Ads
Cakrawala

Kolom Fachry Ali: Al-Ghazali

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Sosok apakah Al-Ghazali itu? Mungkin tidak perlu jawaban panjang lebar. Terutama, karena kita sedang mencari perspektif sang tokoh dalam zaman yang telah kian berubah dari masa hidupnya sendiri. Dan kita tahu persis, ia tidak dalam kapasitas menahan perubahan. Terutama, karena ia sendiri berubah. Dari seorang penuntut filsafat dan karena itu sangat rasional yang fanatik, menjadi tokoh mistikus yang (juga) fanatik.

Tidak jelas benar, andai dia masih hidup terus, apakah pemikiran mistik dan sufistiknya tetap tegar bertahan. Yang jelas, ia manusia jenial. Toh ia masih manusia biasa. Dan kita merasakan, zaman telah semakin jauh berubah. Adakah sesuatu yang final dalam dirinya?

Mungkin tidak. Ia tetap hadir di masa kini. Ingatkah kita akan larangan orang tua untuk tidak tidur terlentang? Sumbernya, mungkin dari Al-Ghazali. ”Bila engkau hendak tidak tidur,” menasihatnya dalam buku Menjelang Hidayah, “hadapkanlah tempat tidurmu ke arah kiblat dan tidurlah dengan memiringkan badan Kanan…”. Walau dia selalu hadir, mungkin dia bukan sebuah mitos. Tapi membaca pikiran dia, seakan-akan membaca sesuatu yang telah kita kenal. Bahkan mungkin, telah kita praktikkan di masa kecil. Dan kita merasakan dunia tidak berubah.

Tapi benarkah dunia tidak berubah? Dalam perspektif ini, jawaban yang kita butuhkan, memang tidak jelas. Yang jelas, Al-Ghazali lahir di zaman laki-laki. Suatu zaman yang khas Arab? Juga tidak jelas. Tapi di San Fransisco, seorang teolog wanita memperlihatkan kepada saya sebuah surat kabar. Ada berita konperensi wanita sedunia. Dan yang tidak mengirimkan utusannya, hanya Saudi Arabia. Yakinkah kita, ketidakhadiran itu karena Saudi satu-satunya negara Islam? Kita, lagi-lagi, tidak tahu persis.

Dan Al-Ghazali, dalam ajarannya tentang mencari hidayah, sama sekali tidak memperhitungkan wanita. “Upayakanlah,” ajarnya dalam berwudu, “agar alr mengenai seluruh wajah dan empat tempat tumbuh rambut, alis, kumis.…” Instruksi ini berulang dalam tata cara mandi besar. “Basahilah rambut, kepala dan janggutmu…” Dan kali ini, kecuali ada hal-hal yang luar biasa, kita tahu percis bahwa wanita tidak berkumis dan berjanggut.

Bagaimanakah sosok Al-Ghazali kita pahami? Dia, seperti juga kita yang mungkin mengharapkan seperti itu (?), adalah tokoh yang secara bulat menyerahkan diri kepada Allah, untuk kebahagiaan akhirat. Dalam hal ini, Al-Ghazali, kita yakini tidak main-main.

Tapi bangunan ajarannya bisa menempatkan kita kepada suatu dunia yang “lain”. Bahkan mungkin agak “luar biasa”. Dalam bangunan itu, dia bukan saja menegaskan bahwa hidup, secara penuh harus dilalui dengan ritual ibadah formal, melainkan juga — ini mungkin sebagai konsekuensinya — ia menyepelekan kehidupan sehari-hari yang rill. Hidup, dalam perspektif Al-Ghazali, adalah tahap-tahap ibadah formal yang melingkar dan berulang, sambil mereduksi kecintaan kepada diri dan duniawi. Kita mengucapkan serangkaian doa, dari sebelum tidur, bangun, istinjak,. salat, menuntut ilmu (akhirat) untuk kemudian sembahyang dan tidur lagi.

Hidup menjadi ketakutan dan kerinduan yang permanen Kepada Allah dan hari akhirat. Maka pertanyaannya, bukanlah apakah kita boleh tertawa, walau sekali dalam seumur hidup. Melainkan adalah, siapakah  sebenarnya yang menjadi kelompok sasaran ajaran sufistik Al-Ghazali?

Mungkin orang-orang pensiun dan priayi. Dan karena kesempatan memperoleh pensiun serta priayi sangat terbatas, kita jadi ragu apakah masih tersisa hidayah itu bagi massa di luar kedua kelompok itu.

Bagi orang-orang yang tidak paham, seperti saya, mungkin tidak terlalu layak menyatakan: diskriminasi golongan tidak relevan jika dikaitkan dengan hidayah.

Penulis: Fachry Ali, peneliti dan pengamat sosial politik dan budaya. Sumber: Panji Masyarakat, No. 502, 1 Mei 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda