Ads
Cakrawala

Kolom Fachry Ali: Lompatan

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Angin berembus kencang dan gelombang besar bisa menghempaskan dirinya di pantai atau di karang-karang terjal. Toh semua itu tidak bisa menghalangi pelayaran antar bangsa. Dan laut lepas, sepuluh atau tujuh abad yang lalu merupakan satu-satunya rute perjalanan antar benua. Manusia kala itu, tidak ada pilihan lain, selain menaklukkannya.

Dan lautlah yang mengantarkan Islam ke Nusantara, atau juga ke seluruh kawasan Asia Tenggara. Ia hadir bersama pedagang. Katakanlah dibawa pedagang Gujarat, atau bahkan langsung dari pedagang Arab. Apatah bedanya? Yang penting, Islam hadir ke Nusantara bersama laut, dan kapitalisme primitif — setidaknya demikianlah hipotesis Weber. Jalur-jalur perdagangan yang dibentuk orang-orang Arab Islam, ujar Weber, sesungguhnya merefleksikan semangat kapitalisme. Apa yang tidak terjadi —– dan ini membedakannya dengan kapitalisme yang lahir beberapa abad kapitalisme yang lahir beberapa abad kemudian di Eropa — adalah ketidakmampuannya membangun sistem organisasi yang rasional. Itulah sebabnya tidak lahir proses akumulasi modal. Modal bisa menjadi besar. Tapi menumpuk secara tidak produktif.

Tapi bukan akumulasi modal yang mempengaruhi sejarah Islam Nusantara kemudian. Melainkan aktor-aktor penyebarnya. Islam telah terlanjur berkembang lewat pedagang. Mereka tentu telah berjasa. Tapi aspek pragmatisme yang selalu lekat pada setiap orang dagang telah menyebabkan Islam yang hadir ke sini, bukanlah Islam yang telah mengalami intelektualisasi. Suatu Islam yang praktis — sesuai dengan lingkup berpikir orang dagang — inilah yang kemudian berkembang. Karena itu pula, kesan dagang dalam politik Islam cukup kuat. Ini bisa terjadi di Malaka, Aceh, Demak, Banten atau beberapa kerajaan Islam lainnya di Nusantara. Ada perhitungan politik bagi raja-raja untuk memeluk Islam, seperti juga perhitungan dagang.

Lewat proses ini, mungkin, dan terutama lewat elite-elite pribumi, Islam mengalami proses pempribumian. Ia telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat. Masuk Melayu — demikianlah kita saksikan di Malaysia atau Singapura — adalah masuk Islam. Dan dalam berbagai hal, fenomena yang sama juga ditemui di negeri kita. Islam di negeri awak, telah menjadi faktor identifikasi diri. Faktor yang membedakan pribumi dan orang-orang asing.


Maka, ketika terjadi politisasi Islam, ia memang bisa menyentak kuat. Islam telah menjadi alat yang paling ampuh dalam memobilisasikan kekuatan massa. Ia sangat mampu menegaskan sistem kehidupan asing dan mengguncangkan struktur kekuasaannya. Dan Islam pula, dalam masa-masa kemerdekaan ini tetap menjaga ikatan sentimentalnya. Setiap sentuhan, akan segera membangkitkan gelora besar.

Tapi mungkin, Islam kita masih sangat terikat pada sifat dagangnya. Suatu Islam yang pragmatis. Sejak awal abad ke-20, kita telah menyaksikan timbulnya berbagai perubahan baru. Gerakan-gerakan Islam tampak memasuki tahap baru. Toh, transformasi yang mendasar belum berlangsung. Warisan aktor-aktor penyebar Islam yang pragmatis terus berlanjut. Dari berbagai hal, Islam dalam praktiknya, masih tetap berfungsi sebagai alat. Pemerintah menggunakannya untuk membenarkan diri. Sementara di kalangan pengikutnya, Islam adalah alat untuk memberikan reaksi.

Maka, ia telah menjadi kekuatan legitimasi dan pembenaran, dan sekaligus, kekuatan dalam mendobrak dan memanggil. Tempat orang membagi emosi yang sama. Perasaan yang tidak berbeda.

Ketika masyarakat membutuhkan hal lain, mungkin tidak dicarinya di dalam Islam. Islam hanya siap untuk bergolak dan untuk mendobrak. Maka, sebuah sikap yang mendasar untuk menatap masa depan, mungkin sangat diperlukan dewasa ini. Suatu sikap dan cara pandang yang konstruktif. Bukankah Islam tidak selalu hidup — dan selalu dipakai — dalam setiap pergolakan?

Kita perlu melompat. Dari sisi kehidupan praktis ke sisi kehidupan yang lebih konsepsional. Suatu peran yang selama ini helium kita mainkan.

Penulis: Fachry Ali, Peneliti dan pengamat sosial politik dan budaya. Tinggal di Jakarta.
Sumber: Panji Masyarakat No 499 1 April 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda