“MASSA PINGGIRAN’’, mungkin sebuah sebutan yang tidak terlalu enak didengar. Sebutan itu menggambarkan sebuah masyarakat atau massa yang biasanya besar, tetapi tidak artikulatif. Mereka adalah sekelompok orang, yang karena beberapa sebab, tidak terlalu artikulatif. Mereka bisa mengambang dan karena itu, tidak bisa mengambil ‘peran yang berarti, baik untuk memperbaiki dirinya sendiri, maupun untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang biasanya memang jauh di luar jangkauan kemampuan mereka sendiri.
Tapi toh kita harus mengakui, massa pinggiran itulah yang menjadi fenomena umum masyarakat: Indonesia masa kolonial. Sebuah massa yang dalam sistem feodalisme prakolonial memang sudah tidak artikulatif. Mereka adalah sekelompok orang, yang karena itu, tidak bisa mengambil peran berarti, baik untuk memperbaiki dirinya sendiri, maupun untuk pengaruhi proses pengambilan keputusan yang — biasanya — memang jauh di luar jangkauan kemampuan mereka sendiri. Tapi toh kita harus mengakui, massa pinggiran itulah yang menjadi fenomena umum masyarakat Indonesia masa kolonial. Sebuah massa — yang dalam sistem feodalisme pra kolonial memang sudah tidak artikulatif — oleh kondisi struktural, dipaksa berubah kepada sebuah sistem yang baru. Sistem sosial-ekonomi dan politik yang sebelumnya tidak dikenal sama sekali. Maka keguncangan pun timbul di sana-sini. Mereka bisa berontak, atau melawan. Tapi biasanya, hanya terbatas pada perlawanan yang sebisa-bisanya. Seperti ikan hidup yang menggeliat di atas sebuah jaring besar, begitulah perumpamaannya. Mereka melompat dan bergerak. Mungkin tinggi, dan kuat gerakan itu. Toh mereka tidak bisa memutuskan jaring yang mengungkung mereka.
Maka, hetika Sarekat Islam (SI) muncul di awal dekade 1920-an, mereka seakan-akan melihat jaring yang melingkungi mereka pendek dan tidak kuat. Mereka secara tba-tiba melihat ada kekuatan dalam diri mereka. Dan mereka bergerak secara frontal. Bahkan mungkin membabi-buta. Walau tentu, untuk sebagian, gerakan itu lebih sistematis dan terencana.
Persoalannya ternyata bukan terletak pada bentuk gerakan itu sendiri. Melainkan pada bagaimana ’’massa pinggiran’’ ini, menemukan dirinya, kekuatannya dan elannya pada sebuah organisasi massa. Mereka melihat, organisasi massa itu berusaha menjawab persoalan-persoalan kehidupan yang lebih konkret. Dan massa merasa terikat di dalamnya. Ada kaitan fungsional yang massif sifatnya antara massa dan lembaga organisasi.
Ormas-ormas Islam di Indonesia dewasa ini mungkin cukup arif dengan kenyataan sejarah semacam ini. Kenyataan akan keberhasilan SI. Tapi juga sebaliknya: kemunduran dan kegagalannya.

Penulis: Fachry Ali, peneliti dan pengamat sosial politik dan keagamaan.
Sumber: Panji Masyarakat, No. 497, 11 Maret 1986