Suatu ungkapan yang mengesankan tidak selamanya harus ke luar dari mulut orang penting. Misalnya, suatu hari seorang tetangga yang hidup dari rizki sampah pasar menghentikan penjual kue di depan rumah saya. Dibelinya beberapa potong kue lalu diberikannya kepada anak saya. Saya terkejut. Tetapi belum lagi sepatah kata sempat saya ucapkan, tetangga yang amat miskin itu berkata, “Pak, sesekali saya ingin memberi. Jangan selamanya saya menjadi pihak yang diberi. Saya merasa senang bisa memberi anak Bapak sekedar kue jajanan’. Memberi itu menyenangkan. Bukankah itu sebuah ungkapan yang bermakna tinggi? Dan kata-kata mahal itu saya dengar sendiri dari seorang yang teramat fakir. Saya harus merasa malu. Siapa pun harus merasa malu, karena kecenderungan masyarakat sekarang memang kelihatan mengarah gua-gua, lu-lu.
Lagi. Dalam nomor yang lalu Panjimas menampilkan pendapat seorang wartawan tentang organisasi Muhammadiyah. Wartawan itu belum setenar H. Rosihan Anwar atau Goenawan Mohamad. Dia adalah si Musfihin Dahlan; anak Banten bekas HMI yang kini ngendon di staf redaksi Mutiara (kelak politisi Golkar dan anggota DPR-RI, red). Ungkapannya polos, “Organisasi-organisasi Islam kini menakutkan, kurang manusiawi! “
Saya percaya banyak orang terkejut mendengar ceplosan si Musfihin ini. Saya juga. Malah mula-mula saya berprasangka buruk; jangan-jangan si Musfihin sudah berubah lantaran lama bergaul dengan teman-teman non Islam. Namun setelah lama merenung saya sadar, kata-kata anak Banten ini baik sekali dibuat sebagai landas pacu buat koreksi diri. Betulkah organisasi-organisasi Islam dalam penampilannya berwajah menakutkan dan kurang manusiawi!”
Sungguh tidak gampang menjawab pertanyaan di atas. Teramat banyak sisi yang harus ditilik dan teramat banyak pintu yang harus dimasuki. Maka kita mencoba masuk ke salah Satu pintu saja. Yakni pintu yang mengarah kepada penghargaan atas potensi fitrah Islami pada setiap insan. Kenapa? Karena penghargaan yang wajar terhadap potensi fitrah Islami yang terkandung pada setiap diri, sah menjadi titik tolak penghargaan kita terhadap keislaman seseorang. Fitrah Islami setiap insan bagian terpenting pada kesejahteraannya, dan fitrah itu mestilah bersifat unik. Pada gilirannya, keunikan ini mewarnai atau menjadi tampang individual keislaman insani, dan bersifat kodrati.
Jadi sisi individual atau keunikan keislaman seseorang adalah sah. Penghargaan teradap keunikan fitriah itu adalah semacam tuntutan manusiawi. Dengan kata lain, tiadanya penghargaan yang dimaksud menjadikan sosialisasi Islam yang ada sekarang mempunyai kadar ketidakmanusiawian itu.
Apabila kita menatap kenyataan yang ada, memang. Sosialisasi Islam dilakukan sebagian besar melalui pengajaran indoktrinatif. Dalam sistem pendekatan indoktrinatif ada kecenderungan Menganggap semua manusia adalah sama; sama dalam hal kemampuan akal dan sama dalam hal latar kesejahteraan kata lain, manusia sebagai sebuah unikum agak terabaikan. Padahal Allah sendiri menghargai semua manusia secara fitri dan kepada merekalah diberikan tugas menjadi wakil-Nya di bumi.
Sistem pengajaran indoktrinatif juga menciptakan, secara tidak disengaja, legitimator-legitimator yakni insan-insan yang merasa menguasai doktrin yang bersangkutan. Mereka dalam melakukan upaya sosialisasi Islam merasa mempunyai otoritas suci. Dari otoritas inilah lahir sikap-sikap yang kurang menghargakan faktor-faktor individual yang bersifat fitri, termasuk di dalamnya fitrah keislaman seseorang. Dan sudah diketahui sebagai rumus umum otoriterisme adalah lawan yang baku rasa kedaulatan pribadi. Dengan kata lain sistem pengajaran indoktrinatif akan selalu mengandung kadar ketidak-manusiawian.
Untuk meminimalkan kesan menakutkan dan tidak manusiawi mungkin sudah tiba waktunya bagi organisasi-organisasi Islam melaksanakan demokratisasi dakwah, sekedar istilah. Cara pendekatan ini pada dasarnya adalah membantu mengembangkan iman seseorang menurut warna fitrahnya. Kita hanya memupuk kecambah fitrah itu dan membiarkannya tumbuh dalam warnanya sendiri. Sesudah mekar dia sendiri yang akan memilih langgam keislamannya; mau yang ekspresif dan optimistik, mau yang impresif dan runduk, mau yang progresif atau yang konservatif. Dengan demikian kita merefleksikan sifat rahman dan rahim Ilahi dan dengan demikian pula kita tidak melangkahi Tuhan yang telah berkenan memberi penghargaan tinggi kepada setiap diri dalam fitrahnya.
Memang, demokratisasi dakwah ini memerlukan lebih banyak kontak perorangan sehingga memerlukan kesabaran yang tinggi plus wawasan psikologi. Namun jelas lebih simpatik dan manusiawi. Pula, kalau kita melihat kenyataan pada diri Rasulullah Saw.; beliau hanya memberi gelar Ash- Shiddiq kepada Abu Bakar, Al-Faruq hanya kepada Umar bin Khattab, Sang Dua Cahaya kepada Utsman bin Affan dan seterusnya. Apa maknanya? Rasulullah sendiri ternyata menghargai warna pnbadi tiaptiap sahabatnya. Ini tidak bisa lain kecuali contoh sikap manusiawi yang diberikan oleh Nabi. Siapa mau nyontek Sang Junjungan?
Penulis: Ahmad Tohari, pengarang, budayawan, tinggal di Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah.
Sumber: Majalah Panji Masyarakat, No. 490, 1 Januari 1986