Ads
Cakrawala

Esai Haidar Bagir: Nasionalisme, Pancasila dan Umat Islam (2)

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Islam – sebagaimana tercerminkan dalam berbagai sejarah pergerakan-pergerakan kebangsaan modern di Indonesia, sejak awal terbentuknya — pada kenyataannya memang cenderung mengakomodasikan, atau barangkali malah memelopori dan mengobarkan, nasionalisme.

Islam memang mengakui hak hidup bangsa dan suku, sejauh saling pengertian di antara mereka tetap terpelihara: ’’Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan Kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya Kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu adalah yang paling bertakwa di antaramu.” (Al-Hujuraat, 13).


Eksistensi bangsa, lebih jauh, diperlukan sebagai bentuk pengelompokkan obyek Missi pengislaman semesta, yang memungkinkan prosesnya dilancarkan secara bertahap — jadi tak lebih daripada persoalan manajemen proses Islamiusasi belaka: ’’Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.’’ (At Tahrim, 6). ”Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.’’ (Asy-Syu’ara, 214).


Selanjutnya, Islam — di samping sifat egalitarian yang memang inheren pada dirinya — juga menyadari, bahwa universalisme tak mungkin bisa dicapai tanpa adanya persamaan di antara unsur-unsur yang dikehendaki membentuk universalitas tersebut: ’’Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu menindas golongan yang iain, maka perangilah (terlebih dahulu) golongan yang menindas itu, sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah). Maka, (baru) damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.’’ (Al-Hujuraat, 9).


Ayat di atas menunjukkan bahwa, bahkan di kalangan kaum. Mukmin (Muslim) sekalipun, persamaan dan ketiadaan penindasan merupakan suatu prasyarat mutlak bagi segala kemungkinan perbincangan tentang suatu -koeksistensi damai antara berbagai kelompok. Islam — sejalan dengan ideologi-ideologi lainnya — tentu saja tak menolak semuanya itu, bahkan pun jika dinamai nasionalisme.


Islam — sebagaimana tercerminkan dalam berbagai sejarah pergerakan-pergerakan kebangsaan modern di Indonesia, sejak awal terbentuknya — pada kenyataannya memang cenderung mengakomodasikan, atau barangkali malah memelopori dan mengobarkan, nasionalisme seperti ini. Walaupun umat Islam, secara wajar, sebenarnya cukup percaya pada keunggulan dan kelebihlengkapan ajaran-ajaran agamanya dibanding nasionalisme, mereka bisa menerima nasionalisme — kalau ia dianggap lebih mampu untuk merekatkan pluralisme di dalam suatu bangsa — paling tidak sebagai ’’pilihan kedua terbaik’’.


Di Indonesia — yang nasionalisme, dalam ungkapan ’’Persatuan Indonesia’’, merupakan satu di antara lima sila yang menjadi dasar negara — tradisi sikap akomodatif umat Islam terhadap nasionalisme semestinya masih bisa terus dipertahankan, jika saja dipenuhi beberapa kondisi yang dibutuhkan untuk itu.


Pertama, nasionalisme mesti terus dijamin — lewat ucapan dan perbuatan — agar selalu dilandaskan pada kerangka Ketuhanan Yang Maha Esa dan ditempatkan dalam kerangka Peri Kemanusiaan — atau Internasionalisme, dalam arti aslinya — yang tidak lain juga merupakan sila-sila lain dari dasar negara yang sama. Apalagi, bukankah memang demikian penafsiran kaitan antara ketiga sila tersebut mesti dijelaskan? Menurut kata Soekarno, sang penggali Pancasila: ’’Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan Bangsa-bangsa ….. Justru inilah prinsip saya yang kedua, yang boleh saya namakan ‘’internasionalisme’’. (Soekarno, Pancasila dan Perdamaian Dunia, Yayasan Idayu, Jakarta, 1985, halaman 151).


Kedua, mesti dihindari jauh-jauh kesan, bahwa nasionalisme didesakkan sebagai alternatif bagi ajaran-ajaran agama (Islam) dalam soal-soal kebangsaan seperti ini. Umat Islam mesti bisa diyakinkan, bahwa memang tak ada makar yang hendak dilancarkan oleh unsur-unsur anti-Islam lewat politik pecah-belah, dengan “nasionalisme’’ sebagai senjata. Sikap-sikap atau pertanyaan-pertanyaan tendensius yang mendakwakan kecenderungan akan adanya penindasan kelompok-kelompok lain dan set-back ke Abad Pertengahan, jika ajaran-ajaran Islam diterapkan dalam persoalan-persoalan kebangsaan, mesti juga sejauh mungkin dihindari. Kerusuhan yang meledak di Suriah (1967) menyusul pemuatan suatu artikel yang bernada seperti demikian di koran resmi pemerintah Sriah — Jaish al-Sha’b — kiranya bisa dijadikan contoh. Berikut ini adalah kutipan dari artikel yang berjudul ”Sarana-sarana untuk menciptakan Manusia Arab Baru’’: ”Satu-satunya cara, untuk membangun masyarakat dan peradaban Arab adalah dengan menciptakan manusia Arab baru yang sosialis; yang percaya bahwa Tuhan, feodalisme, kapitalisme, dan semua nilai yang pernah ada sebelumnya, adalah tidak lebih daripada mumi-mumi Abad Pertengahan.’’ (Bernard Lewis, Kebangkitan Islam, Mizan, Bandung, 1984, halaman 40).


Ketiga, bahwa dalam situasi ’’pilihan kedua terbaik’’ ini pun, masih cukup terbuka peluang konstitusional bagi pewujudan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam kerangka ini, ungkapan Soekarno ketika berbicara tentang sila ketiga dari Panca Sila yang diusulkannya — disebutnya mufakat, — atau perwakilan atau permusyawaratan — bisa menjelaskan hal ini: ’’Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki utusan-utusan Islam …. Dengan sendirinya hukum-hukum yang ke luar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.’’ (Soekarno, Pancasila, halaman 15-16).


Akhirnya, faktor kunci yang menjamin tercapainya ketiga kondisi di atas, menurut penulis, adalah tampilnya tokoh-tokoh pewenang dengan integritas tinggi yang bisa dipercaya oleh kelompok keagamaan terbesar dari bangsa ini. Almarhum Moh. Hatta, sebagai ditampilkan oleh suasana genting saat-saat perumusan dasar negara pada kemerdekaan, barangkali bisa disebut sebagai salah satu contoh. Betapapun Hatta melancarkan kritik keras terhadap kelompok Islam yang menghendaki Indonesia menjadi negara Islam, namun “Sebagai seorang demokrat sejati, Hatta mengemukakan pendapatnya secara terus terang dan jujur. Barangkali karena integritas pribadinyalah, maka pemimpin-pemimpin Islam tidak pernah menunjukkan sikap-sikap antipati terhadap Hatta sekalipun tidak semua pemimpin itu setuju dengan kritik tersebut. Hatta memang tidak banyak bicara tentang Islam, tapi kejujuran, kealiman dan sikap demokratisnya sebenarnya sampai batas tertentu. mencerminkan nilai-nilai ajaran Islam yang paling dalam. Kehidupannya bersih, di tengah-tengah wabah korupsi yang menimpa segenap sektor masyarakat Indonesia. Hatta benar-benar hati nurani bangsanya.” (A. Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, Jakarta, 1985, halaman 154).

Penulis: Dr. Haidar Bagir, penulis sejumlah buku terutama tasawuf dan filsafat; pengelola yayasan pendidikan, dan presiden direktur sebuah grup penerbitan. Kelahiran Surakarta tahun 1957 ini meraih S1 dari Jurusan Teknologi Industri ITB (1982), S2 dari Pusat Studi Timur Tengah, Harvard University (1992), dan S-3 dari Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, dengan riset selama setahun (2000-2001) di Departemen Sejarah dan Filsafat sains, Indiana Universty, Amerika Sertikat.
Sumber: Panji Masyarakat No 500, 11 April 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda