Perempuan menempati peran sangat penting pada masa Islam awal sehingga para sejarawan Islam awal tidak membicarakan mereka hanya sebatas sebagai ibu, anak, dan istri, tetapi juga menyebutkan sumbangsih besar dan partisipasi aktif perempuan di seluruh aspek kehidupan dalam upaya menyerukan agama Allah.
Sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin yang menyebarkan kasih sayang kepada seluruh makhluk, termasuk perempuan, tentu aspek memuliakan derajat perempuan di hadapan Tuhan dan makhluk-Nya menjadi salah satu misi Islam (Q.S. 49: 13). Tidak heran jika Allah Swt. melalui Rasulullah Saw. membuka pintu surga seluas-luasnya kepada setiap hamba yang taat kepada-Nya tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin.
Saat ini kita memang mengakui bahwa masih ada di sejumlah kalangan yang belum memberikan citra positif terhadap perempuan, dan bahkan cenderung mendiskriminasikan peran perempuan. Kenyataan ini tak dapat dibantah oleh karena adanya penafsiran-penafsiran yang bias gender tentang ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi. Di dalam fikih kesan diskriminatif itu jelas terlihat, misalnya perempuan tidak boleh menjadi imam dalam salat, pembagian waris yang lebih kecil dari laki-laki, tidak ada kewajiban salat Jum’at bagi perempuan, laki-laki punya hak berpoligami, perlunya dua saksi bagi perempuan, serta termasuk pengaturan relasi suami-istri dalam kehidupan rumah tangga yang memosisikan perempuan hanya sebatas konco wingking.
Pandangan-pandangan yang bias gender itu hingga sekarang masih terus berkembang. Bahkan tak jarang perempuan menjadi obyek kekerasan fisik dan verbal baik di lingkungan rumah tangga maupun di ruang publik. Padahal Islam sebenarnya sangat menghargai hak-hak perempuan sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan hak itu sama diberikan kepada laki-laki sebagai makhluk ciptaan-Nya sebagaimana banyak disinggung dalam Al-Qur’an.
Paradigma perempuan dalam wacana fikih tampaknya memang agak berbeda dengan paradigma yang dikembangkan dalam tasawuf atau sufisme. Dalam paradigma sufisme perempuan bukan hanya dilihat sebagai makhluk Allah – meski diciptakan dalam proses yang berbeda dengan laki-laki – melainkan juga kemampuannya untuk mencapai tingkat keruhanian yang lebih tinggi. Margaret Smith (1999) mengatakan, meskipun terdapat beberapa larangan agama, dan meskipun mereka mendapat celaan dalam jenis kelaminnya, perempuan Muslim, secara teoritis memiliki kesejajaran keimanan dengan kaum laki-laki.
Menariknya lagi, perempuan dalam wacana sufisme sering terlepas dari keterkungkungan persoalan bias gender, pembedaan kelas laki-laki dan kelas perempuan. Oleh karena itu, dalam khazanah sufisme perempuan jauh lebih banyak ditemukan sebagai ahli tasawuf (sufi) dibandingkan ahli hukum Islam (fikih) atau teologi (ilmu kalam). Para sufi perempuan ini bisa dideret jumlahnya dibandingkan para mujtahid perempuan (mujtahidah) ataupun ahli ilmu kalam perempuan (teolog perempuan) (Umi Khusnul Khotimah, dalam Azyumardi Azra, 2005).
Untuk sekadar menyebut contoh misalnya dapat disebutkan sufi wanita yang memperkenalkam konsep mahabbah Rabi’ah Al-Adawiyah, atau ke masa yang lebih awal, Fatimah binti Muhammad, yang senantiasa dipuja – khususnya kalangan syi’i – sebagai wanita suci. Begitu pun keturunan Rasul yang lain seperti Sayyida Nafisah dan Sayyida Zainab yang makamnya di Kairo senantiasa diziarahi karena kesalehan dan keluhuran budinya. Tokoh sufi wanita lainnya adalah Maryam dan Riana di Basrah, sezaman dengan Rabi’ah Al-Adawiyah, yang memiliki semangat spiritual tinggi, serta Rabi’a dari Syiria yang memiliki pengalaman mistik luar biasa.
Para perempuan ini memberikan warna tersendiri dalam tradisi tasawuf dan juga memberikan citra bahwa perempuan juga mempunyai kemuliaan dan sanggup menjadi panutan spiritual. Kesetaraan dalam konteks yang terdalam, persamaan di hadapan Tuhan dan kemampuan pencerahan serta peran ruhaniah yang termanifestasikan dalam diri perempuan seharusnya tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang lemah dan berada pada kedudukan yang rendah dibanding laki-laki. Karena dalam masalah keruhanian perempuan juga dapat jauh melebihi derajat keruhanian laki-laki.
Pandangan Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali merupakan salah seorang tokoh sufi yang memiliki perhatian khusus terhadap perempuan-perempuan suci. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali. Ia lahir di Thus pada tahun 450 H/1058 M dan wafat pada tahun 505H/1111 M. Al-Ghazali selain dikenal sebagai tokoh sufi moderat, juga disebut-sebut sebagai “pendamai” kontroversi antara ahli syari’at dan ahli hakikat. Karya master-piece-nya, Ihya ‘Ulumuddin, merupakan kitab yang banyak dijadikan bahan rujukan kalangan ulama, baik salaf maupun kontemporer.
Dalam kitab ini pula, pandangan-pandangan Al-Ghazali mengenai perempuan terungkapkan. Hanya saja, perempuan dalam pandangan Al-Ghazali tidak banyak digambarkan secara spesifik. Dalam Ihya, misalnya, figur perempuan “hanya” muncul ketika dia ingin memberikan contoh para pelaku jalan mistik (salik) yang berhasil menempuh tahapan-tahapan spiritual seperti taubat, cinta, ridla, rindu, mujahadah (sungguh-sungguh dalam ibadah), dan lain-lain (Kautsar Azhari Noer dan Oman Fathurrahman, 2002).
Selanjutnya, Al-Ghazali dalam Ihya menyebutkan beberapa contoh perempuan yang memiliki derajat keruhanian tinggi seperti Rabi’ah Al-Adawiyah (mistikus perempuan abad ke-8) yang memperkenalkan konsep mahabbatullah (Cinta Ilahi). Perempuan ini di mata al-Ghazali seakan telah memberi inspirasi bagi para penempun jalan ruhani yang ingin mencapai derajat kemuliaan di sisi Allah. Rabi’ah Al-Adawiyah telah mencapai derajat kemuliaan itu melalui semangat (mujahadah) mahabbah yang ditempuhnya, karena mahabbah, menurut Al-Ghazali, merupakan puncak dari maqam.
Menurut Al-Ghazali, sikap mujahadah merupakan tahap yang tidak gampang dilalui oleh seorang salik, karena ia harus benar-benar mampu menomorduakan nafsunya untuk mencapai ridla Sang Kekasih. Dalam tahap ini, jika seorang salik khilaf dan melakukan perbuatan maksiat, ia harus mampu menjatuhkan hukuman sendiri bagi dirinya demi memohonkan ampun atas dosanya itu. Dan bukan hanya itu, kalau pun ia khilaf dan tidak melakukan berbagai kebaikan, yang setingkat amalan sunnat sekali pun, ia harus pula “membebani” dirinya dengan perbuatan-perbuatan baik sebagai pengganti atas kelalaiannya itu (Al-Ghazali, Ihya IV: 395).
Perempuan suci lainnya yang mendapat perhatian Al-Ghazali adalah ‘Azrah, yang digambarkannya sebagai perempuan ahli ibadah dengan tanpa sedikit pun ingin lepas dari Kekasihnya dan selalu bermunajat kepada-Nya sepanjang siang dan malam hari. Selain ‘Azrah, dia juga menyinggung Sya’wanah, seorang perempuan hitam yang pernah menjadi budak namun memliki tingkat kesalehan luar biasa. Sya’wanah di mata Al-Ghazali bukan saja perempuan suci, namun juga memiliki martabat tinggi di antara para sufi lainnya, baik sufi perempuan maupun sufi laki-laki.
Dari beberapa kisah perempuan sufi yang dikutip, Al-Ghazali tampaknya memang tidak hanya “mengapresiasi” perempuan karena semata kesufiannya, akan tetapi lebih dari itu karena keberadaannya sebagai “manusia sempurna”.
Dalam konteks pandangannya terhadap perempuan, pengetahuan tentang realitas batiniah ini menimbulkan implikasi pemahaman tentang kesetaraan kualitas jiwa manusia, baik laki-laki maupun perempuan, karena yang dipandang “eksis” sebagai kualitas itu sesungguhnya adalah kerangka batiniahnya, bukan kerangka lahiriah dalam wujud laki-laki ataupun perempuan.
Di sini jelas bahwa Al-Ghazali dalam memandangi perempuan bukan lagi didasarkan kepada perbedaan jenis kelaminnya dengan laki-laki, akan tetapi lebih kepada ruh atau jiwa yang menjadi inti dan substansi kemanusiaan secara umum. Ruh atau jiwa inilah yang di mata Tuhan lak-laki dan perempuan itu sama serta memiliki dorongan untuk meningkatkan kualitas keimanannya. Keterangan ini sekaligus penegasan Allah sebagaimana terdapat dalam ayat Al-Qur’an bahwa laki-laki dan perempuan itu diciptakan dalam jiwa yang sama.
Pandangan Ibnu ‘Arabi
Tokoh sufi lain yang memiliki pandangan dan perhatian khusus terhadap perempuan adalah Ibnu ‘Arabi, yang pemikiran-pemikirannya pun cukup berpengaruh di kalangan intelektual Muslim, khususnya mengenai tasawuf falsafi, pada paruh kedua sejarah Islam. Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Ibnu ‘Arabi. Ia lahir di Murcia, Spanyol, pada tahun 1165 M dan wafat di Damaskus pada tahun 1240 M. Ibnu ‘Arabi, yang di kalangan tertentu, dikenal sebagai “Grand Syaikh” atau “Asy-Syaikh al-Akbar” karena keluasan ilmu dan imajinasinya.
Ibnu ‘Arabi selama hidupnya telah mewariskan sekitar 500 karya, dan karyanya yang terkenal adalah al-Futuhat al-Makkiyah (Pembukaan Ayat-ayat (Wahyu) Makkah) yang ditulisnya selama lawatan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kitab ini ditulis sebanyak 15.000 halaman, yang isinya memancarkan cahaya atau kilauan dari ilmu-ilmu cahaya yang dia peroleh ketika Tuhan “membukakan” baginya pintu-pintu menuju “Perbendaharaan Pengetahuan Batini” (Treasures of Unseen Generousity). Karya besar Ibnu ‘Arabi lainnya adalah Fushush al-Hikam (Cincin Pengikat Hikmah) yang banyak menjadi rujukan para pengkaji tasawuf. Dalam karya-karyanya itu, Ibnu ‘Arabi mensintesakan hukum syari’at (fikih), teologi, filsafat, tasawuf, kosmologi, psikologi dan ilmu-ilmu keislaman lainnya (William C. Chittick, 2001).
Berbeda dengan Al-Ghazali, pandangan Ibnu ‘Arabi terhadap perempuan tampaknya lebih komprehensif. Ia memadukan antara penglihatan subyektif dengan penglihatan obyektif tentang perempuan, baik yang dijumpai dan dikenalinya secara dekat maupun sebagai guru-guru spiritualnya secara langsung. Oleh karena itu, pandangan Ibnu ‘Arabi terhadap perempuan bukan saja melahirkan banyak inspirasi dalam penjelajahannya tentang dunia spiritual melainkan sekaligus pernyataan rasa kagumnya terhadap makhluk ciptaan Tuhan kedua setelah laki-laki itu.
Dalam perjumpaannya dengan perempuan, setidaknya terdapat tiga perempuan yang dikagumi dan bahkan sekaligus menjadi guru spiritual Ibnu ‘Arabi pada masa mudanya. Mereka adalah Yasamin dari Merchena, Fatimah dari Kordova, dan Zainab Al-Qal’iyyah. Yasamin adalah perempuan yang telah berusia 80-an tahun dan dinilai oleh Ibnu ‘Arabi sebagai seorang yang memiliki hati yang kokoh dan tulus, kekuatan spiritual yang mulia, dan kemampuan membedakan yang baik. Ibnu ‘Arabi mempunyai banyak pengalaman berkaitan dengan instuisi perempuan itu dan menganggapnya sebagai seorang guru dalam bidang ini. Keadaan spiritual perempuan itu ditandai terutama oleh ketakutannya kepada Allah dan keridlaan Allah kepadanya. Fatimah, perempuan berusia 90-an, juga sangat dikagumi oleh Ibnu ‘Arabi. Kendati sudah sangat tua dan tidak banyak makan, namun wajah perempuan itu tetap menyenangkan dan lembut. Kemudian Zainab al-Qal’iyyah, seorang zahid yang cantik dan jelita serta amat kaya. Meskipun dikaruniai banyak harta, namun ia meninggalkan kemewahan duniawi itu dan lebih memilih tinggal di Makkah sebagai wanita yang dimuliakan Allah. Ibnu ‘Arabi mempunyai hubungan dengan perempuan itu, baik saat berada di Seville maupun di Makkah.
Selain ketiga perempuan di atas, Ibnu ‘Arabi juga memiliki pengalaman khusus dengan perempuan lain yang dikaguminya saat bermukim di Makkah. Perempuan itu bernama Nizham, putri Abu Syuja’ Zahir ibn Hisyam, seorang guru sufi yang menduduki posisi penting di kota Makkah saat itu. Ibnu ‘Arabi, sebagaimana dikatakan Kautsar Azhari Noer dan Oman Fathurrahman, melukiskan bahwa Nizham adalah seorang gadis muda yang mempesonakan, kemampuan intelektual yang tinggi dan pengalaman spiritual yang mendalam. Pada diri gadis itu, kecantikan jasmani yang luar biasa berpadu dengan kearifan ruhani yang agung. Perempuan itu telah mengilhami Ibnu ‘Arabi untuk menulis sekumpulan puisi yang sangat indah, Tarjuman al-Asywaq (Penerjemah Kerinduan), yang menimbulkan tuduhan bahwa ia telah menulis puisi tentang cinta yang didorong oleh hawa nafsu. Secara lahiriyah Tarjuman al-Asywaq, menurut Kautsar Azhari Noer dan Oman Fathurrahman, kelihatannya membenarkan tuduhan itu, tetapi secara batiniah karya tersebut, sebagaimana dibelanya dalam Dzakha’ir al-A’laq, ditujukan kepada Allah, perkara-perkara samawiah dan kenikmatan menyatu dengan Allah.
Ibnu ‘Arabi tampaknya mencari akar ontologis keunggulan kaum laki-laki atas kaum perempuan pada proses penciptaan Hawa dan Adam. Ia menjelaskan bahwa tubuh manusia pertama yang terwujud adalah Adam. Ia adalah ayah pertama jenis makhluk ini. Kemudian Tuhan memisahkan darinya seorang ayah kedua bagi kita, yang disebut-Nya ibu. Maka, benarlah jika dikatakan bahwa ayah pertama ini mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada ibu, karena ayah adalah asalnya (ibu) (Ibnu ‘Arabi, jil. I, 136). Maka Tuhan mengeluarkan Hawa dari tulang rusuk Adam yang pendek. Dengan demikian, Hawa tidak mempunyai tingkat yang sama dengan Adam, sebagaimana dikatakan oleh Tuhan, “Kaum laki-laki satu tingkat lebih tinggi daripada kaum perempuan” (QS. 2: 228). Karena itu, kaum perempuan tidak akan mencapai tingkat kaum laki-laki (Ibnu ‘Arabi, jil. I, h. 124).
Di sini, Ibnu ‘Arabi dalam tulisannya itu seakan ingin membenarkan bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan dengan memperbandingkannya dengan pembenaran kosmologis. Dalam hal ini, Ibnu ‘Arabi memperbandingkan keunggulan laki-laki satu tingkat di atas kaum perempuan itu sebagaimana keunggulan langit dan bumi di atas manusia, atau keunggulan alam makrokosmos di atas alam mikrokosmos. Menurut Kautsar, keunggulan langit dan bumi di atas manusia disebabkan oleh kenyataan bahwa penciptaan langit dan bumi lebih hebat daripada penciptaan manusia.
Namun, di sisi lain, jelas Kautsar, Ibnu ‘Arabi menolak mitos penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam sebagai akar ontologis keunggukan kaum laki-laki di atas kaum perempuan. Sebaliknya Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa keunggulan itu berakar pada sifat-sifat yang mendominasi masing-masing, kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dalam hal ini keunggulan laki-laki di atas perempuan bukan berasal dari kenyataan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, tetapi berasal dari kenyataan bahwa laki-laki dikuasai oleh sifat-sifat yang dan perempuan dikuasai oleh sifat-sifat yin (Kautsar Azhari Noer, 2003). Oleh karena itu, menurut Ibnu ‘Arabi, kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah sama dari beberapa sudut pandang tertentu. Misalnya, ia memandang bahwa kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah sama dalam kemanusiaan (insaniyyah).
Dijelaskan pula, persamaan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, menurut Ibnu ‘Arabi, terdapat kenyataan bahwa keduanya sama-sama dapat mencapai tingkat kesempurnaan, seperti kenabian, meskipun tingkat kesempurnaan yang dicapai kaum laki-laki lebih tinggi, seperti pengutusan dan pengiriman. Persamaan antara keduanya terdapat pula adanya kewajiban syariat bagi keduanya, meskipun keputusan-keputusan tertentu berbeda untuk masing-masing dari keduanya.
Walaupun begitu, sebagaimana dijelaskan Kautsar Azhari Noer, ada kelebihan-kelebihan lain yang dimiliki kaum perempuan di mana kelebihan itu tidak dimiliki oleh kaum laki-laki. Kelebihan-kelebihan kaum perempuan, menurut Ibnu ‘Arabi, misalnya kenyataan bahwa kaum perempuan dibuat bersifat dicintai bagi laki-laki dan khususnya bagi Nabi Muhammad SAW karena kaum perempuan adalah lokus penampakkan diri Tuhan yang paling sempurna dalam kosmos. Dan mereka, sebagai lokus penampakkan diri Tuhan yang paling sempurna, adalah lokus penerimaan aktivitas (mahall al-infi’al) yang paling sempurna. Oleh karena itu, cinta kepada perempuan tidak dapat dipisahkan dari cinta kepada Tuhan.
Kelebihan lain yang dimiliki kaum perempuan adalah bahwa penyaksian Tuhan pada diri kaum perempuan merupakan bentuk penyaksian paling sempurna yang pernah diberikan kepada manusia. Menyaksikan Tuhan dari segi zat-Nya adalah mustahil, tetapi menyaksikan Tuhan dari segi penampakkan diri-Nya (tajalli) adalah mungkin. Maka, yang dimaksud dengan penyaksian Tuhan di sini adalah penyaksian Tuhan dari segi penampakkan diri-Nya, bukan dari segi zat-Nya. Tuhan menampakkan diri pada segala sesuatu yang diciptakan. Tuhan dapat dilihat atau disaksikan pada lokus penampakkan diri-Nya. Perempuan adalah lokus penampakkan diri Tuhan yang paling sempurna. Karena itu, penyaksian Tuhan pada diri kaum perempuan adalah jenis penyaksian yang paling sempurna.*

Penulis: Nanang Syaikhu, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta