Ahad, 30 Juli 2023, Sulawesi Tengah berduka. Seorang putra terbaik daerah ini, M. Ichsan Loulembah, telah berpulang ke rahmatullah. Bapak tiga orang anak ini lahir di Palu, Sulawesi Tengah, 23 April 1966. Ichan menikah dengan Dessy Emilia Cindy. Ichan, demikian dia disapa dikenal luas tak hanya di kalangan kawan-kawan kampusnya atau rekan sedaerahnya. Ia terutama dikenal berkat pergaulannya yang luas, terutama di kalangan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan Korps Alumni HMI (KAHMI). Sebagai adik kelas saat kuliah di Universitas Tadulako, Palu, saya ingin berbagai kenangan tentang Ichan.

Pernah suatu ketika, di kota tempat kami berdomisili, sejumlah orang menyebut kami “Sekumpulan Orang Lepra”. Dikatakan begitu malah membuat kami bangga, karena penyebutan itu dialamatkan untuk kami sebagai: orang-orang yang “menular” alias membawa penyakit; siapa berada dekat kami, niscaya “tertular”. Disebut begitu justru menjadikan kami terang-benderang sebagai “penyebar pikiran-pikiran kritis”. Dengan kata lain, pada masanya, kota Palu justru membutuhkan “energi perubahan”.
Menjadi bagian itu, saya–saat itu termasuk junior di antara sejumlah orang kritis lainnya, orang rasional, berpikir dinamis, dan bertindak kreatif. “Kumpulan orang lepra” ini, menjadi dinamisator perubahan. Dari sanalah “bibit-bibit kreativitas” disemai. “Kumpulan orang lepra” sepakat tergabung dalam sebuah organisasi bernama Lembaga Studi untuk Pengembangan Masyarakat (LSPM), yang mendisiplinkan diri untuk setiap pekan mendiskusikan atau membedah buku. Semua anggotanya, dari pimpinan sampai keroco seperti saya, wajib menjadi narasumber yang me-review buku—tradisi intelektual yang demikian usefull bagi saya (dan iklim intelektual di kota tempat kami tinggal).
Artikel ini saya dedikasikan untuk Mohammad Ichsan Loulembah juga allahyarham Kanda Thamrin Ely (pendiri dan ketua LSPM). Keduanya dengan kekhasannya, membangunkan saya dari kelembaman/inertia keseharian masyarakat di kota Palu khususnya, dan Sulawesi Tengah pada umumnya akhirnya bertahun-tahun kemudian elan perubahan itu juga menjadi bermanfaat pula bagi Indonesia, karena bekal dinamika dalam LSPM –ternyata amat kontekstual dengan suasana batin Indonesia.
Tradisi Intelektual
LSPM terjejak dalam memori saya sebagai lembaga dinamisator aktivitas intelektual, dengan disiplin bersikap dan berpikir logisnya. Disiplin menjadi pembedah buku, menghadirkan storming pemikiran, stimulan gagasan, berseliwerannya perspektif. Sejumlah narasumber tamu, mempresentasikan kajiannya dengan kami. Sebutlah Nongtji Hi. Ali (mantan ketua PWI Sulteng), Andi Cella Nurdin (mantan politisi PPP), Andi Alimudin Rauf (dosen FE Untad), Lucki S.Th (Ketua Persatuan Gereja Indonesia Sulteng), Yahya al-Amri (tokoh Al-Khairaat), Jamaludin Hadi (mubalig vokal pada masa itu), Musti Amal Pagiling (ketika itu dosen senior di FISIP Untad, dikemudian hari menjadi Rektor Untad), Iwan Jaya Azis (putra pendiri Surabaya Pos, alumnus UI dan profesor visit di Universitas Cornell, Amerika), Helmy D. Yambas (jurnalis Kompas untuk Sulawesi Tengah). Pada masa itu LSPM memang kecil, tapi punya gaung karena mengisi ruang-ruang kosong dari publisitas –khususnya di Palu.
Library dan perbendaharaan wacana saya cukup progresif bersama LSPM. Dalam rentang interaksi saya dengan Ichan, bersama Arianto Sangadji –mereka menggelar seminar nasional “Sawerigading, Local Hero di Sulawesi Tengah”, menghadirkan tokoh-tokoh nasional dari Untad sendiri, juga Unhas (Makassar), Unhalu (Kendari), Unsrat (Manado). Pada masa itu, “orang-orang LSPM” cukup aktif membawa dinamika intelektual terutama di Untad. Ichan tidak sibuk dengan hal artifisial –seperti mengejar gelar akademisnya—tetapi dia eksis dengan profesionalitasnya. Tidak sibuk “memburu ketenaran”, kesibukan yang masih dia “sisakan”, membangun silaturahim. Dalam urusan perekatan persaudaraan dan perkawanan, Ichsan menjadi maestro-nya.
Hadir di reriuangan kecil di LSPM, bagi sejumlah tokoh itu merupakan kehormatan. LSPM muncul sebagai institusi swadaya yang kritis dan mencadi intellectual exercise bagi para tokoh itu. Pada suatu kesempatan, Kanda Ichan pernah mengatakan, hal yang saya rasakan sebagai motivasi, “Iqbal, kamu bagus sudah berani tampil di forum ini (diskusi buku LSPM). Paparanmu kurang punya akar, asyik mengungkap hal-hal yang tinggi.” Saya terhenyak mendengarnya. Setruman Ichan cukup ampuh, mereduksi gaya dan paparan saya selanjutnya. Saya sadar untuk tidak melakoni “kegenitan intelektual”, kalimat yang pernah beredar dalam komunitas LSPM. Kata-kata “kegenitan intelektual”diungkapkan untuk paparan yang kosong, kurang bertenaga, “paparan seolah-olah pandai”. “Tradisi LSPM” mencegah kami untuk membiasakan diri “bicara dengan isi”, tidak membual dan berbicara dengan data. Terima kasih LSPM, kampus kedua saya setelah Universitas Tadulako.
Bertarung Di Jakarta
Singkat cerita, episode LSPM, telah mewarnai pikiran dan pilihan profesi saya di Ibukota. Pada satu kesempatan, saya pun kost di Jakarta Selatan. Saat itu, kami tinggal di Tegal Parang jalan C. Beberapa orang asal Palu, tinggal di situ. Salah satunya, Ichan. Saat itu Ichan menjadi penyiar Trijaya FM, sedangkan saya bekerja di majalah Kartini. Beberapa kawan asal Palu yang lain: Aslamudin Lasawedy (Atang), Nazaruddin Said (Culin), Bahartani Lamakampali (Ba’as). Bekerja di media, menjadi jurnalis, seperti meneruskan aktivitas yang dulu telah kami biasakan. Debut awal saya di Jakarta dan bekerja di media, berlangsung empat tahun, lalu Ichan lah yang menyarankan saya untuk melamar ke majalah Panji Masyarakat, saat itu media itu sedang ada rekruitmen jurnalis.
Panji Masyarakat ketika itu –sebagai media yang dilahirkan Buya Hamka itu–nyaris dibeli seseorang, lalu Mar’ie Muhammad –ketika itu Menteri Keuangan masa Pak Harto (juga alumni HMI) turun tangan, ‘menugaskan’ Fuad Bawazir untuk menyelamatkan majalah Islam itu. Bang Ichan ikut dalam upaya “penyelamatan” itu dengan mengirim saya mengajukan lamaran ke Panji Masyarakat. Saya bertahan, memperkuat barisan jurnalis Panji Masyarakat, dan bertahan di sana sampai majalah ini berhenti terbit, antara lain karena tunggakan pembayaran beberapa agen di daerah.
Untuk Ichan saya memberikan Al-Qur’an terjemahan yang diterbitkan PT Khairul Bayan, satu payung dengan penerbit Tabloid Fikri tempat saya berkantor. Saat itu saya diamanahi perusahaan mengurus divisi buku. Dari perusahaan saya mendapat bonus beberapa eksemplar Al-Qur’an. Untuk memudahkan membaca, Al-Qur’an itu berwarna, dan diberi catatan cara membacanya: idgam mimi, idgam Bigunnah, Idgam Bilagunnah, Iqlab, Ikhfa, Ikhfa Syafawi [masing-masing dengan warna]. Dalam rentang waktu beberapa bulan Ichsan memberikan buku tebal karya Phillip K. Hitti, The History of The Arabs, edisi terjemahan setebal 981 halaman (lengkap dengan indeks, versi terjemahannya diterbitkan Serambi Jakarta). Ichan juga pernah memberi saya salah satu buku yang ia tulis bersama beberapa kawan ketika masih aktif sebagai anggota DPD-RI (Bikameral Bukan Federal diterbitkan oleh Kelompok DPD di MPR-RI Jakarta). Setelah Ichsan berpulang, saya cari lagi buku pemberian Ichsan. Dalam buku Bikameral Bukan Federal –judul buku itu diambil dari artikel yang ditulis Ichsan–dan dalam buku itu menyumbang dua artikel).
Buat saya, fase paling mengesankan adalah tatkala bergumul di LSPM, fase yang membekaskan emosi, semangat berkarya dan berkontribusi untuk negeri, dan merambah ranah-ranah yang bisa dijangkau. Kepergian Kanda Ichan —selain melalui ajakan menulis kenangan tentang dia, adalah menstimulasi nalar—bahwa ada suatu masa saya “dikitari orang-orang jujur, istiqamah memiliki kemauan keras untuk mengawal nalarnya sehingga bisa membagi semangat dan keyakinan, dan terjaga untuk tetap logis. Bersyukur saya hadir dengan orang-orang shalih itu. Dan kepergian Kanda Ichsan membuat saya kehilangan, sekaligus mengingatkan saya pada pesan-pesan baiknya.
Melestarikan Hal Baik
Pada salah satu kesempatan saat takziah hari ketiga, saya mendengar Andi Mulhanan Tombolotutu (Ketua Majelis Daerah Sulteng) mengatakan, ”Saya jarang bertemu dengan Ichan, kalaupun bertemu, masing-masing punya urusan. Tetapi tidak tahu kenapa, suatu ketika Ichan yang bertanya, Kak Tonny sedang di mana. Dia datang menemui saya. Praktis dalam satu minggu terakhir ini, saya bertemu Ichan dan selalu mengantarkannya pulang sampai ke rumahnya.”
Saya berpikir, Ichan memilih Tonny (Andi Mulhanan Tombolotutu) sebagai orang yang ia temui karena alasan praktis: pertama, Tonny secara posisional adalah pimpinan (dituakan) dari daerah dari mana Ichan berasal; kedua, Tonny secara organisasional adalah pimpinan Kahmi dari wilayah daerah dari mana Ichan berasal. Dua alasan itu, secara sosial menjadikan Ichan husnul khatimah. Kepergiannya berakhir dengan pertemuan dengan Kanda Tonny: sedaerah asal Ichan dan seorganisasi paling intens yang Ichan gumuli hingga akhir hayatnya.
Saya katakan Allahyarham M. Ichsan Loulembah adalah “maestro silaturahmi”. Setidaknya, pada era digital ini, Ichsan “mengasuh” 60 group WA, sebuah pencapaian yang luar biasa, dengan group WA itu, sedapat mungkin dia membalas WA yang muncul pada group WA yang dia inisiasi itu.
Maka perspektif kita pada era kekinian ini, silaturahmi digital –percakapan nir suara— justru lebih “berisik” dibanding percakapan langsung, bahkan bisa amat “heboh”. Kesantunan yang dirawat oleh Almarhum nyaris menjadi fatsoen komunikasi WA pada grup-grup WA yang dia inisiasi. Anggota grup yang dia inisiasi, hasil dari pilihan secara moral yang tersaring, lintas wilayah bahkan lintas negara. Secara tak langsung, nyemplung (atau dicemplungkan), dan dihadirkan di grup WA itu, member groups serasa berbincang dan bercengkerama dengan sebuah komunitas pilihan. Ichan memilih orang-orang yang diundangnya dalam grup WA, dan saya baru menyadari kalau Ichsan merespons khas dia, sejumlah member group yang ia rasa harus direspons, mungkin karena penting direspons, karena sudah lama tidak muncul di group WA, atau karena pertimbangan tertentu –mungkin pula menstimulir percakapan yang juga penting, agar memunculkan maslahat lebih besar kalau “diramaikan”.
Ichan hadir pada momentum tepat, dan “menghilang” (selama-lamanya) juga pada momentum yang tepat. Kiriman entah dari siapa podcast dia yang diunggah semasa hayat dia, masih tersimpan sebagai memori kita, khususnya memandu preferensi kita pada pesta demokrasi mendatang. Bisa saya katakan, sebagai “maestro silaturahim”. Ichan tak tergantikan.

Benar saat saya katakan, dia menjadikan silaturahmi menjadi “kesibukan utama”-nya. Mengapa? Apakah ia ”kurang kesibukan”? Justru dia amat padat, dan aktivitas dia itu dilakukannya simultan dengan kesibukan yang lainnya.
Kini sang maestro silaturahim itu telah menyelesaikan tugasnya. Para sahabatnya mulai menginventarisir sejumlah legacy yang dia jejakkan. Serpihan kesan dan kenangan, harus diikat sebagai mandat, pesan-pesan baiknya harus bisa menjadi alasan rasional dan produktif untuk umat dan bangsa. Sebagai ikon dalam bertaburannya kader HMI, sangat mungkin bertolak dari banyak jejak komunikasi [sebagai salah satu bidang yang dia gumuli dan kuasai] apa yang dia tinggalkan, bisa dilembagakan. Komunitas KAHMI banyak yang mampu mewujudkan legacy sang maestro silaturahim. Allahumagh firlahu warhamhu wa ’afihi wa’fu anhu.