Saya (Buya Hamka, red) pertukaran pikiran antara dua guru besar saya tentang agama Islam. Yaitu ayah saya sendiri Syekh Abdul Karim Amrullah dan sahabat karibnya Syekh Abdullah Ahmad, yang kedua-duanya mendapat gelar “Doktor Honoris Causa” dari ulama-ulama Islam pada tahun 1926 (dari Universitas Al-Azhar, Kairo, red). Ketika mereka akan berangkat bersama ke Mesir itu, terdengarlah keduanya membicarakan gerak kewajiban mengadakan dakwah agama di Sumatera Barat. Demi melihat banyaknya kesulitan yang dihadapi, mengeluh Syekh Abdullah Ahmad dan berkata:
“Kalau begini keadaan di negeri ini, saya tidak keberatan hijrah dari negeri ini ke negeri lain yang lebih leluasa melakukan agama.”
Lalu ayah dan guru saya menjawab: “Saya tidak akan hijrah dari negeri ini. Saya akan berjuang di sini sampai nyawa cerai dengan badan, kecuali kalau saya diusir dari sini dengan kekerasan.”
Sebab itu maka Syekh Abdullah Ahmad ingin hijrah ke tempat lain. Sedang guru dan ayah saya ingin berjuang terus di negeri sendiri. Syekh Abdullah Ahmad hendak menjalankan hijrah cara Nabi Musa, hijrah negeri. Lama beliau hidup di Jakarta. Adapun ayah saya melakukan juga hijrah, yaitu hijrah Nabi Luth, hijrah dari alam kepada Tuhan, dari yang batil kepada yang hak. Tetap pada keyakinan dan pendirian walaupun akan ditentang oleh orang lain, sehingga akhirnya beliau pun diasingkan
Belanda dengan kekerasan dari kampung-halamannya.
Syekh Abdullah Ahmad meninggal pada tahun 1934 dan ayah saya meninggal pada tahun 1945. Kalau kiranya ayah saya pindah dengan kehendak sendiri, dari Maninjau ke Sukabumi dengan niat semata-mata hendak mencari hidup, tentu bukanlah hijrah yang dikehendaki oleh agama yang akan beliau jumpai. Sebab ketika Nabi kita Muhammad Saw sendiri hijrah ke Madinah bersama-sama sahabat-sahabatnya, meninggalkan negeri Makkah didorong oleh keyakinan dan akidah hidup. Bersama dengan beliau ada pula orang-orang sama hijrah dari Makkah ke Madinah tetapi niatnya lain. Yakni hijrah karena dunia, atau hijrah karena memang ada tunangan (pacar) yang akan dinikahinya di Madinah. Maka hijrah orang-orang itu akan diberi nilai oleh Tuhan sekadar niatnya itu. Sebab itulah maka tersebut di dalam hadis yang terkenal:
“Sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung kepada niat. Dan yang dicapai oleh seseorang itu ialah apa yang telah ia niatkan. Maka, barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu (tetap) karena Allah dan Rasul-Nya. Tetapi, barangsiapa yang hijrahnya untuk kehidupan dunia yang ia harapkan atau untuk seorang perempuan yang akan Ia kawini, maka hijrahnya itu adalah seke dar untuk tujuan dan maksudnya itu saja.”
Kawan-kawan saya yang masuk gerakan Muhammadiyah di Bandar Sepuluh (sekarang bernama Pesisir Selatan), yaitu sepuluh buah bandar di Pesisir Sumatera Barat, telah diusir oleh keputusan ninik-mamak dan kepala-kepala Nagari di daerah itu, sehingga seluruh anggota Muhammadiyah sejak dari Tarusan, Batangkapas, Seranti, Kambang, Lakitan, Airhaji, Ampingparak, terpaksa hijrah ke Kerinci dan ke tempat lain sekitar tahun 1934. Maka berkeliaranlah mereka dari kampung-halaman karena dibelot dan dihinakan oleh ninik-mamak di negeri itu, padahal dilatarbelakangi oleh penguasa-penguasa Belanda pada masa itu.
Sepuluh tahun lamanya teman-teman itu hijrah, termasuk kawan-kawan sebagai H. Samik Ibrahim, H. Abdul Manan, H. Muhammad Rasyid, Sutan Sari Alam dan lain-lain terpaksa meninggalkan negeri itu dan hidup bertebaran di kampung lain. Namun mereka tetap teguh memegang agidah dan setia dalam perkumpulan yang mereka masuki, sempat 10 tahun lamanya. Akhirnya terjadilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, genap sepuluh tahun setelah mereka dikeluarkan dengan kekerasan dari kampung-halaman mereka. Dan terbaliklah keadaan, kepala-kepala Nagari yang “besar” di kampung-halamannya karena dibesarkan oleh besluit Belanda itu jatuh menjadi orang-orang yang tidak berharga dan orang-orang yang terusir itu pulang kembali ke kampung-halamannya, menegakkan agama Islam menurut yang mereka cita-citakan. Ini kejadian dalam abad ke-20, dari tahun-tahun di antara 1935 dengan tahun 1945.
Apabila pejuang-pejuang itu telah kembali dan keadaan telah normal, kita tanyakan kepada teman-teman itu tentang pengalaman mereka hijrah di abad ke-20, mereka mengatakan lantaran hidupnya agidah itu dalam dada mereka dan yakinnya mereka akan kemenangan, meskipun tinggal di tempat yang baru, sebagian besar di Kerinci, namun di kediaman baru itu tidaklah mereka merasa kecil dan tidak merasa terlantar. (Bersambung)
Penulis: Prof. Dr. Hamka.
Sumber: Panji Masyarakat, 11 September 1986