Ads
Cakrawala

Kenapa Harus Masjid, Bukankah Ada Musala?

Ditulis oleh Panji Masyarakat

MASJID adalah sarana ibadah bagi umat Islam. Sebagai tempat ibadah, masjid dibuat sedemikian rupa dengan bentuknya yang khas. Misalnya ada mihrab (tempat imam salat), berkubah dan kadang-kadang menggunakan menara di bagian-bagian tertentu bangunan masjid. Selain itu, posisi dan arah masjid pun harus dibuat dengan menghadap kiblat (Ka’bah) di mana jamaah biasa melakukan salat (ibadah). Bentuk dan posisi masjid sengaja dibuat demikian agar tempat ibadah umat Islam itu berbeda dengan tempat-tempat ibadah agama lain, misalnya gereja atau wihara.

Penonjolan bentuk atau corak bangunan masjid sebetulnya tidak secara khusus diperintahkan Allah, kecuali hanya disyaratkan dengan posisi menghadap kiblat. Karena itu, di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia bentuk dan bangunan masjid umumnya dibuat tidak seragam atau bahkan lebih disesuaikan dengan kultur masyarakat setempat. Bentuk-bentuk bangunan masjid — mulai dari yang sangat sederhana hingga termegah – seperti yang kita kenal sekarang ini hakikatnya semua adalah rumah dan milik Allah (Q.S. Al-Jin: 18).

Sebagai “rumah (milik) Allah” fungsi masjid hanya dibenarkan untuk beribadah (menyembah) kepada Allah semata. Penegasan ini menunjukkan bahwa masjid adalah tempat yang sangat sakral. Masjid boleh juga digunakan di luar ibadah mahdhah (pokok) asal mengandung maslahah, seperti untuk berzikir, kegiatan sosial, dan tempat bermusyawarah. Namun, pemanfaatan masjid yang di luar ibadah mahdhah itu harus tetap memperhatikan batas-batas etika dan kesopanan.

Pertanyaannya, kenapa tempat ibadah umat Islam dinamakan masjid? Bukankah di samping masjid juga ada musala?

Islam adalah agama yang “unik”. Keunikan itu terletak pada idiom-idiom agama yang dipakai terutama untuk penamaan unsur-unsur “kelengkapan“ suatu agama. Dalam Islam, unsur-unsur “kelengkapan“ agama itu diadopsi dari bahasa Arab. Sebagai contoh, nama Tuhan dalam Islam berasal dari bahasa Arab al-Ilah (Allah), artinya Tuhan; Islam dari kata “al-salam“, artinya damai, pasrah, selamat; Kitab Suci al-Qur’an berasal dari kata “qara’a“ – “yaqri’u“ – “qur’anan“, artinya bacaan; Muhammad dari kata “hamada“ (pujian). Sedangkan “Muhammad“ berarti orang yang terpuji.

Kemudian masjid yang digunakan sebagai tempat ibadah umat Islam berasal dari kata “sajada“, artinya sujud (masjid berarti tempat sujud). Nama-nama itu sengaja Allah tetapkan dengan bahasa Arab sesuai wilayah di mana agama Islam pertama kali diturunkan, yakni Tanah Arab (Saudi Arabia). Lagi pula, nama-nama itu untuk menunjukkan tentang keserbatunggalan Islam dalam semua aspek dan ajarannya di samping kesakralan Islam sebagai agama samawi (agama langit) terakhir yang diturunkan Allah ke dunia.

Jadi keserbatunggalan dalam agama Islam mencakup aspek Tuhan, kitab suci, nabi dan rasul-Nya, dan termasuk juga dalam ilmu-ilmu “turunannya“ seperti kalam, fiqih, tasawuf, dan sebagainya. Dengan kata lain, kitab suci dalam Islam tidak kemudian bisa diganti dengan kata terjemahan misalnya Al-Qur’an menjadi “Bacaan“, Allah jadi “Tuhan“, Islam jadi “Damai“ atau “Berserah Diri“, Muhammad jadi “Orang yang Terpuji“, masjid jadi “Tempat Sujud“, dan seterusnya. Sebab kalau unsur-unsur “kelengkapan“ agama tadi diganti dengan terjemahan, baik ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa lainnya, maka akan menjadi tidak tunggal lagi. Tegasnya tidak tunggal dari segi bahasa, karena boleh jadi masing-masing negara di dunia dengan beragam bahasa itu akan mempunyai nama-nama yang berbeda.

Untuk sekadar contoh, bila “Al-Ilah“ (Allah) yang artinya “Tuhan“ menurut bahasa Indonesia, orang Inggris akan bilang “God“, orang Sunda bilang “Pangeran“, orang Jawa bilang “Gusti“, dan seterusnya. Jika banyak nama seperti itu akibatnya jelas agama Islam menjadi tak lagi memiliki distingsi yang khas. Jadi inilah “keunikan“ dalam agama Islam.

Mengenai penamaan tempat ibadah umat Islam yang disebut masjid, Allah memang menetapkannya demikian. Karena itu, baik dalam Al-Qur’an ataupun hadis, kata musala yang menunjuk sebagai tempat salat tidak banyak dipakai, bahkan hampir tidak kita temukan. Al-Qur’an hanya menyebut kata musala itu satu kali, misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 125.

Dalam konteks ini dapat dipahami, bahwa penamaan “masjid“, bukan “musala“, karena masjid memiliki makna yang lebih khusus atau spesifik (juz’i) yang hanya menunjuk pada salah satu gerakan dalam salat, yakni sujud – setelah rukuk dan i’tidal. Adapun“musala“, yang secara harfiah berarti tempat salat, jika ditilik dari aspek bentuk atau tata cara ibadah umat Islam memang lebih bersifat umum (kulli), yakni mencakup keseluruhan gerakan dalam salat mulai dari takbiratul ihram yang ditandai dengan mengangkat kedua tangan hingga salam (ucapan assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh) yang dibarengi gerakan kepala menengok ke kanan dan ke kiri. Seluruh gerakan dalam salat inilah yang disebut tata cara ibadah dalam Islam sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Pemakaian kata masjid yang banyak disebut dalam Al-Qur’an maupun hadis tak lain karena puncak ibadah (salat) terdapat dalam sujud. Namun demikian, bukan berarti bahwa gerakan-gerakan lain di luar sujud, seperti berdiri dan rukuk tak memiliki makna. Bahkan para sufi, secara jeli, banyak menjelaskan makna batiniyah setiap gerakan dan bacaan salat.

Adapun sujud disebut sebagai puncak ibadah salat, karena sujud itulah yang menjadi simbol kepasrahan dan ketundukan seorang hamba di hadapan Allah. Ketika malaikat diperintahkan Allah untuk sujud kepada Adam as, misalnya, secara hakikat malaikat itu tidak disuruh untuk tundak dan pasrah atau menyembah dan mengabdi kepada Adam as selaku makhluk, melainkan kepada Allah sebagai Pencipta seluruh makhluk (Al-Khaliq). Adam hanyalah simbol, sama ketika umat Islam disuruh menghadap kiblat (Ka’bah) dan bersujud di depan Ka’bah.

Dalam ibadah perintah adanya sujud bukan hanya terdapat dalam rangkaian gerakan salat. Sujud juga bahkan diperintahkan tatkala seorang hamba menemui (paling tidak) tiga hal. Pertama, ketika seseorang memperoleh kesenangan atau kebahagiaan duniawi, kita diperintahkan untuk bersujud syukur. Kedua, ketika mendengar atau membaca ayat-ayat sajdah kita diperintahkan untuk sujud tilawah, dan ketiga, ketika kita lupa melaksanakan salah satu dari rukun-rukun salat, baik dalam gerakan maupun bacaan salat, kita diperintahkan untuk sujud sahwi.

Orang yang sering melakukan sujud – dengan merendahkan dirinya di hadapan Allah — dipandang Allah sebagai orang yang memiliki keutamaan, sehingga siapa saja yang melakukan sujud ia akan diperhatikan kehidupannya oleh Allah baik di dunia maupun di akhirat. Dalam beberapa ayat Al-Qur’an dijelaskan tentang hikmah dan keutamaan orang-orang yang bersujud, antara lain Q.S. Al-Fath ayat 29, Q.S. Al-Qalam ayat 43, dan Q.S. Az-Zumar ayat 9.

Dalam pandangan kaum sufi, sujud dianggap sebagai bentuk keparipurnaan ibadah. Karena ibadah, khususnya salat, adalah pengabdian totalitas seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam Kitab Ihya Ulumiddin, Imam al-Ghazali mengatakan, selain rukuk, sujud adalah manifestasi hamba dalam ketawadluan. Oleh karena itu, ketika sujud wajah seorang hamba hendaknya langsung menyentuh tanah tanpa harus terhalang oleh hijab apa pun, seperti tikar, karpet, dan sajadah. Dengan begitu diharapkan selain sujud bisa mendatangkan kekhusyukan beribadah, juga lebih menunjukkan sikap kerendahan diri dan kerendahan hati di hadapan Allah.

Jadi dalam perspektif sufistik sujud tak sekadar melakukan gerakan badan dengan merendahkan kepala dan meletakkan kedua telapak tangan di atas tanah, tapi yang lebih penting adalah bagaimana sujud bisa dihayati sebagai pengingat diri akan datangnya hari kematian. Pada saat kita mencium tanah, anggaplah bahwa kita sedang menjenguk jasad asal kita. Sebab, bukankah kita berasal dari tanah dan kelak akan kembali ke tanah? Wallahu a’lam.*

Penulis: Nanang Syaikhu, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda