai sebuah penerbitan pers, dalam hal ini pers dakwah. Adapun yang ingin didakwahkannya sebagaimana ditulis pada pengantar edisi perdana tanggal 1 April 1911 sebagai berikut:

“Al-Munir berarti pelita atau yang membawa cahaya, Al-Munir bermaksud memimpin dan memajukan anak-anak Melayu dan anak-anak Islam kita pada agama yang lurus dan
i’ tiqad baik dan betul. Al-Munir membawa damai dan sentosa antara sesama manusia pada kehidupan dan supaya meneguhkan kesetiaan pada pemerintah.
Al Munir sebagai penerangan dari gelap kasmaran, daripada kabut kejahilan kepada pengetahuan ilmu yakin yang sebenarnya dan daripada sangka-sangka yang waham pada hakekat yang benar. Karena adalah Al-Munir ini Insya Allah akan menolak beberapa tuduhan yang dituduhkan oleh si penuduh pada agama kita yang bersih ini. Dan Insya Allah akan memberi penerangan atas salah sangka setengah si penyangka yang bahasa agama ini menghambat kemajuan atau menerbitkan kemunduran, Insya Allah akan menarik dan penerangan beberapa orang yang mempunyai waham-waham yang sesat yang terlanjur ia akan kesesatannya itu kepada merusakkan persetiaan perdamaian dan keamanan hingga telah sampai kepada menyia-nyiakan harta benda, menewaskan beberapa jiwa dengan jalan percuma sahaja. Padahal agama kita ini amat suci dan bersih daripada sembarang kejahatan akan terjauhlah ia. Betapa tidak, karena adalah hikmat yang terutama sekali daripada menitahkan beberapa Rasul dalam agama Islam ini ialah menerbitkan damai, keamanan manusia yang bermusuh-musuhan dan supaya menerbitkan sentosa pada kehidupan dan supaya berbahagia pada dunia dan membawa bahagia pada bahagia akhirat. Dan supaya mengajak kita bagaimana bersantun-santunan pada antara kita sesama manusia. Karena semulia-mulia sifat dan seelok-elok perangai itu diperoleh semuanya pada Nabi Muhammad Saw ialah akan jadi contoh dan teladan bagi sekalian alam. Karena adalah Nabi kita yang tersebut dititahkan oleh Tuhan menjadi Rasul, supaya menjadi rahmat bagi alam.’’
Demikianlah kita kutip sepenuhnya kata pengantar edisi perdananya. Pada kulit majalah itu di bawah namanya diterapkan kalimat; ’’Usaha orang-orang Alim Minangkabau.’’ Pengarang: Haji Abdullah Ahmad. Pengurus: Haji Marah Muhammad bin Abdul Hamid. Pertua: Haji Sutan Jalaluddin Abubakar. Pembantu-pembantu: Haji Abdul Karim Amrullah Danau (Maninjau, red), S Lembak Tuah, Haji Muhammad Thaib Umar Batusangkar, Sutan Muhammad Salim, Hoofd Jaksa Pensiun (ayahanda Haji Agus Salim). Mereka tergabung dalam sebuah organisasi yang mereka namakan ’’Syarikat Ilmu’’, syarikat itulah yang jadi badan penerbitnya.
Menyimak karangan di atas yang merupakan khittahnya redaksional, majalah ini memilih jalan damai atau moderat terhadap pemerintah kolonial, sebagaimana yang tertulis dengan kalimat: ’’Menegakkan kesetiaan pada pemerintah.’’ Hal itu tidak mengherankan, bila kita mengetahui kondisi dan situasi masyarakat di bawah pemerintah kolonial sekitar tahun 1911 tatkala Al-Munir diterbitkan. Tiga tahun sebelumnya yaitu tahun 1908 terjadi suatu pemberontakan rakyat yang luas di Minangkabau melawan Belanda yang terkenal dengan nama Pemberontakan Kamang, akibat rupa-rupa peraturan pajak yang sangat mengimpit dan menyengsarakan rakyat. Menurut beberapa ahli sejarah, pemberontakan Kamang merupakan perlawanan pisik terakhir yang dilakukan oleh orang Minang terhadap Belanda sejak kekalahan perang Paderi. Para ulama muda yang baru kembali dari Mekkah menilai pemberontakan itu sebagai menyia-nyiakan harta benda, menewaskan beberapa jiwa dengan jalan percuma sahaja.
Yang dimaksud menyia-nyiakan harta benda dan jiwa itu ialah karena digunakannya ilmu sihir melawan serdadu Belanda yang memiliki senjata lengkap dan lebih berpengalaman dalam perang.
Kondisi dan kekolotan umat itulah yang hendak diberantas oleh ulama-ulama kaum muda itu melalui Al-Munir dengan menyadarkan ummat pada keluhuran dan ketinggian ajaran Islam di samping mempertahankan agama itu dari syakwasangka setengah orang, yaitu pandangan Belanda yang merendahkan Islam. Itulah makna karangan di atas.
Dengan demikian, seperti diketahui, selain menerbitkan majalah para ulama itu giat mendatangi mesjid berdakwah langsung dengan umat mendirikan sekolah dengan sistem pengajaran baru, seperti Sumatera Thawalib dan Diniyah di Padang Panjang, Parabek, Adabiah dan sebagainya, yang berkembang pesat pada waktu itu di seluruh kota dan desa-desa Minangkabau.
Ternyata kemudian pengaruh ulama kaum muda itu meluas di kalangan rakyat. sehingga merepotkan pihak pemerintah kolonial Belanda, di samping menyusutnya pengaruh ulama tradisional dan kaum adat yang kolot. Bahkan paham pembaharuan mereka turut membuka jalan serta kesadaran rakyat Minangkabau menerima masuknya gerakan-gerakan nasional yang timbul waktu itu di seluruh dunia Islam dan di Pulau Jawa. (Bersambung)
Catatan Redaksi: Artikel ini berasal dari tulisan dalam majalah Gema Islam No. 1 tahun 1962 dan direvisi untuk majalah ini (Panji Masyarakat, red).
Sumber: Panji Masyarakat No. 493, 1 Febuari 1986