Prof. Dr. Hj. Isnawati Rais MA, ulama perempuan dan pendakwah serta guru besar Ilmu Fikih pada Fakultas Syariah dan Hukum dan Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta meninggal dunia Rabu 12 Juli 2023 pukul 09.10 WIB di RS PON Jakarta dalam usia 65 tahun. Dunia pendidikan tinggi keagamaan dan masyarakat Islam kehilangan salah seorang ilmuwan dan ustazah yang handal.
Untuk pertama kali saya mengenal nama Ibu Isnawati Rais ketika membaca buku Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim (2005) yang berasal dari disertasinya. Ketika itu Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji merilis program pelayanan publik di bidang literasi dengan menerbitkan beberapa disertasi terpilih karya anak bangsa.
Pemikiran fikih Abdul Hamid Hakim (1893 – 1959) yang diteliti Isnawati Rais termasuk topik berat dan belum banyak dikaji di masa kini. Uniknya, Abdul Hamid Hakim tokoh ulama yang tidak pernah sekolah ke Timur Tengah, tetapi kompetensi ilmu dan penguasaan bahasa Arabnya sangat baik. Semua buku karangan Abdul Hamid Hakim ditulis dalam bahasa Arab.
Isnawati Rais memiliki alasan yang tepat memilih pemikiran fikih Abdul Hamid Hakim: studi tentang pengembangan hukum Islam di Indonesia sebagai objek penelitian disertasi. Promotornya ialah Dr. Satria Effendi M. Zein dan Prof. Dr. M. Atho Mudzhar. Disertasi yang diterbitkan oleh Departemen Agama itu menjadi sumbangan berharga terhadap kajian hukum Islam di Indonesia. Saran-sarannya pada bagian akhir disertasi, ialah: (a) perlu dilakukan pengkajian konsep, metode dan substansi pemikiran fikih Abdul Hamid Hakim dalam berbagai aspek yang lain, sehingga lebih memperjelas sosok dan sumbangannya dalam pengembangan hukum Islam di Indonesia, (b) perlu dilakukan penelitian lapangan terhadap para alumni maupun pesantren atau madrasah yang menggunakan karya-karya Abdul Hamid Hakim sebagai text books, sehingga dapat diketahui pengaruh pemikirannya secara empirik, dan (c) perlu dilakukan pengelaborasian lebih lanjut terhadap konsep, metode dan substansi pemikiran Abdul Hamid Hakim, sesuai dengan perkembangan state of the art fikih dan ushul fikih, demi kesinambungan pengembangan pemikiran hukum di Indonesia.
Isnawati Rais berkontribusi “menghidupkan” khazanah pemikiran Abdul Hamid Hakim dan mengangkat relevansinya dengan konteks kekinian. Untuk tujuan itu dia meneliti sejumlah literatur klasik dan modern serta wawancara dengan sejumlah orang dari keluarga dan murid-murid Abdul Hamid Hakim di Sumpur, Padang Panjang, Bukittinggi, Padang, Jakarta, dan Banda Aceh yakni Prof. A. Hasjmy
Dalam temuan penelitian Isnawati Rais, Abdul Hamid Hakim berpendapat bahwa pintu ijtihad harus selalu dibuka, agar hukum Islam mampu berkembang seiring dengan perkembangan umat manusia, sehingga hukum Islam mampu memberikan solusi terhadap semua persoalan umat, yang membuat hukum Islam itu hidup dan menjadi bagian dari masyarakat di semua masa dan tempat. Menurut Abdul Hamid Hakim, faktor utama kemunduran umat Islam dalam waktu yang lama, adalah penutupan pintu ijtihad dan keharusan bertaklid.
Bagi Abdul Hamid Hakim, sebagaimana diungkapkan Isnawati Rais dalam kesimpulan disertasinya, ijtihad merupakan konsekuensi logis dari kewajiban untuk mempergunakan akal dalam agama, yang harus selalu terbuka sepanjang masa. Pemikiran ushul fikih Abdul Hamid Hakim menganut prinsip mengedepankan nash sebagai sumber dan dalil dalam menetapkan suatu hukum. Dia menegaskan bahwa sumber hukum Islam itu adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan yang lainnya adalah alat atau metode untuk menemukan hukum dari dalil.
Sewaktu saya bertugas di Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama, kami mengundang Isnawati Rais sebagai narasumber kegiatan orientasi pengelolaan zakat di Jakarta karena pertimbangan kapasitas keilmuwannya yang tidak diragukan. Perspektif pemikiran dan wawasan keilmuwannya tentang fikih zakat kompatibel dan mampu menjawab kebutuhan masa kini dengan penjelasan yang mudah dipahami.
Pada 8 September 2020, pasca Musyawarah Nasional XVI Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), saya mengontak Ibu Isnawati Rais, meminta kesediaannya masuk dalam kepengurusan BP4 Pusat. Namun dalam susunan final Pengurus BP4 Pusat masa bakti 2019 – 2024 yang ditetapkan pada tanggal 26 Desember 2019, nama beliau tidak masuk.
Isnawati Rais lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 27 Oktober 1957. Tamat dari Pondok Pesantren Thawalib Parabek, melanjutkan pendidikan Sarjana Muda (B.A.) di IAIN Imam Bonjol Padang Cabang Bukittinggi tamat tahun 1979, dan meraih Sarjana Lengkap (Dra) di IAIN Imam Bonjol Padang tahun 1983. Dia melanjutkan Pendidikan S2 (MA) pada Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah (kini UIN) dan menyelesaikan S3 (Program Doktor) Pengkajian Islam pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai akademisi Isnawati Rais memulai karier sebagai asisten dosen dan dosen Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang. Dia merantau ke Jakarta mengikuti suaminya Hasnim Fadhly Hassan yang mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah.
Pada tahun 2022, ulama perempuan asal Sumatera Barat itu berhasil mencapai jabatan akademik tertinggi dan dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di samping tugas mengajar sebagai dosen, dia termasuk tenaga pendidik yang produktif dalam kegiatan akademik, organisasi dan berdakwah di masyarakat.
Semenjak beberapa tahun terakhir, dia tercatat sebagai penceramah tetap di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat dan diundang ceramah di berbagai tempat. Saya menyimpulkan Isnawati Rais bukan sekedar ilmuwan kampus, tetapi ilmuwan masyarakat dan ilmuwan yang memasyarakat. Dalam memberikan pengajian atau dakwah di masjid, majlis taklim dan forum lainnya, dia tidak pernah mengungkit dan mempertentangkan soal-soal furuiyah dan khilafiyah. Di mana pun dia berdakwah, selalu menyampaikan kebenaran menurut agama dan menurut ilmu, dengan narasi dan bahasa komunikasi verbal yang menyejukkan.
Selain mengajar di IAIN/UIN, dia pernah menjadi dosen Fakultas Syariah dan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB). Di bidang pengabdian kepada masyarakat, Isnawati Rais adalah salah satu kader terbaik Muhammadiyah dari unsur perempuan.
Semasa muda Isnawati Rais menjadi Ketua DPD KNPI Kotamadya Bukittinggi dan Ketua PW Nasyiatul Aisyiyah Sumatera Barat periode 1985 – 1990. Dia pernah menjadi Pengurus Majelis Wakaf dan Kehartabendaan PP Muhammadiyah periode 2015 – 2020, Majelis Pembina Kesejahteraan Sosial dan Pengembangan Masyarakat PP Muhammadiyah, dan pernah menjadi Ketua PP Nasyiatul Aisyah dan anggota PP Aisyiyah. Dia aktif sebagai Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat dan tim Layanan Konsultasi Keagamaan MUI Pusat. Isnawati Rais membina ladang amal di berbagai lembaga pendidikan dan sosial keagamaan.
Dalam penelitian terakhirnya sebagai akademisi, Isnawati Rais meneliti pengaruh pandemi Covid-19 terhadap tingkat perceraian di Indonesia. Kajian sosio-hukum ini mengkonfrontasi pemberitaan media yang menyebutkan peningkatan perceraian. Temuannya, pandemi tidak mempengaruhi angka perceraian, meski pandemi menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan kekerasan dalam rumah tangga.
Karya ilmiahnya antara lain: Status Harta Tercecer (Luqatah) Menurut Hukum Islam (skripsi sarjana muda, 1979), Tindak Pidana Perzinaan Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP (skripsi sarjana, 1983), Dirasah Islamiyah III Pengantar Ilmu Tafsir (1989), Praktek Kawin Mut’ah di Indonesia dalam Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Jurnal Ahkam, 2014), Penyelesaian Harta Bersama di Pengadilan Agama Indonesia: Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Al-‘Adalah, 2018), The Settlement of Joint Property in Religious Courts of Indonesia: A Case in the Religious Court of South Jakarta (Al-‘Adalah, 2018), Marriage Dispensation due to Extramarital Pregnancy: The Study on the Decision by the Religious Court of South Jakarta (2010-2011 dan (2018), The Polemic Prohibition of Wearing Veil in Perspective Al-Qur’an and Sadd Al-Dzari’ah (2020), dan The Impact of COVID-19 Pandemic on Divorce Rates among Indonesian Muslim Societies (Journal IJIMS, 2021).
Isnawati Rais menulis beberapa entry data pada Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata (2012) dengan Pimpinan Redaksi Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Dalam penyusunan Tafsir At-Tanwir Jilid II (PP Muhammadiyah), Isnawati Rais merupakan salah seorang tim penulis naskah awal tafsir surat al-Baqarah [2] ayat 222-223 di bawah tema “Ketentuan Hukum tentang Haid”.
Saya mengutip pesan dakwah Isnawati Rais dalam ceramah Ramadan di Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta tahun 2022. Dia mengutarakan lima hal yang perlu dipraktikkan dari hikmah ramadhan yaitu pengendalian diri, tetap berinteksi dengan A Quran yang dijadikan pedoman hidup dan kita selalu bercermin dengan Al-Qur’an sehingga selalu berjalan pada jalan yang lurus, solidaritas sosial, simpati dan empati, dan selalu bermuhasabah diri. Saya simak melalui channel youtube, Isnawati Rais menutup ceramahnya dengan “pesan terakhir” sebagai da’iyah, dia mengingatkan jamaah dan hadirin:
“Dunia itu dua saja. Kalau kita tidak meninggalkan dia, dia akan meninggalkan kita. Tetapi ada sesuatu yang pasti. Kita lari tidak bisa. Kita selalu dikejarnya. Apa itu? Kematian. Lalu dengan mati selesai urusan? Tidak! Ada pertanggungjawaban sesudah itu. Sesiap apa kita untuk bisa mempertanggungjawabkan semuanya di hadapan Allah Swt. Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar, Allah Maha Mengetahui, andaikan tiga daripada asmaul husna dan sifat Allah ini saja yang terhunjam di diri kita, insya allah jalan kita akan lurus. Siapa pun kita di dunia ini kita pasti akan meninggalkannya, mau menjadi pejabat tinggi, mau jadi orang kaya raya, mau jadi siapa pun, dunia akan berhenti ketika malaikat maut datang, innalillahi wa inna ilaihi rajiun.”
Pada tahun 2021, suaminya, Hasnim Fadhly Hassan, telah mendahului berpulang. Isnawati Rais meninggalkan dua orang anak, Mohammad Heykal Alfaruqi dan Cheryl Raissa Alfaruqi.
Semoga amal pengabdiannya menjadi inspirasi bagi generasi muda dan ilmu yang diajarkannya menjadi amal shaleh yang terus berlanjut.