Ads
Cakrawala

Kolom Fachry Ali: Mengobrol

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Mengobrol, mungkin salah satu pekerjaan rutin kita. Kita tidak tahu pasti, berapa kalikah kita mengobrol dalam sehari. Yang jelas, kita bisa mengembangkan kebiasaan ngobrol di mana saja. Di rumah, di kampus, di restoran dan tentu saja di kantor. Mungkin, bagi mereka yang telah bekerja, kantor adalah tempat yang paling ideal untuk pekerjaan itu. la menjadi tempat bagi kita untuk bertemu secara teratur. dan rutin. Keteraturan pertemuan dan kerutinan inilah yang merangsang obrolan berlarut-larut.

Tapi apa tema yang sebenarnya dalam setiap obrolan? Pertanyaan ini terang tidak relevan. Obrolan lebih merupakan pembicaraan yang melantur kian kemari. Tanpa tema, tentunya. Maka, tidaklah dint dalam suatu obrolan dengan beberapa mahasiswa, tiba-tiba muncul pertanyaan yang tidak berujung pangkal. “Siapakah pemimpin Islam dalam pandangan Anda dewasa ini?’’

Saya sadar, saya tidak punya jawaban. Toh saya dengan tentatif mencoba menyebut dua nama: ’’Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rakhmat’’ Keduanya, dalam pandangan saya, telah mencapai tingkat kesadaran tertentu: ketidakinginan menjadi bintang. Toh mereka menolak untuk yang disebut pertama dan menyetujui untuk tokoh yang kedua. Tokoh pertama, nilai mereka, hampir selalu berfungsi sebagai tokoh pemberi harapan, terhadap siapa pun. Tidak halnya pada tokoh yang disebut terakhir. Tokoh ini, dalam pandangan mereka, lebih berani menyatakan diri, secara eksplisit sekalipun.

Entah saya yang gagal memahami pandangan mereka, atau mereka tidak terlalu berkeinginan untuk lebih dalam memahami distingsi di antara kedua tokoh itu, tekanan obrolan segera berpindah. Toh saya sempat berkata bahwa Nurcholish berada dalam posisi yang krusial dewasa ini. Dia bukan lagi ketua umum PB HMI — dan karena itu, tidak lagi dihitung sebagai anak muda belia. Dan justru karena itu, di antara ketidakbeliaan dan pengaruh pemikirannya yang tidak lagi bersifat lokal, dia dihadapkan dengan posisi yang sulit. Jalaluddin mungkin bisa lebih menegaskan diri. Tapi penegasan diri Nurcholish akan mempunyai dampak yang lebih jauh, dalam konteks politik dan keislaman. Ingatkah kita tentang polemik “t & T” untuk menulis kata Tuhan?

Kita, dan sebagian besar di antara kita, mungkin tidak berbakat untuk menjadi seorang tokoh. Tapi besar pula kemungkinan, kita mengelak untuk memerankannya. Justru karena kita tahu, betapa dilemanya kedudukan seorang tokoh. Peran seorang tokoh, dalam esensinya adalah peran yang tidak bebas. Ia terbelenggu dalam mitos yang mengitari konsep tokoh. Dan kita, serta sebagian besar di antara kita, karena tidak merasa berperan sebagai tokoh, memang mudah melancarkan — kritik. Mungkin, karena kita orang bebas. Tapi, bukankah dengan kebebasan yang kita miliki, kita menjadi jauh lebih berhak memahami posisi psikologis dan dilematis yang dihadapi oleh setiap tokoh?

Toh rasanya ada hal yang kontradiktif dalam sikap ”berusaha memahami posisi seorang tokoh’’. Ada pengertian yang mendalam, yang dipancarkan pihak lain kepadanya. Ironisnya, ‘’pengertian” itu bisa menjurus kepada rasa ’’kasihan’’ yang berkelebihan. Lebih ironis lagi, jika rasa itu hampir melulu tertuju kepada seorang tokoh (besar).

Maka pertanyaannya, bukan apakah seorang tokoh patut dipahami — yang kemudian membuatnya bisa dimengerti untuk hanya menunggu dan tidak mengambil inisiatif apa-apa. Melainkan adalah, apakah perlu ditambah mitos lainnya di sekitar konsep tokoh, bahwa peran seorang tokoh hanya bisa dimengerti kalau ia berhasil melintasi struktur mitos ketokohan yang melingkarinya selama ini.

Mungkin artinya — sambil kita tutup obrolan ini — bahwa seorang tokoh tidak harus selalu menjadi orang yang “tidak bebas’’.

Penulis: Fachry Ali, kolumnis, peneliti dan pengamat sosial politik dan budaya
Sumber: Panji Masyakarat No. 501, 21 April 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda