Pernikahan beda agama tampaknya akan sulit dilakukan di negara kita. Jika ada yang nekat ingin tetap hidup berumah tangga, pernikahan itu akan dianggap tidak sah alias sama dengan berzina.
Keputusan itu tidak main-main. Soalnya, Mahkamah Agung baru saja mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023. Isinya, melarang semua pengadilan untuk mengabulkan pencatatan perkawinan yang berbeda agama dan keyakinan.
“Para hakim harus berpedoman pada ketentuan: pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan, ” kata Muhammad Syarifuddin, Ketua MA, yang menandatangani beleid tersebut, Senin 17 Juli 2023.
Menurut Syarifuddin, surat edaran itu dilakukan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan keyakinan.
“Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,” ungkap Syarifuddin, seraya mengutip Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Munculnya Surat Edaran Mahkamah Agung ini sesungguhnya sejalan dengan Fatwa MUI tahun 2005. Dalam Munas MUI tahun 2005 telah ditetapkan fatwa dalam Komisi C yang isinya, pertama, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaulu mu’tamad, juga adalah haram dan tidak sah.
Fatwa di atas dikeluarkan MUI berlandaskan nash baik Al-Qur’an, hadist, dan qaidah fiqh. Juga merujuk dan mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari perkawinan beda agama.
MUI memberikan apresiasi dengan langkah Mahkamah Agung dalam menerbitkan aturan mengenai larangan pencatatan perkawinan yang berbeda agama tersebut.
Menurut Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. K.H. Asrorun Niam Sholeh, penerbitan Surat Edaran ini sangat tepat untuk memberikan kepastian hukum dalam perkawinan dan upaya menutup celah bagi pelaku perkawinan antar agama yang selama ini bermain-nain dan berusaha mengakali hukum.
“Aturan ini wajib ditaati semua pihak, terutama bagi hakim yang selama ini tidak paham atau pura-pura tidak paham terhadap hukum perkawinan,” katanya.
Asrorun Niam yang juga Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini menambahkan, UU Perkawinan sudah secara gamblang menjelaskan bahwa perkawinan itu sah jika dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama.
“Kalau Islam menyatakan perkawinan beda agama tidah sah, maka tidak mungkin bisa dicatatkan,” tegasnya.
Namun, ungkap Niam, selama ini ada orang yang mengakali hukum dengan mengajukan penetapan putusan pengadilan dengan dalih UU Administrasi Kependudukan yang memberi ruang.
Meski sudah ada fatwa dari MUI mengharamkan pernikahan beda agama, namun faktanya di lapangan kasus ini masih terjadi, bahkan termasuk pencatatan perkawinan beda agama melalui penetapan beberapa pengadilan belum lama ini.
Pengadilan Negeri (PN) yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan yang berbeda agama, sebut saja Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Yogyakarta, Pengadilan Negeri Tangerang, dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 yang melarang psrkawinan beda agama juga pernah diuji atau diyudicial review yang diajukan oleh E.Ramos Petege yang beragama Kristen yang ingin menikahi perempuan muslim. Namun, permohonan ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kini dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung yang melarang pernikahan beda agama, sudah sepatutnya hakim pengadilan mematuhinya. Sebagai hakim tentu harus taat pada hukum dan menjadi teladan yang baik dalam mematuhi hukum.