Ads
Cakrawala

Antara Ajaran dan Tradisi serta Simbol Menghadirkan Tuhan

Ditulis oleh Panji Masyarakat

BULAN Muharram (Jawa: Suro) bagi umat Islam termasuk bulan istimewa. Pada bulan inilah awal kalender Islam dimulai. Tetapi yang menarik, datangnya bulan Muharram tak sekadar disambut dengan perayaan-perayaan seremonial, melainkan dengan tradisi-tradisi yang agak unik.

Di kalangan penganut Syiah, seperti di Irak dan di Iran, Muharram dipandang sebagai bulan bersejarah. Di bulan ini, dua cucu Rasulullah Saw, Hasan-Husein, mati syahid di padang Karbala beberapa abad silam. Bagi penganut Syiah, syahid-nya Hasan-Husein bukan saja meninggalkan duka mendalam, tapi sekaligus luka yang amat memedihkan. Karena itu, untuk mengenang kematian mereka, sebagian masyarakat Syiah, setiap bulan Muharram selalu saja ada ritual. Mereka yang sangat mencintai putra Sayyidina Ali ibn Abi Thalib-Fatimah Az-Zahra itu, lalu melakukan ritual “penyiksaan diri” dengan cara memukul-mukul tubuh mereka sendiri hingga berdarah-darah. Ritual semacam itu, konon, merupakan simbol kecintaan mereka dan sekaligus tanda duka terhadap kematian Hasan-Husein yang dipenggal lehernya oleh penguasa Bani Umayyah ketika itu.

Selain masyarakat Syiah, di kalangan penganut Sunni seperti di Indonesia, juga kerap merayakan bulan Muharram dengan beragam ritual yang khas pula. Di Sumatera Barat atau Bengkulu, misalnya, ritual perayaan Muharram ditandai dengan mengarak “keranda” yang disebut tabut. “Keranda” (yang berisikan penganan dan buah-buahan) tersebut sebelum diperebutkan dan dimakan secara bersama-sama oleh masyarakat, terlebih dahulu diarak berkeliling kota. Perayaan Muharram yang sekaligus untuk memperingati gugurnya cucu Rasulullah Saw itu dilakukan selama 10 hari mulai tanggal 1 hingga 10 Muharram setiap tahunnya. Tradisi festival tabut yang sudah berlangsung puluhan tahun itu oleh pemerintah setempat lalu dijadikan sebagai salah satu obyek pariwisata daerah.

Di Jawa, perayaan bulan Muharram, khususnya setiap tanggal 10 Muharram, selalu ditandai dengan pembuatan “bubur suro”. Penganan bubur syura terdiri atas beras yang dicampur santan serta bumbu-bumbu penyedap lain. Tradisi pembuatan bubur syura juga tak lepas kaitannya dengan dua cucu Rasulullah Saw. yang syahid di Karbala.

Di samping tradisi-tradisi semacam itu, perilaku keagamaan umat Islam di Indonesia sebenarnya banyak diwarnai oleh tradisi lain baik yang bercorak lokal maupun global. Uniknya, setiap tradisi itu, lagi-lagi, selalu bersentuhan dengan keyakinan agama. Contoh yang paling gampang adalah peringatan atau kegiatan maulid Nabi Muhammad Saw dan Isra Mikraj. Dua peristiwa ini, oleh sebagian besar masyarakat Islam dianggap sebagai “hari raya Islam”, sehingga di mana-mana semarak dengan kegiatan. Pemerintah sendiri telah memasukkan dua hari raya ini ke dalam kalender nasional sebagai hari libur resmi. Selain itu, pemerintah juga kerap merayakannya melalui upacara resmi kenegaraan, baik di Masjid Istiqlal maupun di Istana Negara.

Antara Ajaran dan Tradisi

Bila diurai, tradisi-tradisi yang berkaitan dengan masalah kepercayaan atau agama jelas akan sangat panjang. Bahkan kentalnya hubungan antara tradisi dan (ajaran) agama ini sudah bersenyawa sedemikian rupa di dalam masyarakat. Saking kentalnya, kadang-kadang kita sendiri sulit membedakan mana yang termasuk tradisi (budaya) dan mana ajaran (agama) – yang bersumber dari kitab suci. Hal yang sama juga sulit dipisahkan terhadap ritual-ritual zikir berjamaah, yasinan (yang terkadang dibarengi dengan penyediaan air putih) atau tradisi “kum-kum” (berendam dalam air) pada saat menjelang datangnya bulan suci Ramadan.

Terlepas dari ada atau tidak adanya “keyakinan lain” dalam perilaku keagamaan umat Islam semacam itu, tradisi-tradisi lokal yang dibalut dalam bingkai agama di satu sisi mencerminkan adanya keragaman budaya masyarakat Islam Indonesia. Sedangkan di sisi lain sebuah tradisi boleh jadi hanya sebagai bentuk eksesif pengamalan ajaran agama semata. Namun, sepanjang eksesifitas keagamaan itu tidak keluar dari rel ajaran agama yang benar (baca: akidah murni) tentu saja masih dapat kita tolerir. Namun, akan menjadi persoalan lain jika ada sebuah tradisi sudah mengarah kepada bentuk “TBC” (takhayul, bid’ah, dan churafat). Perilaku semacam inilah yang ditentang oleh agama.

Secara sosiologis-antropologis, tradisi lokal sebetulnya sangat dekat dengan perkara budaya ketimbang agama. Agama dalam pengertian di sini bukan agama ardhi (agama budaya) tapi agama samawi, yaitu agama yang diturunkan oleh Allah kepada para nabi-Nya. Dalam perkara ibadah, sebut saja salat, ajaran Islam telah menetapkan bagaimana tata cara salat dilakukan oleh umat Islam. Tata cara salat setidaknya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam hadisnya yang populer, yakni Shallu kama ra’aitumunni ushalli (salatlah sebagaimana aku salat). Bentuk salat yang diajarkan Nabi tak lain seperti yang kita lakukan setiap hari dengan gerakan-gerakan dan bacaan tertentu. Di luar tata cara itu tidak dikategorikan sebagai ibadah. Ketentuan salat yang ditetapkan oleh Nabi ini bukan saja mencakup gerakan dan bacaan, melainkan juga jumlah rakaat dan arah salat. Begitu pula ibadah lain seperti puasa, zakat, dan haji, semua sudah ditentukan caranya sendiri-sendiri.

Nah, karena budaya adalah produk manusia, ia hanya bisa disebut tradisi, bukan ajaran. Yang menjadi pertanyaan di sini, adakah ritual-ritual keagamaan selain salat atau haji? Kalau ada, dari mana keyakinan dan sumber itu diperoleh dan apa yang melatarbelakanginya? Secara sederhana sebetulnya dapat diterangkan begini: segala “bentuk sesembahan” selain dari salat adalah tidak boleh. Praktik zikir di luar salat bukanlah salat (baca: ibadah mahdlah). Zikir sendiri bermakna pujian, sementara salat adalah doa (permohonan). Persoalannya, bagaimana dengan bentuk-bentuk tradisi yang sudah turun temurun dilakukan oleh umat Islam seperti contoh-contoh di atas? Dapatkah ia dikategorikan sebagai penyimpangan ajaran?

Dalam ilmu usul fikih kita mengenal yang disebut dengan ‘urf (adat, kebiasaan). ‘Urf adalah tradisi yang ada dalam suatu masyarakat dan berlangsung lama serta berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. ‘Urf, dalam konteks tertentu, diadopsi bukan saja sebagai bentuk kebaikan, melainkan menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam. Dengan kata lain, untuk menetapkan suatu hukum dalam perkara tertentu ketika berijtihad, tradisi lokal tetap harus diperhatikan sepanjang tradisi itu baik bagi masyarakat dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Jelasnya, tidak ada larangan bagi umat Islam untuk memegang ‘urf yang berlaku di suatu tempat. Misalnya pada masyarakat Minang di Sumatera Barat yang dikenal cukup kental memegang ‘urf atau adat kebiasaan sehari-hari. Hal itu tercermin dalam semboyan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (adat tak boleh lepas dari syari’at dan syari’at harus sesuai dengan Al-Qur’an). Tradisi memang tidak boleh menyimpang dari syari’at Islam, karena antara tradisi dan ajaran berbeda dalam praktik. Artinya kita tetap harus memilah mana perkara ritual yang termasuk tradisi (kebiasaan di masyarakat) dan mana ajaran agama yang bersumber dari wahyu.

Peringatan maulid Nabi Muhammad Saw dan Isra’-Mikraj misalnya, dalam konteks ini bukanlah ajaran, melainkan hanya sebuah tradisi. Oleh sebab itu, keduanya tidak dapat dikatakan sebagai “hari raya” keagamaan. Sebab, dalam ajaran Islam hari raya dikenal hanya dua, yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Sayangnya, masyarakat kita sudah terlanjur menganggap peringatan dua peristiwa itu sebagai hari raya keagamaan, sehingga gejalanya tampak lebih eksesif dan terkadang dibarengi dengan ritual-ritual tertentu secara agak berlebihan. Dengan kata lain tradisi yang eksesif tadi seolah-olah sudah menjadi sebuah ajaran yang bersumber dari agama. Fenomena yang sama juga tampak pada tradisi-tradisi lain, seperti ritual “tolak bala” (sedekahan), walimatul ‘ursy, dan walimatussafar.

Simbol “Menghadirkan” Tuhan?

Karena kuatnya ‘urf itu pula, tak heran bila corak kehidupan beragama pada masyarakat Banten berbeda dengan kehidupan beragama pada masyarakat Aceh. Begitu pula antara masyarakat Jawa Barat, berbeda dengan masyarakat Jawa Timur, Kalimantan, dan sebagainya. Tapi meskipun berbeda, mereka tetap berpijak pada landasan agama yang sama, yakni Islam.

Perbedaan-perbedaan itu, baik karena faktor sosiologis maupun faktor teologis, merupakan kenyataan sejarah yang tak dapat dipungkiri. Sejak Islam lahir lebih dari 14 abad silam, pengamalan dan juga perilaku keagamaan masyarakat Islam agaknya memang tak lepas dari pengaruh kebudayaan setempat. Sebagai contoh, sewaktu Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam, ia sempat menggunakan medium wayang sebagai sarana dakwahnya. Alasannya, karena masyarakat di mana Sunan Kalijaga berdakwah, dikenal sebagai penggemar wayang. Dengan metode itu, diharapkan bahwa wayang tak sekadar sebagai tontonan melainkan juga tuntunan sekaligus. Sampai kini, medium wayang masih digunakan, khususnya di Jawa.

Tetapi yang lebih menarik lagi, tradisi-tradisi lokal yang berkembang di kalangan umat Islam dewasa ini kian menguat seiring dengan maraknya kajian-kajian keagamaan pada level masyarakat tertentu yang mencoba memahami agama yang diyakininya secara luas. Banyak praktik tradisi pada masyarakat Islam yang berkembang sedemikian rupa, bahkan boleh dikatakan cukup “inovatif”. Tradisi-tradisi tersebut pada tingkat pengamalannya terkadang sulit dibedakan dengan ajaran Islam yang genuine. Padahal, antara tradisi dan ajaran jelas memiliki perbedaan secara signifikan. Walaupun begitu, tidak serta merta munculnya beragam tradisi yang berkembang pada masyarakat Islam bernilai buruk atau menyimpamg dari ajaran Islam. Justru sebaliknya, untuk kasus-kasus tertentu, Islam juga “mengakomodasi” tradisi-tradisi yang dilakukan di kalangan para pemeluknya.

Sekadar contoh dapat dikemukakan, karakteristik ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Mekkah sangat berbeda dengan yang diturunkan di Madinah. Hal itu terlihat dari kata-kata yang dipakai Tuhan untuk mengenalkan diri-Nya kepada kedua masyarakat tersebut. Di Mekkah, Tuhan selalu menggunakan kata “Rab” untuk menyebut diri-Nya kepada masyarakat Arab. Hal itu dikarenakan masyarakat Arab pada waktu itu belum mengenal nama “Allah”. Namun, di Madinah, barulah Tuhan menggunakan kata “Allah” setelah masyarakat Arab itu beriman dan mengenal nama “Allah”.

Makna dari perbedaan karakteristik ayat Al-Qur’an itu menunjukkan bahwa Islam memang sangat memperhatikan terhadap kondisi-kondisi sosiologis dan psikologis para pemeluknya. Karena itu Islam menolerir setiap adanya tradisi dalam suatu masyarakat, sejauh tradisi itu tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadis.

Persoalannya lagi, mengapa tradisi dan perilaku keagamaan itu berkembang dan seolah sangat erat berkaitan dengan ajaran Islam? Dalam masyarakat Islam, berkembangnya tradisi-tradisi lokal yang dibalut dengan agama hakikatnya bukan sekadar untuk melestarikan tradisi tersebut. Lebih jauh, masyarakat Islam juga berupaya untuk “menghadirkan” Tuhan di dalam tradisi itu. Hal ini terlihat dengan adanya amalan-amalan keagamaan, seperti doa dan lafalan wirid-wirid (mantra) yang menyertai upacara tersebut. Dalam tradisi yang bersifat ritual, Tuhan dihadirkan melalui beragam medium dan simbol-simbol. Jadi, untuk menghadirkan Tuhan dalam diri seseorang, tampaknya tak cukup melalui ibadah salat atau puasa, melainkan bisa dalam bentuknya yang lain. Karena itu, tak heran jika masyarakat Islam sangat menyukai praktik-praktik zikir dan wirid atau menampilkan simbol-simbol keislaman lain. Wallahu a’lam*

Penulis: Nanang Syaikhu, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda