Kelanjutan dari dakwah yang sejati kadang-kadang juga menghendaki hijrah, yaitu berpindah. Dakwah yang sejati telah membentuk keyakinan hidup dan pandangan hidup. Bahkan kerap kali menghendaki pengorbanan. Karena kaji Islam yang sejati itu kadang-kadang bertentangan dengan lawannya. Laksana pertentangan antara gelap dan terang, antara yang hak dan yang batil, antara syirik dan tuhid.
Kalau kaji dakwah tidak menyinggung intisari, mungkin tidak ada reaksi dari orang-orang yang didakwahi. Tetapi seorang dai, juru dakwah, yang berpandangan luas dan berpenglihatan jauh, akan tahu bahwa tidaklah setiap kajinya akan diterima orang. Itu sebabnya, rasul-rasul yang besar pasti menempuh hijrah.
Hijrah Ibrahim meninggalkan kampung halamannya seketika dia terlepas dari bahaya hangus dibakar. Hijrah Musa 10 tahun meninggalkan kampung halamannya, lalu menuruti Nabi Yusuf ke negeri Mesir. Hijrah Muhammad Saw. meninggalkan Makkah lalu hijrah ke Madinah. Tetapi kelak mengumpulkan kekuatan buat merebut Makkah dan membebaskannya dari penyembahan kepada berhala.
Ada juga hijrah seorang nabi yang tidak meninggalkan tempat. Melainkan hijrah di dalam hati, atau hijrah dalam sikap hidup. Ini pernah dilakukan oleh Luth.
Nabi Luth pernah mendapati paham tauhid yang dibawa oleh Ibrahim. Namun oleh karena kiri-kananya adalah kedurhakaan kepada Allah semata-mata, dan yang insaf hanya dia seorang bahkan istrinya pun tidak mau mengikuti ajaran yang dia bawa, dia pun bersedia hijrah. “Maka berimanlah kepadanya Luth, lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya aku hijrah kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Perkasa Maha Bijaksana.’” (Q.S. Al-Ankabut:260).
Ibrahim adalah saudara dari ayah Luth. Sebab itu Ibrahim adalah pamannya. Tempat mereka tinggal agak berjauhan, tetapi telah didapat pegangan yang teguh. Yaitu mengakui keesaan Allah. Tetapi di dalam menegakkan paham tauhid dan menghilangkan segala pengaruh penyembahan berhala dan kemaksiatan yang lain, sampai kemaksiatan laki-laki menyetubuhi laki-laki yang di zaman modern dinamakan homoseks, sangat merajalela dan orang tidak malu-malu melakukannya di hadapan umum, Nabi Luth tidak bisa berpindah. Sebab akan hijrah ke tempat lain adalah perkara yang sukar, karena hubungan antara satu negeri dan negeri lainnya di zaman itu masih sangat sukar. Sebab itu Nabi Luth memutuskan hijrah.
Hijrah ke mana?
Hijrah dari perangai yag tercela (madzmumah) kepada perangai yang terpuji (mahmudah).
Hidup di tengah orang banyak. Tetapi pisah dengan orang banyak. Itulah yang dinamai hijrah Luth. Bersambung
Penulis: Prof. Dr. Hamka.
Sumber: Panji Masyarakat, 11 September 1986