Ads
Cakrawala

Kolom Ahmad Tohari: Menghadapi Sisa-sisa PKI dan Anak Turunnya

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Suatu hari menjelang akhir September 1968, Tersiar berita bahwa akan diselenggarakan salat istisqa, mohon kepada Allah agar hujan segera turun. Waktu itu memang musim kemarau sudah menjelang hampir enam bulan. Kaum ulama se kecamatan dihubungi untuk menentukan hari dan tempatnya. Anehnya tidak semua tokoh Islam menaruh minat untuk mengikuti doa masal itu. Ya, karena dirasakan ada sesuatu yang kurang wajar. Yakni, banyaknya oknum bersenjata yang ingin mengatur pelaksanaan salat bersama di tengah sawah itu. Bahkan akhirnya diketahui oknum-oknum bersenjata itulah yang menentukan waktu dan tempat salat istisqa.

Kecurigaan beberapa tokoh ulama bertambah kuat Karena ada seorang perempuan komunis yang bocor mulut. Dia berkata bahwa penduduk di wilayah kecamatan kami akan berkurang sangat banyak. Bahkan dia berani menyebut siapa saja yang akan tersisa, yakni orang-orang partainya. Puji syukur ke hadirat Ilahi; salat minta hujan itu batal terlaksana. Andaikan peristiwa itu jadi berlangsung maka rencana orang-orang komunis menjadi Kenyataan. Dalam dokumen yang akhirnya terbongkar diketahut bahwa kaum komunis akan menjadikan peristiwa salat istisqa tersebut sebagai awal Pembantaian masal kaum muslim di wilayah kecamatan kami. Peristiwa Madiun kedua akan terjadi, dan mungkin lebih mengerikan. D.N. Aidit akan menjadi Pol Pot yang telah menghias negeri Kamboja dengan ratusan ribu tengkorak manusia.

Cara-cara orang komunis memang terkenal keterlaluan. Mereka sungguh menghalalkan segala cara dan benar-benar tak pandang bulu. Kita ingat nasib Jenderal S. Parman yang menjadi korban kebiadaban orang-orang komunis dalam peristiwa Lubang Buaya. Jendral Parman adalah saudara kandung Ir. Sukirman, seorang gembong PKI. Hal yang serupa nyaris terjadi di kecamatan kami. Salah seorang yang terdaftar akan dibantai adalah si Fulan. Tokoh Fulan ini tidak lain adalah kakak kandung gembong komunis di kecamatan kami. Memang saudara kandung, tetapi soal pandangan hidup Fulan sejak semula menjadi tokoh anti komunis di daerahnya.

Soal Kewaspadaan

Rasanya tak perlu komentar apa pun tentang perlunya kewaspadaan dalam maksimal buat mencegah terulangnya kekejaman orang-orang komunis di Indonesia. Pelajaran-pelajaran yang terlalu mahal telah kita alami. Maka komunisme akan terus dilacak sampai akar serabutnya untuk dimusnahkan. Pemerintah menempuh semua cara untuk melaksanakan tekad ini. Dan satu di entaranya ialah menyaring para calon pegawai negeri termasuk perangkat pemerintahan desa serta pengurus RT dan RW.

Kepada para calon pegawai negeri dilakukan pelacakan, apakah orang-tua, paman, mertua, saudara atau lainnya adalah orang yang punya hubungan langsung atau tidak langsung dengan orang-orang komunis. Apabila hasil pelacakan ternyata positif maka si calon pegawai kecil kemungkinannya bisa lolos, tak peduli apakah dia mengerti atau tidak akan komunisme. Bahkan anak tokoh Fulan di atas jadi sial nasibnya  si anak sendiri misalnya tak tahu apa-apa tentang ajaran Marx itu. Bisa juga seorang menantu jadi getir nasibnya karena mertua yang belum pernah dilihatnya lantaran sudah marhum, adalah OT (Orang Terlibat). Selanjutnya ekses ini akan berkepanjangan. Orang jadi berpikir dua kali bila hendak kawin dengan calon pasangan yang punya hubungan darah dengan orang terlibat. Dan mau dibilang apa jika beban psikologis yang berat ini sebenarnya sudah amat: banyak yang memikulnya.

Tegas tapi Lugas

Setiap bentuk tindakan tegas untuk memberantas komunisme yang laten sudah menjadi kesepakatan nasional. Namun hendaknya sikap jernih dan lugas mengikuti tindakan itu sehingga tak perlu ada penderitaan bagi banyak orang muda yang bisa dibuktikan kebersihannya. Kalau mau menghitung jumlah mereka pasti sangat banyak. Dan mereka hanya akan menjadi beban nasional bila mereka harus menjadi penganggur abadi.


Maka harus disertakan kebijakan obyektif dalam melaksanakan penyaringan terhadap para calon pegawai negeri, terutama dalam penerapan juklak peraturan penyaringan yang dilaksanakan oleh aparat eselon bawah. Penerapan peraturan secara kaku sering menimbulkan ekses yang tidak perlu. Dan perlu diingat bahwa peraturan penyaringan yang dilakukan letterlijk bisa mengundang bahaya. Yakni, orang bisa secara resmi dinyatakan bersih dari komunisme karena semua sanak familinya bersih. Lalu bagaimana bila orang tersebut terpengaruh komunisme post-1965 karena belajar di luar negeri misalnya? Atau, di dalam negeri pun kita masih mendengar sinyalemen bahwa sisa-sisa komunis tetap merupakan bahaya laten dan mereka masih saja bisa membuat brosur-brosur gelap dalam rangka menyebarkan pengaruhnya.

Akhirnya kita harus kembali kepada tujuan pokok, melenyapkan komunisme secara tuntas. Untuk mencapai tujuan ini ketegasan sangat diperlukan. Demikian juga sikap jernih, obyektif dan adil. Tegas tok sungguh tidak cukup.

Penulis: Ahmad Tohari, pengarang, antara menulis trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, tinggal di Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah.
Sumber: Panji Masyarakat, No. 502, 1 Mei 1986. Semula tulisan ini berjudul “Ketegasan yang Jernih dan Obyektif”.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda