Tanggal 26 Juli 2023, Majelis Ulama Indonesia (MUI) genap 48 tahun berkhidmat melayani umat. Milad MUI kali ini mengusung tema “Memperkokoh Persatuan dalam Bingkai Keragaman Menuju Indonesia yang Lebih Sejahtera dan Bermartabat.” Pada acara puncak Milad ke-48 MUI diagendakan pembacaan dan penandatanganan Deklarasi Komitmen Kebangsaan (Mitsaq Wathani) sebagai bentuk komitmen MUI dalam rangka menjaga persatuan, memperkokoh kerukunan, dan memelihara keberagaman bangsa sebagai dasar pijakan dalam bernegara.
Kekuatan Indonesia sejak masa revolusi kemerdekaan sampai kini antara lain terletak pada kemampuan mengelola kebinekaan dalam ikatan kebangsaan. Pengalaman sejarah memberi pembelajaran bahwa persatuan yang hakiki takkan terwujud tanpa sikap menghargai perbedaan dan memberi tempat terhadap perbedaan dalam koridor kesepakatan bernegara. Persatuan harus dicapai bukan dengan menghilangkan perbedaan dan memusuhi segala yang berbeda. Persatuan dapat dimaknai sebagai upaya mencari persamaan di antara banyak perbedaan dan bersatu dalam keragaman.
MUI telah menjadi bagian penting dari perjalanan sejarah umat Islam Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan ikhtiar mengawal kemajuan bangsa dengan norma agama, etik, moral dan spiritual. Peranan MUI dalam mengawal persatuan umat dan bangsa tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial politik dan keagamaan. Titik-titik perkisaran kehidupan nasional secara langsung atau tidak langsung berdampak terhadap peran umat Islam dan juga peran MUI.
MUI lahir dalam Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia tahun 1975 di Jakarta yang dibuka oleh Presiden Soeharto. Sebelum terbentuknya MUI di tingkat pusat telah lebih dahulu berdiri MUI Daerah Tingkat I (Provinsi). Piagam Berdirinya MUI tanggal 17 Rajab 1395 Hijriyah/26 Juli 1975 ditanda-tangani oleh Ketua Majelis Ulama Daerah Tingkat I seluruh Indonesia (26 provinsi), organisasi Islam tingkat pusat meliputi: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-Wasliyah, Mathla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, Dewan Masjid, dan Al-Ittihadiyah, Disrohis Angkatan Darat, Disrohis Angkatan Laut, Disrohis Angkatan Udara, dan Disrohis Polri, serta 13 tokoh ulama perorangan, yaitu Prof. Dr. Hamka, K.H. Qudratullah, K.H. Thohir Rohili, K.H. Sapari, K.H. Abdullah Syafi’i, K.H. Rusli Halil, O.K.H. Abdul Aziz, Muchtar Luthfi El Anshari, A.K. Basuni, Tgk. H. Abdullah Udjong Rimba, Prof. Mr. Kasman Singodimedjo, K.H. Moh Dachlan, dan K.H. Hasan Basri.
Menurut catatan Menteri Agama RI periode 1971 – 1978 Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, “Pembentukan Majelis Ulama Indonesia tidak terjadi secara tiba-tiba dan begitu mudah. Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri. Kehadiran MUI sangat diperlukan di Indonesia.” tulis Mukti Ali dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat (1983).
Dalam rumusan Pedoman Dasar MUI yang disahkan tahun 1975 digariskan bahwa fungsi dan tugas MUI adalah untuk memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar makruf nahi mungkar. Fungsi lainnya, memperkuat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar-umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu fungsi dan tugas MUI adalah sebagai organisasi yang mewakili umat Islam dalam konsultasi antar-umat beragama, menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal-balik antara pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan bangsa. Keberadaan MUI dan perannya selama ini menjadi antitesis terhadap paham sekularisme yang menilai agama tidak lagi relevan untuk memecahkan permasalahan dunia kontemporer dan menepis anggapan bahwa institusi keagamaan menghambat modernisasi.
Setelah gerakan reformasi tahun 1998 menggulung sistem pemerintahan Orde Baru, maka hampir seluruh tatanan yang dibangun Orde Baru seolah kehilangan legitimasi. Sebagian kalangan menganggap MUI adalah produk politik Orde Baru untuk kepentingan mengkonsolidasikan dukungan umat Islam.
Dalam hubungan ini patut dikenang peran Prof. K.H. Ali Yafie, Ketua Umum MUI yang mengawal MUI di tengah perubahan politik nasional di awal reformasi, melanjutkan masa bakti K.H. Hasan Basri yang wafat tahun 1999. K.H. Ali Yafie adalah figur ulama perekat umat yang konsisten menjaga marwah dan independensi MUI, melanjutkan amanah tiga pimpinan MUI sebelumnya, yakni Buya Hamka, K.H. Sjukri Ghozali dan K.H. Hasan Basri.
Dalam wawancara dengan Harian Umum Kompas 31 Januari 1999, K.H. Ali Yafie menggaris-bawahi peranan MUI sebagai lembaga pengemban amanah umat sebagai berikut, “MUI adalah pelayan umat. MUI harus melayani semuanya. MUI tidak bisa hanya melayani pemerintah saja, atau rakyat saja. Keduanya adalah umat yang harus dilayani. Mengatakan benar kalau pemerintah benar, dan salah kalau pemerintah salah. Begitu juga terhadap yang lain. Dalam mengeluarkan fatwa atau kebijakan, para ulama MUI bersikap netral dan tidak berpihak ke manapun, karena timbangannya Al-Quran dan Hadis.” tuturnya.
Kesinambungan (sustainability) MUI menjadi salah satu bukti bahwa para pemuka umat Islam Indonesia memegang prinsip keagamaan yang dikenal di kalangan santri, al-muhafadhatu ‘ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, artinya memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Umat Islam Indonesia pernah menikmati masa-masa indahnya persatuan, namun pernah pula mengalami pahitnya perpecahan dan merasakan dampak politik teori belah bambu di masa lampau. Sewaktu terbentuknya MUI, umat Islam Indonesia secara umum belum bersatu sesuai yang diharapkan. Kehadiran MUI tak lepas dari misi untuk merekat kerjasama ulama dengan umara (pemerintah). MUI menjaga kepentingan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa menonjolkan kelompok dan golongan.
H.A. Mukti Ali dalam kata sambutannya selaku Menteri Agama sewaktu penutupan Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia tahun 1975, menyatakan antara lain: “Hari ini adalah hari berdirinya Majelis Ulama Indonesia, dan hari ini di tempat ini pulalah telah dikubur untuk selama-lamanya suasana kurang persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam sendiri, dan pada hari ini dan di tempat ini pula telah dikubur untuk selama-lamanya iklim curiga-mencurigai dan saling tidak percaya-mempercayai antara para ulama dan aparat pemerintah. Dan pada hari ini dan di tempat ini pula telah didirikan tugu persatuan dan kesatuan dan ukhuwah islamiyah umat Islam di Indonesia.”
Dalam konteks kerjasama ulama dan umara dibutuhkan wadah yang kredibel sebagai jembatan aspirasi umat. Dukungan pemerintah terhadap fungsi MUI dan ormas-ormas Islam adalah konsekuensi sikap negara yang menghormati peranan agama dan fungsi ulama dalam pembangunan bangsa.
Saat ini MUI berperan sebagai shadiqul hukumah atau mitra strategis pemerintah dalam kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan umat dan bangsa, dan khadimul ummah (pelayan umat) yakni memberikan bimbingan kepada umat. Sesuai posisinya tentu saja MUI harus steril dari kepentingan politik praktis.
Sejak awal telah digariskan bahwa yang dikibarkan oleh MUI adalah bendera ukhuwah islamiyah. Karena itu, MUI tidak mengerjakan apa yang telah dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam yang lain. MUI menjadi jangkar moral di tengah rapuhnya etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ditandai maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta kemerosotan keadaban publik.
Selama hampir lima dekade cukup banyak kontribusi MUI kepada umat, bangsa dan negara sesuai tugas dan fungsi ulama. Fatwa dan taushiyah keagamaan dan kemasyarakatan maupun sumbangsih pemikiran para unsur pimpinan MUI dalam merespons berbagai isu aktual, sekalipun tidak mengikat secara formal, tetapi patut diperhatikan.
Sebagai organisasi besar MUI adalah wadah tempat berhimpunnya ulama, zuama dan cendekiawan muslim dari berbagai ormas Islam. Dalam keseluruhan perannya itu MUI mengemban misi yang tidak ringan untuk membina ukhuwah islamiyah dan persatuan bangsa.
Peran MUI dibutuhkan dalam menjaga persatuan dan sebagai “tenda umat” di tengah bahaya polarisasi, keterbelahan rakyat dan kegaduhan sosial yang rentan terjadi di tahun-tahun politik Pemilu dan Pilpres. Dalam kaitan ini, suara MUI dan nasihat ulama yang mengacu pada kaidah moralitas keagamaan menjadi “suluh” umat dan bangsa. Peran MUI dan ormas-ormas Islam lainnya sangat dibutuhkan di masa sekarang dan masa mendatang. Selamat milad Majelis Ulama Indonesia.