Ads
Aktualita

Melihat Politik Identitas dengan Wawasan Luas

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Politik identitas terlihat gencar dibicarakan dalam masyarakat. Namun, ada kesan konsep politik identitas dipahami secara sempit makna dan batasannya. Politik identitas sepertinya diarahkan pada partai atau mereka yang membawa-bawa agama Islam dalam berpolitik.

Seharusnya, kalau kita berbicara tentang politik identitas, tentu harus fair dan sepantasnya juga membicarakan aspek lain selain agama, sebab bila berbicara identitas, dalam masyarakat yang hetrogen terdapat beragam identitas seperti suku, ras, agama, golongan, bahkan aspek yang bersifat kategori sosial-ekonomi, dan lainnya.

Dan, pola perilaku atau politik identitas juga harus dilihat secara tajam,  misalnya, jika terdapat kebijakan negara atau pemerintah yang mengistimewakan  golongan ekonomi kuat atau pengusaha kuat, sementara yang lain, seperti kalangan ekonomi lemah dan kaum miskin tidak diperhatikan, itu
juga menunjukkan sebagai diskriminatif dan bericiri politik identitas.

Hal ini juga berlaku dalam dunia hukum, jika hukum tidak berjalan dengan adil, seperti adagium, hukum tajam ke atas, tumpul ke bawah, atau tajam ke lawan dan tumpul ke kawan, maka itu juga sebagai politik yang beraroma identitas.

Dengan demikian jika kita fair mengkritik politik identitas,  harus punya iktikad yang baik demi tujuan kebaikan bangsa dan rakyat secara keseluruhan,  bukan bersifat subjektif demi kepentingan diri sendiri, kelompok dan golongan. Tuduhan politik identitas jangan hanya didorong oleh motivasi kebencian atau perasaan rasisme.

Indonesia sebenarnya sudah punya politik yang khas yaitu Politik Pancasila. Pancasila adalah rumusan yang dibuat para founding father atau pendiri bangsa kita. Pancasila sebagai filsafat bangsa kita memberikan pedoman yang cukup lengkap sebagai panduan hidup berbangsa dan bernegara.

Lima sila yang ada dalam Pancasila mulai dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial  bisa dikatakan sebagai kriteria dan tolok ukur untuk menilai kehidupan sehari-hari, kehidupan ekonomi, politik, hukum dan lainnya.

Jika ada ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat dan juga dalam meminej kehidupan ini yang dilakukan oleh elit politik– misalnya, kecenderungan keberpihakan pada kelompok tertentu, atau menafikan kelompok lain– maka itu bisa dikatakan sebagai politik yang tidak sesuai dengan Politik Pancasila. Dan, bisa juga disebut sebagai politik identitas yang merugikan rakyat.

Politik identitas tidak bijak kalau hanya disempitkan maknanya pada perilaku keagamaan.  Politik identitas harus diberikan makna yang luas, juga menunjuk pada perilaku ekonomi, praktek dunia hukum, pengelolaaan negara dan praktek kekuasaan, serta lainnya.

Politik Pancasila tampaknya sangat mengharapkan terwujudnya kebaikan di semua lini dan sektor kehidupan. Point-point yang terdapat dalam lima sila Pancasila bisa menjadi pisau analisa untuk melakukan kritik dan pengontrolan perilaku sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lainnya.

Ketimpangan dalam kehidupan keberagamaan dilakukan dengan pisau analisa sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini bisa dilihat apakah praktek kehidupan beragama atau kehidupan antar umat beragama sudah sesuai dengan Sila pertama dari Pancasila. Jika belum tercapai tentunya perlu dicarikan solusinya yang bijak dan arif. Contoh kasus sekarang ini,  sedang ramai kontroversi Pesantren Al-Zaytun. Ini bisa dilihat persoalannya melalui perspektif filsafat bangsa kita Pancasila.

Kedua, praktek kehidupan Kemanusiaan yang tertera di sila kedua, bisa menjadi alat ukur, apakah terjadi kasus-kasus penindasan hak asasi manusia dalam kehidupan kita. Jika itu terjadi  menandakan bangsa kita tidak menjalankan norma Pancasila yang telah disepakati sebagai way of live atau jalan hidup bangsa kita.

Ketiga, Persatuan Indonesia. Bangsa Indonesia pasca penjajahan menyadari pentingnya persatuan. Sebab, persatuan adalah inti keutuhan dan keberlangsungan sebuah bangsa. Karena itu persatuan menjadi inti dari point-point Pancasila. Dan, ini menjadi kewajiban setiap pemerintah dan rakyat untuk menjaga persatuan.

Saat ini kita menyadari persatuan  sedang mengalami ujian akibat dampak dari peristiwa politik, baik pemilu legislatif maupun pilpres yang menimbulkan pembelahan masyarakat.  ini juga menjadi warning bahwa kita belum bisa mewujudkan sila ketiga Pancasila tentang persatuan.

Sila keempat, mengenai permusyaratan. Musyawarah adalah untuk mencari kebenaran dan jalan yang tepat untuk memecahkan masalah. Dalam musyawarah semua diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapat, sehingga ditemukan kesepakatan.  Kalau musyawarah tidak menemukan kesepakatan atau aklamasi, bisa dilakukan voting, atau berdasarkan suara terbanyak. Namun, voting sebaik mungkin dihindari.

Sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah salah satu sila yang penting diperhatikan. Antara lain dalam bidang ekonomi muncul ketimpangan sosial, yang kaya makin kaya dan yang miskin sulit meningkatkan kesejahteraannya. Persaingan dalam kehidupan ekonomi, mereka yang tidak memiliki modal yang kuat, kecakapan, pendidikan, akses ke sumber ekonomi dan keuangan dan lainnya tentu sulit untuk maju dan berkembang kualitas pendapatannya.

Dari paparan di atas yang dimaksudkan adalah,  politik identitas harus dilihat dalam wawasan yang luas. Penekanan pada sisi yang sempit hanya nengecam dan mengkritisi perilaku keagamaan,  sesungguhnya tidak.melihat ada persoalan lain yang lebih besar yang menjadi ancaman eksistensi dan keutuhan bangsa. Karena itu kita harapkan politik identitas itu dilihat dengan kacamata yang jernih, fair, objektif, dan jujur,  bukan hanya dengan kacamata politik yang cenderung  gelap, semata melihat sisi yang menguntungkan. Begitukah?

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda