Manusia diciptakan oleh Allah untuk hidup di dunia ini tidak abadi. Tapi, hanya sementara dibatasi oleh kematian. Namun, setelah manusia meninggal Allah menjanjikan kehidupan yang abadi dan kekal, yaitu kehidupan akhirat. Tetapi, dalam kehidupan akhirat ada dua golongan manusia, yaitu yang masuk neraka dan masuk surga atau jannah.
Neraka adalah tempat penderitaan, sedangkan surga tempat kesenangan. Untuk mendapatkan tempat yang menyenangkan manusia dalam hidupnya di dunia ini harus melakukan amal yang baik sehingga mendapat pahala dari Allah. Sedangkan yang berbuat kejahatan atau dosa akan mendapat hukuman masuk neraka.
Melalui kehidupan di dunia ini Allah menguji manusia agar ia berbuat baik, sehingga ia bisa mendapatkan kehidupan yang menyenangkan di hari kemudian atau alam akhirat yang abadi. Dalam surat al-Mulk ayat 2 Allah berfirman,” Allah yang menciptakan hidup dan mati, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya . Dan Dia Maha Perkasa dan Maha Pengampun”.
Manusia hidup di dunia ini hanya diberikan dua pilihan. Berbuat kebaikan yang didasarkan Iman kepada Allah atau berbuat kejahatan karena dorongan atau bisikan syaitan penggoda hidup manusia. Dalam hal pilihan hidup ini keduanya memiliki konsekuensi dan akibat pada kehidupan akhirat yang kekal dan abadi nantinya, yaitu kesenangan dan penderitaan yang harus dijalani.
Sesungguhnya fitrah hidup manusia adalah berbuat kebaikan. Tapi, karena dunia adalah ladang ujian dan cobaan, daya tarik untuk berbuat ketidakbaikan sangat kuat. Kemenarikan dan kesenangan kehidupan dunia sangat menggoda dan mempengaruhi hidup manusia. Kesenangan itu bisa didapatkan antara lain dengan melanggar etika dan melanggar perintah Allah. Padahal, itu jerat yang akan membuat hidup manusia jatuh pada kehidupan celaka di akhirat nanti.
Mendeteksi perbuatan baik dan buruk bisa dilakukan dengan mematuhi ajaran agama (Islam), yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi, namun manusia juga memiliki instrumen internal dalam diri manusia. Instrumen itu adalah dorongan yang mengarah pada kecenderungan kebaikan, dan menurutkan kemauan yang bisa terjebak pada kejahatan.
Instrumen internal yang ada dalam diri manusia antara lain disebut nafsu, akal, hati atau kalbu, mata batin, dan hati nurani. Instrumen ini saling bekerja untuk memproses munculnya perilaku kebaikan dan juga kemungkinan melahirkan kejahatan. Dalam dunia filsafat juga dikenal bahwa manusia itu merupakan dunia mikro kosmos atau dunia kecil yang punya format kehidupan tersendiri.
Melansir Dr.Achmad Mubarok,MA, dalam bukunya al Irsyad an Nafsy, Konseling Agama Teori dan Kasus menguraikan konsep yang disebut di atas.
Pertama, Nafs. Bisa berarti jiwa. Dalam bahasa Indonesia, nafsu diartikan dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik. Dalam istilah orang tasauf, nafsu juga diartikan sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Tetapi, jika merujuk Al-Qur’an nafsu tidak selalu berkanotasi buruk. Al-Qur’an antara lain menyebut nafsu tersebut dengan arti totalitas manusia, sesuatu yang ada dalam diri manusia menggerakkan tingkah laku, potensi dalam diri manusia yang mengandung hal baik dan buruk.
Nafs itu dalam diri manusia, bagaikan ruang yang luas dan dalam, ia dapat menampung hal-hal yang sudah tidak disadari atau alam bawah sadar. Luas dan sempitnya ruang nafs seseorang merupakan kapasitas dari kejiwaan seseorang. Orang yang kapasitas jiwanya besar, maka nafsnya dapat menampung secara proporsional masalah-masalah yang dihadapi. Akan tetapi jika kapasitas nafs seseorang itu sempit, maka ia mudah terguncang jiwanya jika harus mengatasi banyak persoalan. Orang yang berjiwa kecil mudah terguncang jiwanya hanya karena terhalang cita-citanya. Atau, seseorang kapasitas nafsnya besar, tetapi jika ia melakukan perbuatan dosa yang besar dan banyak, maka kerumitan masalah dan perasaan dikejar dosa, dan akan timbulnya kegelisahan yang tidak bisa dilupakan.
Kedua, qalbu. Dalam bahasa Arab qalb untuk menyebut jantung. Sedangkan untuk hati disebut al kabid. Dalam bahasa Indonesia yang dimaksud kalbu adalah hati, baik secara maknawi maupun fisik (liver). Secara bahasa, qalb bermakna bolak balik, yaitu merujuk pada sifat hati manusia yang tidak tidak konsisten.
Hati atau kalbu memang mempunyai karakter tidak konsisten (taqallub),berubah-ubah, bergejolak, lembut, terkadang benci, lembut, cinta, dan bisa juga merasa yakin dan ragu-ragu. Karena sifat hati yang potensial berubah-ubah tersebut maka Al-Qur’an menyatakan hati itu dapat diuji.
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar”( al-Hujurat: 3).
Dalam ayat yang lain hati itu bahkan bisa dilonggarkan oleh Allah, dipersempit dan bahkan ditutup rapat.
” Barang siapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman( al-An’am: 125).
“Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat” (al-Baqarah : 7).
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Nabi berkata,” Ketahuilah bahwa dalam diri manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka baik pula jasad manusia, tetapi apabila daging itu buruk maka buruk pula jasad tersebut. Ketahuilah itulah hati manusia”.
Perlu diketahui bahwa qalb atau hati mempunyai fungsi yang dominan dalam menentukan kualitas tingkah laku manusia.
Ketiga, hati nurani yang dalam bahasa Arab disebut nur-nurraniyun yang artinya sebangsa cahaya. Hati nurani dapat dipahami sebagai cahaya hati, mata hati, kata hati, hati kecil atau lubuk hati yang terdalam.
Dalam Al-Qur’an, nurani disebut bashirah yang artinya pandangan mata batin atau pandangan mata hati sebagai lawan pandangan mata kepala. Pandangan mata hati lebih tajam dari pandangan mata kepala. Perbedaan hati dengan hati nurani adalah kalau hati atau qalb tidak konsisten dapat menipu, pura-pura tidak tahu, sebaliknya hati nurani atau bashirah itu selalu konsisten, jujur dan peka. Nurani yang terpelihara ibarat cermin yang bersih, yang dapat menampilkan wajah secara utuh apa adanya.
Untuk orang yang sering melakukan kejahatan, cermin hatinya bagaikan tersiram cairan hitam sehingga hanya sedikit menampakkan wajah pemiliknya. Adapun orang yang suka mengerjakan kejahatan secara terbuka seperti mengerjakan kebaikan dan mencampur adukkannya dengan kejahatan, cermin hatinya telah retak sehingga tidak dapat lagi memperlihatkan wajah pemiliknya dalam keadaan seperti adanya.
Dalam sistem nafsani manusia, jika nafs digambarkan sebagai ruangan yang luas dalam diri manusia, dan hati merupakan kamar kecil di dalam nafs, maka bashirah atau nurani merupakan satu titik kecil atau kotak kecil (black box) yang tersembunyi secara kuat dan rapih di dalam kamar qalb. Dalam perspektif yang sufistik, nurani itulah yang merupakan hotline manusia dengan Tuhan yang juga Nur, saluran yang menghubungkan Lahut dan Nasut. Menurut Ibnu Qayyim al Jauzy, bashirah adalah cahaya yang ditempatkan Allah di dalam hati manusia. Dalam keadaan bening, nurani dapat bekerja secara baik, memberikan usul-usul dan mengingatkan tentang suatu hal kepada pemiliknya, tetapi dalam keadaan fungsi-fungsi jiwa lainnya sedang terganggu–meskipun nurani tetap konsisten memanggil– suaranya terkadang kurang jelas, terganggu oleh hiruk pikuk fikiran dan perasaan lain yang kacau.
Keempat, adalah akal. Dalam al-Qur’an kata aqal berbentuk fi’il atau kata kerja, yang jumlahnya ada 49 ayat dalam bentuk kata aqaluh, ta’qilun, na’qilu , ya’qiluha dan ya’qilun. Kata ‘aqala dalam bahasa Arab berarti mengikat atau menahan. Namun, secara umum akal dipahami sebagai potensi yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan. Dalam Psikologi Moderen, akal dipahami sebagai kecakapan memecahkan masalah atau problem solving).
Dari uraian tentang nafs (jiwa), kalb (hati), hati nurani, dan akal yang saya nukil dari buku Dr. Achmad Mubarok, MA, di atas kita dapat simpulkan bahwa manusia untuk menghadapi ujian Allah dalam kehidupan di dunia ini telah dilengkapi instrumen atau alat kehidupan yang lengkap.
Kalau untuk bahan konsumsi manusia, telah disiapkan bahan-bahan mentah yang produktif di alam ini, maka untuk membedakan antara baik dan buruk yang akan jadi pilihan hidup manusia, setiap orang juga telah dibekali perangkat rohaniah yaitu jiwa, hati, nurani dan akal agar manusia bisa memilih pilihan kebaikan dalam hidup ini untuk bekal kehidupan akhirat.
Tidak cukup hanya bekal di atas, manusia juga diberikan agama atau syariat untuk makin terang arah perjalanan hidup manusia meraih kehidupan akhirat. Dengan demikian, meski dalam hidup ini tarikan untuk berbuat dosa dan kejahatan memikat manusia, namun manusia telah dipersenjatai alat pendeteksinya. Persoalannya, apakah manusia lebih mendengar petunjuk agama, suara hati nurani yang jujur, akal pembeda yang baik dan buruk, atau manusia mematuhi nafsunya yang tidak peduli dengan suara hati nurani dan petunjuk syariat agama.
Situasi kehidupan sekarang dimana manusia mudah melakukan kejahatan seperti korupsi, kebohongan, dan kejahatan lainnya, menunjukkan alat deteksi hati nurani manusia sepertinya telah mengalami kematian dan tertutup kabut hitam. Allahu’alam.