Di bawah terik matahari yang menyengat, berjuta manusia dari berbagai bangsa yang berbeda bahasa, warna kulit, budaya dan bahkan pola pikir itu, berkumpul seakan sedang mengadakan apel besar. Apa maknanya? Bagaimana pula dengan ritual kurban?
Setiap datang hari raya, baik hari raya Fitri maupun hari raya Adha, umat Islam selalu menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur. Kegembiraan dan rasa syukur ini tidaklah ditandai dengan tarian dan musik, nyanyi atau pesta pora, melainkan dengan mengagungkan serta memuliakan asma Allah Yang Maha besar dengan kumandangkan takbir, tahlil dan tahmid. Dengan mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid, kita menyadari sepenuhnya bahwa manusia adalah makhluk yang kecil di hadapan kebesaran Allah Swt., sang Pencipta alam semesta. Juga kita menyadari bahwa kita hanyalah makhluk yang daif di hadapan Allah ‘azza wa jalla, Dzat Yang Maha Mulia, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
Sebagai makhluk yang lemah di hadapan Allah SWT, kita hanya dapat berharap dan memohon kasih sayang-Nya, semoga perjalanan hidup kita di dunia ini hingga akhirat kelak mendapat keselamatan dan kebahagiaan, bahkan kita pun berharap agar kiranya Allah menjauhkan kita dari azab siksa-Nya yang amat pedih. Bukankah setiap hari kita senantiasa berdoa, “Rabbana atina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qina adzaban naar?”
Pada 9 Dzulhijjah, berjuta-juta kaum muslimin menjalankan salah satu rangkaian ibadah haji yaitu berwukuf di padang Arafah. Mereka datang dari berbagai negara, bangsa, yang berlainan bahasa dan warna kulitnya. Tetapi mereka dipersatukan dalam pakaian yang sama dan tujuan yang sama pula, yakni untuk memenuhi panggilan Allah sebagaimana tercantum dalam firman-Nya dalam surah Al-Hajj ayat 27: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus dari segenap penjuru yang jauh.”
Di bawah terik matahari yang menyengat, berjuta-juta manusia dari berbagai bangsa yang berbeda bahasa, warna kulit, budaya dan bahkan pola pikir itu, berkumpul seakan sedang mengadakan apel besar. Tak ada perbedaan antara kepala negara dan rakyat, tak ada perbedaan antara kaya dan miskin dan tak pula perbedaan antara satu kaum dan kaum lainya. Mereka, yang semuanya mengenakan kain ihram itu adalah sama-sama menjadi tamu Allah, yang sedang ber-taqarrub dan sedang mengakui kelemahan dirinya di hadapan Allah. Keadaan semacam inilah yang menggambarkan hari berkumpulnya segenap manusia di padang mahsyar kelak guna mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya.
Hari raya Idul Adha juga biasa disebut Idul Qurban, karena pada hari raya ini dan tiga hari sesudahnya umat Islam disunatkan menyembelih hewan kurban yang dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin. Jika dengan ibadah haji kaum muslimin dipersatukan untuk mengharap rida atau perkenan dari Allah Swt., maka dengan berkurban, kaum muslimin diajarkan agar memiliki solidaritas terhadap sesamanya. Terutama terhadap mereka yang papa dan miskin. Jika kita mampu menangkap makna simbolik dari ritual kurban ini, maka persoalan atau masalah seberat apa pun yang dihadapi umat atau bangsa ini pasti bisa diatasi. Umat atau bangsa yang kokoh tidak mungkin akan terbangun jika tidak ada rasa sepenanggungan di kalangan warganya.