Ads
Aktualita

Mensterilkan Politik Dinasti

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Dalam pengertian yang hidup di masyarakat dinasti politik diartikan keterlibatan sebuah keluarga dalam menguasai kekuasaan. Dalam sistem kekuasaan monarki atau kerajaan adanya dinasti politik tidak dipermasalahkan. Demikian juga dalam bisnis adanya dinasti keluarga dianggap wajar saja. Tapi, dalam sistem politik demokrasi yang dianut banyak negara di dunia, sistem dinasti akan dilihat apakah prosesnya wajar atau tidak wajar.


Dalam negara kita sistem politik dinasti ini mulai dicermati. Tampaknya, sistem politik dinasti mengemuka terjadi dalam partai politik dan lingkaran kekuasaan, sebut saja di eksekutif maupun legislatif. Tetapi, apakah itu berlangsung secara wajar dan tidak wajar harus dilihat dengan cermat.


Di negara kita yang tampak kentara terjadinya politik dinasti adalah dalam sebagian partai politik. Pendiri partai sepertinya identik dengan pemilik partai. Dalam proses mobilitas dan dinamika organisasinya, pihak keluarga bisa moncer kariernya, diberikan peluang untuk mengisi posisi-posisi strategis dan puncak. Figur lain harus mengalah dan sabar untuk memberikan kesempatan pada mereka, sebagai keluarga petinggi partai.


Dalam eksekutif hal ini pun terjadi. Tokoh yang menduduki jabatan strategis di puncak kekuasaan, walaupun bukan orang partai, tetapi memiliki pengaruh yang luar biasa (power influence) untuk membuka karier keluarganya, baik sebagai eksekutif di daerah, legislatif, yudikatif bahkan sebagai capres atau cawapres.


Politik dinasti tentunya tidak bisa dilarang. Adalah wajar jika suatu keluarga yang berkarir di politik mendorong pula anak-anak dan keluarganya terjun ke dunia politik. Apalagi, jika anak-anak tersebut menunjukkan minat dan bakat untuk menjadi politisi. Dan, hal ini tentu juga menyangkut hak dan kebebasan orang memilih peran dan karir dalam kehidupan.


Namun, persoalan dinasti politik muncul kalau pihak keluarga yang berkuasa ikut terlibat memberikah kemudahan dan pengaruh agar anak dan keluarganya ikut cepat kariernya berkembang, dengan menafikan proses-proses kaderisasi, penempaan pengalaman, tidak melihat kompetensi, dan tidak menunggu suatu pengaderan yang tumbuh dulu dari bawah. Misalnya, menjadi pengurus partai dulu di tingkat cabang, kabupaten, kota dan provinsi, baru karier tersebut sampai ke pusat dan menjadi figur nasional.


Jika proses dinasti politik ini menggunakan tolok ukur kemampuan, pengalaman, pendidikan dan lainnya yang menunjukkan bahwa kader ini berkualitas, sebenarnya politik dinasti tidak masalah. Bahkan, secara psikologis politik dinasti ini dari sudut lain menunjukkan ada aspek positifnya, si calon sudah mengenal dunia politik lebih awal, ketimbang orang yang baru terjun ke dunia politik.


Karena itu politik dinasti ke depan harus ditegakkan atas dasar kemampuan dan kompetensi. Kemampuan ini harus ditunjukkan secara mandiri. Artinya, anak siapa pun tanpa kecuali, harus disyaratkan terlibat dalam kepengurusan partai mulai dari tingkat cabang, kabupaten, kota, provinsi baru ke pusat.


Sedangkan untuk mengisi jabatan eksekutif harus dilihat pengalaman, tingkat pendidikan, jam terbang dan keahlian. Jika standar dan kualifikasi ini tidak dipenuhi, maka sekalipun dia, apakah anak penguasa dan pejabat, tidak bisa diloloskan untuk menduduki suatu jabatan.


Untuk jabatan politik misalnya sebagai calon capres, cawapres, gubernur, bupati dan semacamnya, alangkah baiknya anak para pejabat tidak ikut pemilihan pada saat bapaknya masih berkuasa. Kecuali bapaknya sudah tidak menjabat baru ia bisa cawe-cawe ikut pemilihan. Tapi, jika pada saat orang tuanya menjabat dan berkuasa ia ikut kontestasi jabatan, akan menimbulkan kecurigaan bahwa ia menang secara tidak fair, dianggap karena ada pengaruh bapaknya atau keluarga dekatnya yang berkuasa.


Demikian juga dari aspek pemilih, dalam suatu momen pemilu dan pilpres, misalnya, masyarakat harus dibudayakan memilih atas dasar hal-hal yang objektif dan rasional. Anak pejabat boleh saja dipilih, tapi harus dilihat dulu kemampuannya, pengalamannya, jam terbangnya, bahkan usianya. Kalau dia masih terlalu muda, apakah tepat memimpin suatu jabatan yang tanggung jawabnya sangat besar, mendasar dan sangat menentukan, seperti jabatan presiden dan wakil presiden. Padahal, umpamanya, levelnya baru untuk memimpin sekelas wali kota, bupati dan gubernur. Begitu agaknya saran tentang politik dinasti!

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda