Ads
Cakrawala

Kolom Ganjar Kurnia: Sepotong Riwayat Kampung Cisitu

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Cisitu adalah nama sebuah kampung di belahan Bandung Utara. Bukan tanpa alasan kalau pada kesempatan ini kampung Cisitu diberi kehormatan untuk diketengahkan. Kalaulah mau bicara dengan sedikit mulut besar dapatlah disebutkan bahwa selama seperempat abad terakhir, Kampung Cisitu telah berpartisipasi aktif dan bahkan menentukan pembangunan bangsa Indonesia. Apa tidak hebat?

Karena tempatnya yang sangat strategis, dekat dengan beberapa kampus besar, terutama ITB dan Unpad, sejak akhir tahun 19$0-an, Kampung Cisitu telah dijadikan tempat mondok kaum migran baik dari luar kota, luar Jawa dan bahkan luar negeri yang thalabul ilmi di tatar Bandung.

Kalaulah registrasi penduduk lahir, mati, datang, pergi sudah berjalan dengan baik, mungkin dapat diketahui angka pasti berapa ratus atau berapa ribu sarjana yang telah dijebolkan Kampung Cisitu. Mereka sekarang tersebar di seluruh penjuru angin. Ada yang sudah punya tambahan gelar lebih panjang dari namanya. Ada yang jadi pejabat pemerintah eselon 1, ada yang jadi anggota wakil rakyat di DPR, dekan, direktur perusahaan swasta dan tidak dapat dipungkiri mungkin juga ada yang masih kere. Di Prancis saja dewasa ini paling tidak, ada sekitar 15 sampai 20 orang alumni Kampung Cisitu.

Perkembangan berikutnya, sekitar tahun 1960-an telah berdiri pula gedung LIPI, kampus Akademi Geologi dan Pertambangan serta asrama mahasiswa ITB, yang kesemuanya itu semakin mengokohkan predikat Kampung Cisitu sebagai sosok kampung pendidikan.

Akan tetapi hiruk pikuknya Cisitu dengan para mahasiswa ternyata tidaklah begitu menggelitik kaum Cisitu asli untuk turut serta berpacu memanfaatkan Bandung sebagai gudang ilmu.

Dari dua ribuan penduduk asli yang berhasil menjadi sarjana paling-paling dapat dihitung dengan jari tangan, atau paling banternya tidak dapat melebihi tambahan setengah dari sepuluh jari kaki. Angka-angka ini pun bisa jadi, lebih baik bila dibandingkan dengan penduduk asli Lebak Gede, Balubur atau Haurpancuh yang notabene daerahnya dijadikan pula tempat mahasiswa bersarang.

Memang benar, kesarjanaan tidaklah dapat dijadikan suatu ukuran, akan tetapi untuk lolos dari lubang pendidikan SMA saja, rasanya banyak yang terengah-engah alias payah.

Apakah orang Cisitu kurang berkocek tebal, sehingga tidak mampu mengongkosi anaknya bersekolah? Rasanya tidak juga. Kalaulah batas garis kemiskinannya Sayogyo diterapkan, penduduk asli Cisitu pasti cukup jauh melampaui sang garis. Selain bekerja, mereka banyak yang mempunyai rumah kontrakan sebagai ladang produktif yang tidak perlu dijejali pupuk setiap musim dan tidak akan pernah diterjang wereng. Cisitu tidaklah termasuk kampung yang kumuh, karena hampir semua rumah sudah berdiri tegak permanen. Anak-anak mudanya pun, dengan gaya masa kini, bisa jual tampang dengan sepeda motor di tangan. Dan dalam hal biaya pendidikan, tentu persoalannya tidak akan serepot kaum perantau. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya pemondokan dan ongkos makan, karena toh sejak dilahirkan pun mereka telah indekos gratis di rumah orang tuanya masing-masing.


Apabila motivasi belajar cukup tinggi, kesempatan untuk menambah ilmu dengan gratis pun terkuak besar. Para mahasiswa yang insan akademis itu tentu akan membuka pintu lebar-lebar untuk mengamalkan Tridharma-nya yang ketiga. Apalagi kalau diminta oleh anak gadis yang punya rumah, pasti dijamin bersedia. Akan tetapi kesempatan murah dan besar ini pun rasanya tidak pernah ada yang memanfaatkan dengan baik. Sebuah sumberdaya yang tersia-siakan.

Walau demikian, khusus untuk bidang pendidikan keagamaan kita boleh mengacungkan kedua jempol tangan sekaligus. Orang Cisitu, boleh dikata, tidak satu pun yang buta huruf Al-Qur’an. Setiap keluarga besar, mempunyai mesjid keluarga lengkap dengan pengeras suara yang hingar bingar.

Dari pengajian-pengajian rutin yang bertahun-tahun mereka ikuti, paling tidak mereka pasti telah mendengar salah satu ayat di dalam Al-Our’an, yang menerangkan penghargaan Allah kepada orang yang berilmu dan beramal saleh. Mereka pun tentu tahu dan bahkan ada yang sudah seperti rambutan Aceh alias ngelotok di luar kepala mengenai hadis yang menyebutkan, bahwa thlabul ilmi itu adalah wajib bagi kaum Muslimin sejak dari buaian ibu sampai masuk ke liang lahad. Dengarkan pula syair lagu (nadham), yang sering didendangkan anak-anak di pengajian:

Tolab ilmu wajib bagi setiap Muslimin

Semua kaum lelaki dan perempuan haruslah rajin

Jangan sungkan, jangan bosan jangan isin

Agar tidak mendapat hukuman dari Allah Rabbul Alamin

Memang banyak sekali variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan seseorang di dalam melakukan tholabul ilmi. Dalam konteks ibadah, agama dengan setumpuk dalil yang dimilikinya, adalah merupakan sumber motivasi yang tak kunjung padam di dalam menggelorakan gairah bagi umatnya. Kalaulah ini tidak kesampaian berarti ada yang salah kaprah. Sebuah contoh lain yang cukup simpel adalah masalah kebersihan. Ada hadits yang menyebutkan bahwa kebersihan adalah merupakan sebagian dari iman. Akan tetapi kalau kita menoleh beberapa mesjid yang tersebar di tanah air, selain masih suka ada kolor yang bergelantungan (maaf), juga dari segi kebersihannya terutama sanitasi sungguhlah sangat memprihatinkan.

Fenomena kampung Cisitu, mungkin adalah merupakan fenomena umat Islam Indonesia yang menuntut perhatian mendalam. Kesucian ajaran yang bergumpal di dalam kalbu keimanan sudah saatnya dijabarkan dan diaplikasikan di dalam seluruh tatanan kehidupan. Jangankah jauh-jauh tolabul ilmu ke negeri Cina, ke jalan Ganesha saja yang jaraknya hanya 400 meteran dari kampung Cisitu, orang Cisitu tidak pernah ada yang kesempatan. Heran!

Paris 15 Maret 1986

Penulis: Prof. Dr. Ganjar Kurnia, akademisi dan budayawan; rektor Universitas Padjadjaran (2007-2015)
Sumber: Panji Masyarakat, No. 501, 21 April 1986. Ganjar Kurnia menulis kolom ini saat menjadi mahasiswa Universitas Paris X, Prancis

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda