Ads
Cakrawala

Buya Hamka tentang Kewajiban Hijrah (4): Kisah Hijrahnya Orang Romawi dan Abdurrahman bin Auf

Ditulis oleh Panji Masyarakat

“Dan barangsiapa yang berhijrah pada jalan Allah, akan didapatnyalah di bumi ini tempat tinggal yang banyak dan kelapangan. Dan barangsiapa yang ke luar dari dalam rumahnya dalam keadaan berhijrah pada Allah dan Rasul-Nya, kemudian itu maut pun mencapainya, maka sudah pastilah ketentuan pahalanya dari Allah. Dan Allah itu adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Surat An-Nisaa, ayat 100).

Ayat tersebut amat penting artinya membuka mata orang, agar mereka jangan hidup bagai “katak di bawah tempurung”, cita-cita yang besar lagi mulia, bisa terpendam saja di tempat yang sempit, lalu membeku karena tidak mau berhijrah. Shuhaib orang Romawi tinggal di negeri: Makkah sebagai pedagang, padahal dia bukan penduduk Mekkah asli. Karena uletnya dalam hidup, dia menjadi kaya-raya. Setelah dia kaya-raya, dia menyatakan dirinya memeluk Islam, iman kepada risalah Muhammad. Setelah ada keputusan bahwa kaum muslimin di Mekkah mesti hijrah ke Madinah, Shuhaib yang kaya-raya pun akan hijrah. Orang-orang musyrik Quraisy bertanya: “Apakah harta-bendamu akan engkau bawa pindah serta, setelah engkau hisap segala kekayaan kami di sini?”

Dengan spontan Shuhaib menjawab: “Kalian jangan takut! Segala harta bendaku ini boleh kalian ambil semuanya, dan saya akan turut hijrah bersama Rasulullah dengan harta yang lekat di badanku.”

Oleh sebab yang dipandang orang-orang musyrikin itu hanya harta, maka hati mereka telah menjadi besar dan Shuhaib ke luar dari Makkah dengan selamat.

Demikian juga Abdurrahman bin Auf, seorang di antara 10 sahabat yang utama dan terkemuka. Dia pun hijrah meninggalkan Makkah dengan hanya pakaian yang lekat di badan. Sampai di Madinah dia dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan anak Madinah, yang di dalam istilah mulia dalam Islam dinamai Al-Anshar, seperti halnya Abdurrahman bin Auf dan semua yang hijrah diberi gelar kehormatan Al-Muhajirin.

Orang Anshar yang dipersaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf itu bernama Sa’ad bin Rabi’. Dia adalah termasuk seorang yang kaya di Madinah. Dia beristri dua orang. Demikian tulus hatinya kepada saudaranya itu, sampai dia berkata:

“Kau datang ke Madinah dalam keadaan sebatang-kara, tidak pula berharta. Aku sendiri saudaramu, ada harta agak banyak. Harta ini boleh kita bagi dua separuh buat engkau dan separuh buat saya. Istriku ada berdua! Boleh engkau pilih mana yang engkau sukai dan katakan padaku terus terang. Bila engkau katakan hal itu, dia segera aku ceraikan dan selepas ‘iddahnya aku kawinkan engkau dengan dia!”

Abdur Rahman menjawab: “Ketulusan hatimu aku sambut baik, wahai saudaraku! Pakailah harta-bendamu baik-baik, tidak perlu kita bagi dua. Hiduplah dengan kedua istrimu, moga-moga Tuhan memberi berkat kepadamu! Yang penting engkau tunjukan kepadaku hanya satu saja! Yaitu di mana jalan menuju pasar, tempat orang giat berjuak-beli.”

Sa’ad segera menunjukkan di mana letak pasar itu. Dan sejak itu pula Abdurrahman bin ‘Auf yang datang tidak membawa apa-apa dari Madinah itu telah masuk ke pasar, maka dengan kepandaiannya meraih di sana menjual di sini, sepetang hari itu juga dia telah membawa laba pulang. Setelah sebulan kemudian dia menemui Rasulullah dengan muka berseri, berpakaian baru, badan penuh harum-haruman dan rambut disisir rapi!

“Ke mana engkau, hampir sebulan tidak tampak,” ujar Nabi Saw.

“Aku memulai kehidupan di Madinah, ya Rasulullah!”

“Aku lihat wajahmu berseri dan engkau rapi.”

Abdur Rahman menjawab: “Aku baru saja kawin, ya Rasulullah. Dari laba dan untung perniagaanku, aku dapat kawin.”

Dengan apa engkau bayar maskawin?”

“Dengan emas, ya Rasulullah!”

Nabi Saw tersenyum dan Abdurrahman pun tersenyum! Kemudian Abdur Rahman termasuk orang-orang yang terkaya di Madinah!

Penulis: Prof. Dr. Hamka.
Sumber: Panji Masyarakat, 11 September 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda