Bagi orang Islam, tidak ada salahnya bila dipakai ikatan perasaan pada segolongan atau sebangsa untuk mengumpulkan dan menyusun tenaga yang perlu untuk golongan itu, tapi dengan menghormati kepentingan dan hak-hak golongan lain, dengan menyingkirkan perasaan ta’asub kebangsaan yang menutupi hak keadilan dan peri kemanusiaan, dan tidak mengurangi akan ikatan secita-cita, sepemandangan hidup dan seagama, yakni ikatan ’’persaudaraan Islam’’
- “Barangkali tidak ada yang lebih membahayakan Islam daripada ide Nasionalisme. Manusia harus dibagi menurut ras dan bahasa yang dipergunakannya. Loyalitas tertinggi yang hanya terbatas pada kesatuan geografis (yang dianjurkannya), tidak sesuai dengan Islam yang mengajarkan bahwa tali persatuan yang terbaik antara bangsa adalah persamaan nilai-nilai spiritual.” (Maryam Jamilah, Islam versus Barat, Al-Hidayah, Jakarta, 1981, halaman 39. Dengan sedikit perubahan redaksional).
- Kutipan di atas, adalah tipikal pandangan sekelompok kaum Muslimin terhadap gagasan paham kebangsaan (nasionalisme). Lebih jauh, suatu daftar panjang keberatan kelompok Muslimin ini terhadap paham kebangsaan masih bisa diberikan. Daftar seperti itu biasanya, sebagai disimpulkan oleh Dr. Kalim Siddiqui (seorang sarjana ilmu politik terkemuka di dunia Islam, direktur Muslim Institute, London) dari Konferensi Pemuda Islam Internasional (Tripoli, 2 – 12 Juls 1973), memuat juga hal-hal berikut: (Kalim Siddiqui, Toward a New Destiny, The Open Press, England, 1974, halaman 21 24).
- Nasionalisme telah menumbuhkan struktur negara-bangsa (nation-state) yang menuntut pemuasan kepentingan diri sendiri dengan harga kepentingan (kelompok) lam — yang hanya membidani lahirnya imperialisme dan fasisme, baik terang-terangan maupun terselubung.
- Nasionalisme berakar pada berbagai faktor seperti wilayah, bahasa, kebudayaan dan keunggulan rasial. Sedang Islam tak mengenal batas-batas geografis, linguistik dan rasial.
- Pada kenyataannya, Nasionalisme — segera setelah mencapai dunia Islam di Afnka Utara, Timur Tengah dan Timur Dekat —merupakan terompet maut yang menandaj peluruhan dunia Islam menjadi negara-negara-bangsa. Nasionalisme Arab, khususnya, telah menjadikan Arab terasing dari Islam dan nasionalisme-nasionalisme parokial lainnya, seperti Pakistan, Iran, Afghanistan dan Indonesia. Nasionalisme, dengan demikian, telah mencegah Ummat Islam sebagai suatu keseluruhan dari bersatu atas dasar Islam. Sehingga, akhirnya, ia telah melemahkan dar al-Islam dan menjadikannya tergantung pada belas kasihan kapitalisme-penjajah, Zionisme dan Komunisme.
Sifat sekularistik yang dianggap melekat pada nasionalisme, sebagai suatu ideologi yang mengklaim kendali atas segenap urusan kehidupan manusia, tentu saja tak bisa dianggap remeh di dalam mengukuhkan penolakan kelompok Muslim tersebut terhadapnya. Padahal, menurut kelompok ini, nasionalisme dilahirkan sekadar untuk mengisi kevakuman ideologi ketika negara-negara Eropa melepaskan diri dari Gereja pada masa Renaissance sehingga, tak seperti ideologi-ideologi besar lainnya, ia tak memiliki cukup basis filosofis sebagai raison d’etre-nya. (Dr. Ali Muhammad Naqavi, Islam and Nationalism, Islamic Propagation Organization, Iran, 1984). Bahkan, Hans Luthy yang ia sendiri adalah seorang tokoh nasionalisme mazhab . Jerman (1744-1803) mengatakan: ’’Nasionalisme adalah suatu kredo yang didasarkan atas segenggam dogma yang tak bisa dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah dan intelektual, dan memiliki keotentikan hanya di benak para penganutnya.” (Johan Herder, A Rehabilitation of Nationalism, London, 1962, halaman 835).
Yang memang terasa amat menyakitkan, adalah ketika kemudian ’’produk asal ada’’ ini didesakkan ke dunia Islam sebagai tandingan untuk tujuan-tujuan manipulatif yang bersifat memecah belah. Tak kurang dari Sir Moh. Iqbal, seorang pemikir Islam yang terdidik secara Barat, berpendapar: ”Sejak mula pertama paham (nasionalisme) itu, sudah jelas bagi saya dari tulisan-tulisan pengarang-pengarang Eropa, bahwa rencana imperialisme Eropa membutuhkan sekali senjata ampuh ini yaitu mempropagandakan konsepsi Eropa tentang nasionalisme itu di negeri-negeri Islam dengan maksud hendak memecah belah kesatuan agama Islam. Dan rencana itu berhasil baik selama Perang Dunia.’’ (Dalam Dr. S.A. Vahid, Speeches and Statement of Iqbal, sebagaimana dikutip oleh Ali Audah, dalam pengantarnya untuk, Dr. Moh. Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Tintamas, Jakarta, 1982).
Bahkan tak kurang dari Profesor Hans Kohn, yang tak kurang dari selama setengah abad mempelajari nasionalisme sehingga menghasilkan karya-karya besar di bidang ini,. membenarkan pengamatan ini. ’’Nasionalisme dan perasaan iri di antara berbagai negara Islam dan pemimpin-pemimpinnya terlalu kuat untuk memberi hasil politis dari pertalian agama (pan Isiam atau kekhalifahan) ini.’’ (Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, PT. Pembangunan, Jakarta, 1976).
Pandangan kelompok ini terhadap paham kebangsaan, betapapun tampak bersifat satu sisi (one sided) dan ’’mutlak=mutlakan’’, memang tidak sedikit mendapatkan dukungan selain dari sumber-sumber nilai utama ajaran Islam, yang memang tidak sulit untuk ditafsirkan sedemikian juga dari para teoritisi nasionalisme yang tumbuh di negeri-neger! tuan rumah nasionalisme sendiri, seperti Francis Cooker, Joseph Lighten, Walter Lecquer dan, dalam beberapa segi, juga Will Durant, Sidney Hook serta Barbara Ward.
Di antara salah satu kritik mereka, yang terhadapnya diduga tak banyak orang akan berkeberatan, adalah bahwa nasionalisme — yang memang bertumpu pada ’’manipulasi’’ emosi alami manusia, berupa kecintaan naluriah kepada tanah air — cenderung terpelanting ke arah chauvinisme, imperialisme, bahkan fasisme, jika secara tak terkendali terlepas dari proporsinya. Oleh karena itulah, Soekarno, presiden pertama kita, dan seorang protagonis nasionalisme Barat dan nasionalisme Timur yang mengidentifikasikannya sebagai nasionalisme negatif dan nasionalisme positif. (Soekarno, Indonesia Menggugat, Yayasan Idayu, Jakarta, 1985, halaman 107-108; dan Sukarno, Pancasila dan Perdamaian Dunia. Yayasan Idayu, Jakarta, 1985, halaman 14).
Hal yang sama juga disinyalir oleh Sidney Hook (lihat Harsya W. Bachtiar, Percakapan dengan Sidney Hook, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1980). Sehingga, Islam — yang secara khusus bersifat universal — cenderung sangat peka terhadap gejala-gejala demikian. Apalagi, ketika kemudian kenyataan membuktikan segalanya — sikap chauvinisme tumbuh, tidak hanya di kalangan tuan rumah, melainkan justru di jantung dunia Islam sendiri!
Hal itu terlihat dari ungkapan-ungkapan para penganjur paham ini seperti Abdurrahman Al-Bazzaz, Nahib Amin Faris, Zia Gokalp, Sayyid Ahmad Khan, Thaha Husain, dan sebagainya. Ungkapan Zia Gokalp berikut ini, adalah salah satu contohnya:
’’Kita akan menciptakan suatu peradaban tulen suatu peradaban Turki yang akan mengiringi pertumbuhan suatu Kehidupan Baru. Mengelompokkan orang-orang Turki, yang lebih cakap dan lebih tampan dari orang-orang Aria, dengan ras Mongol, adalah tanpa landasan ilmiah. Ras Turki tidak pernah dimerosotkan oleh alkohol dan foya-foya, seperti ras-ras lain. Darah Turki tetap tinggal suci dan mengeras’ seperti baja oleh keagungan-keagungan medan perang. Inteligensia orang-orang Turki belum lagi aus; sentimen-sentimennya tidak banci, kemauannya tidak Iemah. Penaklukan masa depan dijanjikan bagi niat teguh bangsa Turki?” (Maryam Jamilah, Islam, halaman 48).
Posisi sulit, sebagai Muslim, yang mereka ambil dalam membela nasionalisme chauvinistik ini, mau tak mau membuka peluang bagi dilontarkannya tuduhan antek-antek imperialisme musuh-musuh Islam atas diri mereka. Pengalaman traumatis degenerasi kekhalifahan Islam — yang pernah jaya– pada abad-abad belakangan, yang berakhir pada keruntuhan Kekhalifahan Turku Usmani, , dan penjajahan atas’ negeri-negeri Islam yang mengikutinya, sangat boleh jadi menyumbang banyak bagi sikap sementara kelompok Muslim tersebut terhadap nasionalisme. Padahal, pada hakikatnya, yang ditolak oleh umat Islam, dan, mungkin sekali, juga oleh umat-umat lainnya adalah nasionalisme negatif yang mengambil bentuk chauvinisme dan fasisme tersebut. M. Natsir, misalnya, berpendapat: ’’Bagi orang Islam, tidak ada salahnya bila dipakai ikatan perasaan pada segolongan atau sebangsa untuk mengumpulkan dan menyusun tenaga yang perlu untuk golongan itu, tapi dengan menghormati kepentingan dan hak-hak golongan lain, dengan menyingkirkan perasaan ta’asub kebangsaan (chauvinisme – penulis) yang menutupi hak keadilan dan peri kemanusiaan, dan tidak mengurangi akan ikatan secita-cita, sepemandangan hidup dan seagama, yakni ikatan ’’persaudaraan Islam’’. (Dalam, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900 – 1942, LP3ES, Jakarta, 1980, halaman 397). Bahkan Iqbal — sementara secara eksplisit menolak nasionalisme — masih mengakui eksistensi ‘’perbatasan-perbatasan yang dibuat sendiri serta perbedaan rasial untuk memudahkan perkenalan.’’ (Iqbal, Membangun Pikiran dalam Islam, halaman 172). Bersambung
Penulis: Dr. Haidar Bagir, penulis sejumlah buku terutama tasawuf dan filsafat; pengelola yayasan pendidikan, dan presiden direktur sebuah grup penerbitan. Kelahiran Surakarta tahun 1957 ini meraih S1 dari Jurusan Teknologi Industri ITB (1982), S2 dari Pusat Studi Timur Tengah, Harvard University (1992), dan S-3 dari Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, dengan riset selama setahun (2000-2001) di Departemen Sejarah dan Filsafat sains, Indiana Universty, Amerika Sertikat.
Sumber: Panji Masyarakat No 500, 11 April 1986