Ads
Aktualita

Kekuasaan Butuh Kritik Kaum Intelektual

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Ucapan filosof Amerika Noam Chomsky yang mengatakan peran seorang intelektual  adalah to speak the  truth and to  exspose the lies. Yaitu  menyuarakan kebenaran dan mengungkapkan kebohongan penguasa, merupakan kenyataan yang relatif tepat  sesuai fakta sejarah.

Dalam konteks Indonesia di tahun politik akhir-akhir ini, muncul beberapa intelektual yang mengecam kekuasaan karena ikut campur tangan dalam masalah demokrasi (pilpres) harus dilihat sebagai hal yang lumrah dan wajar.Justeru terasa aneh kalau intelektual hanya berdiam diri dan tidak memberikan pandangan kritisnya terhadap jalannya kekuasaan, yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan subjektif atau kepentingan diri sendiri, kelompok dan golongannya.

Membungkam kelompok intelektual dengan melaporkannya ke polisi karena pikiran kritisnya, sesungguhnya bisa merugikan,  karena menutup kemungkinan masyarakat  mendapatkan pencerahan dan pendidikan politik yang berkualitas dan sangat baik.Kaum intelektual merupakan kelompok kecil masyarakat atau disebut kaum elite yang  memiliki pendidikan lebih dari umumnya masyarakat, dan karena itu ia memiliki kedudukan yang istimewa.

Keistimewaan itu antara lain kemampuan melakukan analisis sosial, politik, ekonomi dan lainnya  yang didukung oleh kemampuan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.Dan setiap manusia memiliki hasrat untuk berkuasa ( will to power). Kemudian kekuasaan itu cenderung untuk dipertahankan. Karena dalam kekuasaan itu  manusia memungkinkan mendapatkan berbagai fasilitas, baik yang sifatnya material maupun non-material seperti kehormatan, kemuliaan, prestise sosial, kewibawaan dan lainnya.

Di samping itu jika kekuasaan terlepas dari etika, ia cenderung menyimpang,  seperti kata Lord Acton bahwa power tends to corrupt, kekuasaan cenderung untuk korupsi.Korupsi yang bersifat materi cenderung merugikan rakyat. Anggaran negara yang diselewengkan hanya menyejahterakan sekelompok kecil orang, sedangkan rakyat banyak hidup menderita. Akhirnya, para oknum  pemegang kekuasaan dan kelompoknya yang hanya menikmati kekayaan bangsa dan negara dari hasil pengelolaan negara.

Sedangkan korupsi yang bersifat non-materi bisa juga terjadi, seperti kalangan tertentu yang hanya menikmati kekuasaan, baik secara personal-keluarga seperti munculnya dinasti politik, dimana sebuah keluarga memegang kekuasaan mulai dari bapak, anak, menantu dan lainnya. Atau kekuasaan itu dimiliki oleh suatu kelompok, partai atau golongan. Atau munculnya suatu kelompok oligarki, yang mana kekuasaan itu hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.Kekuasaan yang menyimpang bukan saja dalam bentuk ingin berkuasa secara lestari,  tanpa ada pergantian rezim, namun bisa juga dalam bentuk pemerintahan yang tidak adil, seperti hukum yang tebang pilih, tajam ke bawah, tumpul ke atas, atau tajam ke lawan, dan tumpul ke kawan.

Kekuasaan yang berjalan dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, inilah yang perlu adanya kontrol dan membutuhkan evaluasi dan pandangan kritis dari kelompok intelektual terhadap kekuasaan.Pada dasarnya kekuasaan itu, atau mereka yang menjadi penguasa, memiliki agenda-agenda tertentu yang cenderung manipulatif, dan hanya mementingkan kepentingan sendiri, ketimbang mementingkan  rakyat banyak atau kepentingan bersama.Dari sifat kekuasaan yang cenderung berjalan tanpa ada pengawasan dan kontrol inilah dibutuhkan peran kritis kaum intelektual.

Dengan kritik intelektual diharapkan proses kekuasaan atau pemerintahan bisa berjalan menurut relnya yang benar, yaitu menyejahterakan rakyat dan memajukan bangsa.Kaum intelektual bekerja– seperti kata Julien Benda– tidak berharap mencari materi, harta, kebendaan maupun tujuan politik, ekonomi dan kekuasaan.

Juga seperti kata Edward Shills, intelektual semestinya bergairah untuk mencari kebenaran.Kita di Indonesia saat ini kalangan intelektualnya terlihat sebagian direkrut masuk dalam kekuasaan dan birokrasi, sebagian masuk ke bidang politik, namun masih ada sebagian yang punya idealisme menjadi intelektual kritis untuk mengontrol kekuasaan.Jika yang kritis ini kemudian  kalau bersuara juga  dijerat dengan undang-undang ITE (Informasi Transaksi Elektronik), tidak diberi kebebasan mengungkapkan pikirannya,   maka  suatu saat kekuasaan itu akan menciptakan manusia yes man atau daulat tuanku.

Bukankah ini situasi yang sangat menyedihkan? 

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda