Ads
Cakrawala

Kolom Fachry Ali: Akankah Bau Keringat Itu Berubah?

Ditulis oleh Panji Masyarakat

DARI atas becak saya bertanya — kepada abang becak tentunya: “Tahun ini, becak akan habis. Terus mas mau ke mana?’’

Sang Abang Becak tidak segera menjawab. Kakinya yang besar dan berotot, menggenjot becaknya lebih keras. la terpaksa melakukannya. Sebab di depan, ada polisi ’’tidur”.

“Ya, pulang ke desa,’’ jawabnya.

Jawaban yang ringkas dan enak. Yang lebih penting, seakan-akan keluar tanpa beban. Ia hadir ke Jakarta untuk bertarung. Jakarta adalah medan laga. Dan tampaknya ia tahu. Bahkan tahu, bahwa dia bakal kalah. Tapi dia punya alternatif: desa.

Desa bisa jadi simbol romantis apa pun. Lagu anak-anak berbicara tentang romantisme desa.
“Desaku yang kucintai, pujaan hatiku…..”

Tapi sang Abang becak bicara yang sesungguhnya. Realitas hidup lebih mengajarkannya bekerja tanpa imajinasi. Apalagi yang romantis.

Mungkin, sikap ini mengungkapkan suatu tradisi berpikir yang cenderung melihat ke belakang. Walau ia melangkah ke depan. Tapi jelas pula, sikap ini tidak terlalu sarat dengan imajinasi kultural. Tidak seperti Soetomo, mungkin, yang berusaha mengaitkan dirinya kembali kepada leluhur, ketika menghadapi suatu fenomena di depannya. ’’Le’’, Soetomo mengungkapkan teguran kakeknya, ketika ia takut mendengar suara petir, “kowe aja takut karo bledeg. Kowe rak keturunan Ki Ageng Selo, mengko bledeg rak wedi dewe’’ (Nak, kamu jangan takut sama petir. Bukankah kamu keturunan Ki Ageng Selo? Nanti ia akan takut padamu).

Ki Ageng Selo adalah tokoh dongeng Jawa terkenal. Seorang sakti yang menangkap dan menghukum petir. Dan Soetomo kecil seperti ia sendiri mengakui dalam bukunya, Kenang-kenangan yang ditulis pada 1934 — begitu percaya pada sang Kakek. “Lambat laun, saya tidak takut lagi pada guntur dan petir, bagaimana pun bunyi gelegar mereka,” katanya.

Toh Anderson menilai: “….keberanian itu datang dari kenang-kenangan tentang asal-usul seseorang. Seseorang bertumbuh dengan pertumbuhan ke belakang.’’

Tapi sang Abang becak pastilah bukan Soetomo, yang merasa tertantang oleh kehadiran Belanda. Sang Abang becak merasa tidak tertantang — setidak-tidaknya, demikianlah diungkapkan kepada saya. Bahkan mungkin oleh apa pun.

Jakarta hanyalah tempat berlaga, tempat bertarung. Tapi bukan sebuah pertarungan yang habis-habisan. Kalah atau menang, ia tetap punya alternatif lain: desa. Ia membawa perolehannya ke desa. Juga kekalahan. Maka, sikap ini menjadi menarik. Dia, tidak berjudi dengan waktu, — baik ketika di desa atau pun di Jakarta.

Jakarta, atau pun desa, bukanlah suatu fenomena waktu. Melainkan letak geografis. Tempat orang hidup hiruk-pikuk, atau, tempat orang-orang hidup dengan lamban dan rutin. Maka, perubahan waktu, tidaklah berarti apa-apa baginya.

Apa arti 1975 baginya? Apa pula arti 1985? Indonesia pada 1985 atau sebelumnya, 1975, sama sebanding. Ia tidak merasa. miskin, dan tidak pula merasa lebih miskin. Indonesia, mungkin, dalam pikiran dia, boleh gegap gempita bersama perjalanan waktu. Dan ia ikut serta di dalamnya. Tapi sepenuhnya dalam perspektif dia.

Becak dikayuh semakin jauh, dengan punggungnya yang basah. Ada yang tersisa pada saya, bau keringatnya. Keringat 1985. Akankah pada 1986, bau itu bisa berubah? Wallahu a’lam.

Penulis: Fachry Ali, Kolumnis, peneliti dan pengamat sosial politik dan budaya. Sumber: Panji Masyarakat. No 491, 11 Januari 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda