”Dua golongan manusia; kalau keduanya baik, baiklah manusia, kalau keduanya rusak, rusaklah manusia: Ulama dan penguasa pemerintah (Umara)”. (Hadislppppp Riwayat Ibnu Abdil Barr dan Abu Nu’aim dari Abu Hurairah)
Ketika menjabat menteri agama, Munawir Sjadzali pernah mengungkapkan istilah “ulama plus dan ulama karbitan’’. Yang dia maksud dengan ’’ulama plus’’ adalah ulama yang mendalami ilmu-ilmu agama sekaligus mengetahui ilmu umum dan mengikuti perkembangan zaman. Selain bahasa Arab, ia juga menguasai bahasa-bahasa asing lainnya. Suatu hal yang memang perlu dimiliki oleh setiap ulama di zaman modern ini. (Salah satu ulama kita yang menguasai ilmu-ilmu agama dan sekaligus ilmu-ilmu umum, yang mendapat pujian dari berbagai tokoh termasuk Pak Munawir, adalah K.H. Ali Yafie. Sila baca buku K.H. Ali Yafie Membumikan Pesan Langit, yang diterbitkan Panji Masyarakat, red).
Maka dalam upaya mencari atau membentuk ulama plus itulah Munawir Sjadzali waktu itu merasakan perlunya pengiriman dosen-dosen IAIN (kini berubah jadi UIN) belajar ke universitas yang terkenal di Eropa dan Amerika. Misalnya di Sarbonne, Leiden, Oxford, Cambridge, Chicago, Harvard, Yale, dan sebagainya.
Berbeda dengan ulama plus yang diharapkan itu, Munawir mengecam penceramah-penceramah yang dengan bekal pengetahuan agama sangat minim. Tak paham bahasa Arab. Bahkan, menurut Pak Munawir, membaca ayat Qur’an saja dengan huruf latin, tapi berani menafsirkan ayat-ayat Qur’an untuk kepentingan politik dan mencari popularitas. Mereka itulah yang dikatakan sebagai “ulama karbitan’’.
Perlu diketahui bahwa Munawir Sjadzali yang memperoleh Master dalam Political Science di Universitas Georgetown, Amerika Serikat, sebelumnya pernah belajar di salah satu pesantren dan kemudian lama berdinas sebagai diplomat di beberapa negara Timur Tengah. Karenanya tak salah kalau kita menganggap Pak Munawir sendiri sesungguhnya adalah seorang ’’ulama plus’’, meski dia sendiri tidak mengatakannya demikian.
Berdasar itu, upaya Munawir mengirimkan dosen-dosen IAIN ke universitas Eropa dan Amerika itu sama sekali tidak perlu dicurigai mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Misalnya kecurigaan para dosen-dosen yang dikirim itu akan menjadi orientalis yang bagi umat Islam Indonesia diartikan sebagai sarjana Barat yang mempelajari Islam untuk menghancurkan Islam itu sendiri. Dan tidak pula perlu dikhawatirkan mengubah kiblat dari Makkah ke Eropa.
Kehadiran ulama plus memang diperlukan. Juga pengiriman dosen-dosen ke universitas Barat. Apalagi kita memaklumi betapa majunya tingkat studi Islam di universitas-universitas Barat, sementara banyak yang perlu disempurnakan pula pada lembaga pendidikan tinggi kita, khususnya UIN.
Meskipun demikian, sesungguhnya kita harus membedakan antara keinginan munculnya ’’ulama plus’’ itu dengan program Kementerian Agama meningkatkan mutu pengajaran Islam di perguruan tinggi khususnya UIN. Studi Islam di perguruan tinggi mana pun, di Timur Tengah atau Eropa dan Amerika belum pasti akan menghasilkan seorang ulama. Terlebih untuk memecahkan problem kelangkaan ulama yang memprihatinkan sekarang ini. Kalaupun mereka berhasil lulus dengan bagus, mereka lebih tepat disebut scholar alias sarjana. Bukan ulama.
Sebaliknya, meski menurut ukuran kita sekarang, banyak di antara para ulama tradisional itu yang kurang memahami masalah kemasyarakatan di luar soal hukum agama, mereka mendapat kepercayaan dari umat dan memang berfungsi sebagai layaknya seorang yang disebut ulama.
Sebagai kita ketahui, gelar ulama itu, bukanlah diperoleh dari satu universitas berbentuk selembar piagam, tapi ummat sendiri yang menamakannya demikian. Adapun peranan itu timbul berdasar kepercayaan, bukan saja karena ilmunya, tapi yang lebih penting lagi karena kepemimpinannya. Ulama hidup di tengah umatnya, bukan di atas menara gading.
Ulama yang senantiasa berada di tengah-tengah umat adalah contoh murni keteladanan seorang pemimpin, hal yang saat ini sulit ditemukan. Tidak terbatas pada dirinya sendiri, umat pun melihat keteladanan pada rumah tangga, dan semua anggota keluarga sang ulama. Bagaimana umat akan mengikuti ajarannya, kalau suasana rumah tangganya tidak mencerminkan sebuah rumah tangga Islam, bahkan sampai-sampai cara hidup dan gaya berpakaian anak istri mendapat sorotan masyarakat.
Di mata umat, seorang ulama ditentukan pula oleh ketegasan dan keberaniannya menentukan sikap, meski terkadang ta harus menempuh risiko yang membahayakan dirinya sendiri. Nabi dalam salah satu hadisnya yang kerap kali diulang-ulang menyatakan bahwa ulama adalah warasatul anbiya (pewaris Nabi) umana-ur-rasul (penerus amanat Rasul). Yang diwariskan para Nabi itu bukan kemegahan berupa materi, tapi adalah tugas menyebarkan risalah dan menegakkan kebenaran yang membuat para Nabi hidup menderita.
Dalam sejarah Islam, tak sedikit kita menemukan tokoh legendaris ulama yang menerima waris penderitaan itu, demi kebenaran dan tanggungjawabnya kepada Tuhan.
Membaca sisi kehidupan ulama seperti itu, menyadarkan kita betapa sulitnya mencetak seseorang menjadi ulama, bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ulama tidak mungkin bisa dibentuk. Orang bisa saja menjadi seorang cendekiawan dan seorang sekuler Islam, tapi semuanya itu belum menjamin adanya kepercayaan umat untuk disebut ulama sebagai ahli waris para Nabi di atas.
Tapi kepercayaan umat itu pula yang kerap kali membuat orang salah tafsir menganggap kedudukan ulama itu sebagai suatu kemegahan, yang mengakibatkan timbul apa yang dikatakan oleh Menteri Agama sebagai ulama karbitan. Menteri melukiskan ulama karbitan itu sebagai orang-orang yang sebenarnya masih dangkal pengetahuan agamanya, tidak pandai berbahasa Arab, baru bisa membaca terjamah Qur’an dalam bahasa Indonesia, tapi sudah berani bikin fatwa-fatwa yang menghebohkan.
Kita tentu paham oknum-oknum ’’ulama karbitan’’ yang dimaksud oleh Menteri Agama itu, dan tidak sulit untuk menunjukkan orang-orangnya. Tapi bila istilah karbitan itu mengingatkan kita pada akal penjual durian di Jakarta, yang mau cepat-cepat untung dengan memeram duriannya dengan karbit, niscaya menarik kita mencari tahu siapa tukang karbit ulama itu? Menurut hemat kita, ulama karbitan itu tidaklah terbatas pada mereka yang tidak pandai membaca huruf Arab saja, terkadang justru mereka sangat fasih berbahasa Arab, bahkan mengetahui rupa-rupa cabang pengetahuan ke-Islam-an.
Saking ahlinya, mereka bisa mengubah-ubah hukum; ’’Faqiha Qaulani’’, selalu ada dua pendapat sesuai dengan kehendak siapa yang mengkarbitkannya. Ulama seperti itulah yang lebih terkenal dengan sebutan ulama “su’’, warasatul asyqiya, atau dijuluki pula umana-ur-rudzul penerima waris dari orang jahat.
Jelas model ulama seperti itu, tak kurang bahayanya bagi umat, bagi agama, bangsa dan bagi pemerintah sendiri dibanding mereka yang sekedar mencari popularitas dengan bekal pengetahuan agama yang minim.
Kehilangan ulama dirasakan sebagai padamnya cahaya; yang diartikan sebagai dicabutnya rahmat Tuhan dari kehidupan kita. Oleh sebab itu, setiap gagasan dan langkah-langkah yang ditempuh dari mana pun datangnya untuk menyukseskan upaya melahirkan ulama-ulama yang sangat dihajatkan mampu menerangi umat dari bencana kegelapan yang tengah mengancam saat ini. Semoga Allah memberikan ridha-Nya. Amin!
Editor: A. Surtana Sudrajat
Sumber: Panji Masyarakat, No. 490, 1 Januari 1986