Ads
Cakrawala

Tiga Peristiwa Bersejarah Dalam Pembentukan Dasar Negara RI

Avatar photo
Ditulis oleh Fuad Nasar

Sejarah mencatat pembahasan rumusan dasar negara dalam rapat besar Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 tidak sekali jadi. Banyak persoalan filosofis yang mengemuka dan menjadi perdebatan ketika itu. Suatu hal yang mengagumkan ialah kearifan para founding fathers menghasilkan kompromi mengenai rumusan dasar negara yang menjadi perekat persatuan bangsa Indonesia. Maka tidak berlebihan dikatakan bahwa mental kenegarawanan dan mental konstitusional telah terbentuk di kalangan para founding fathers sebelum mereka membentuk negara dan menyusun konstitusi.

Pidato Soekarno 1 Juni 1945

Sejarah pembentukan dasar negara Pancasila berproses melalui tiga fase yaitu: dimulai dari 1 Juni 1945, Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, dan Pancasila mencapai bentuk final pada 18 Agustus 1945.

Dalam semua rangkaian proses sejarah pembentukan dasar negara, Soekarno memiliki peran sentral sebagai Ketua Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang melahirkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan Mohammad Hatta sebagai wakil ketua yang mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 (A.M. Fatwa, Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa, Jakarta:  The Fatwa Center, 2010).

Pidato tanpa teks Soekarno di depan rapat besar BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri Jalan Pejambon, Jakarta) adalah untuk memenuhi permintaan Ketua BPUPKI Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat: apa philosofische grondslag daripada Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bentuk ini?”


Dalam pidato bersejarah yang kemudian dikenal sebagai pidato “Lahirnya Pancasila”, Bung Karno mengatakan: “Kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, – macam-macam – tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosopische grondslag, mencari satu weltanschaung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.”

Menurutnya, “Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi ‘semua buat semua’.”

Ketika menguraikan prinsip ke-4 yakni prinsip kesejahteraan sosial, Bung Karno menegaskan, “Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara?” ucapnya dengan retorika yang memukau.

Bung Karno mengusulkan lima prinsip dasar negara Indonesia, ialah: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan.

Bapak Bangsa itu menamakan lima prinsip, azas atau dasar. Simbolik angka, Rukun Islam lima jumlahnya, jari kita lima setangan, kita mempunyai panca indera. Bukan Panca Dharma, tapi menurutnya, atas saran seorang ahli bahasa dianggap lebih tepat istilah “Pancasila”. Saat itu, Bung Karno menawarkan, barangkali ada yang tidak suka akan bilangan lima itu, sehingga boleh diperas tinggal tiga saja, Tri Sila, ialah socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Jikalau yang tiga menjadi satu, menjadi perkataan “gotong royong”. Pancasila menjadi Tri Sila, Tri Sila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah mana yang tuan-tuan pilih, Tri Sila, Eka Sila ataukah Pancasila.

Sebelum giliran Bung Karno menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang rancangan dasar negara, rapat besar BPUPKI telah diisi dengan beberapa pidato, antara lain dari Mr. Muhammad Yamin tanggal 29 Mei 1945 dan Mr. Soepomo pada 31 Mei 1945. Yamin mengemukakan lima asas yang dimuat dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, ialah peri kebangsaan, peri ketuhanan, kesejahteraan rakyat, peri kemanusiaan, dan peri kerakyatan. Selain itu pidato tokoh senior umat Islam yang juga Ketua PB Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo pada 31 Mei 1945. Dalam pidato Bung Karno, sepuluh kali menyebut nama Ki Bagoes Hadikoesoemo yang sangat dihormatinya.

Menurut Bung Hatta dalam buku Pengertian Pancasila (Jakarta: Idayu Press, 1977) uraian Soekarno tentang lima sila yang bersifat kompromistis, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama.

Sebelum sidang pertama itu berakhir, dibentuk suatu panitia kecil untuk: 1) merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945; 2) menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka.

Piagam Jakarta 22 Juni 1945

Panitia Kecil atau Panitia Sembilan BPUPKI diketuai Bung Karno menyempurnakan rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Prinsip kelima, “Ketuhanan” yang dalam pidato Bung Karno diletakkan paling akhir, diubah menjadi urutan pertama.

Panitia Sembilan terdiri dari 9 orang anggota Badan Penyelidik, yaitu Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Rapat Panitia Sembilan BPUPKI menyepakati rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia atau disebut juga Piagam Jakarta, yang di dalamnya termuat Dasar Negara.

Meski Islam adalah agama mayoritas, namun Islam tidak dijadikan dasar negara dan agama negara, tetapi aspirasi golongan Islam telah diakomodir dalam perubahan tata urutan Pancasila dari susunan yang dikemukakan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Dalam pembahasan Panitia Sembilan, prinsip “Ketuhanan” yang diusulkan Bung Karno dipindahkan dari sila terakhir menjadi sila pertama, ditambah dengan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Mengutip penjelasan Bung Hatta dalam buku Pengertian Pancasila, “Akibat daripada perubahan urutan yang lima fasal itu (lima sila, pen), sekalipun ideologi negara tidak berubah dengan perubahan kata-kata, politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya. Negara dengan itu memperkokoh fundamennya.”


Dalam buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), Yudi Latif menulis, oleh Soekarno rancangan Pembukaan UUD ini diberi nama “Mukaddimah”, oleh M. Yamin dinamakan “Piagam Jakarta”, dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut “Gentlemen’s Agreement”. Rancangan Pembukaan UUD 1945 mencerminkan usaha kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan.

Mengenai Piagam Jakarta, Pahlawan Nasional Mahaputera Prof. Dr. Mr. H. Muhammad Yamin dalam Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (Djakarta: Djambatan, 1952) menegaskan, “Piagam Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fascisme, serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San Franscisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi RI. Piagam Jakarta itulah yang menjadi Mukaddimah (preambule) Konstitusi RI serta Undang-Undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi-politik yang ditentukan di dalam piagam persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula kalimat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus 1945 itu. Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi.”

Menarik dicermati ulasan pemerhati sejarah Lukman Hakiem di media republika.co.id bahwa jangan alergi terhadap rancangan awal Pembukaan UUD 1945, yang oleh Mr. Moh. Yamin disebut sebagai Piagam Jakarta 22 Juni 1945, apalagi memberi stigma dengan Piagam Jakarta akan menuju ke Republik Islam Indonesia. Harap diingat kembali, rancangan hasil Panitia Sembilan inilah yang disahkan oleh Rapat Besar BPUPK dengan “suara bulat.” Dan Ketua Panitia Sembilan itu tidak lain dan tidak bukan, Ir. Sukarno, Sang Proklamator. Dalam catatan R.M. A.B. Kusuma, pembentukan Panitia Sembilan sepenuhnya merupakan prakarsa Bung Karno di luar prosedur BPUPK.

Menurut Lukman Hakiem yang bersama Dr. Anwar Harjono, SH pernah menulis buku Di Sekitar Lahirnya Republik (1997), Bung Karno mati-matian mempertahankan Piagam Jakarta dari serangan para anggota BPUPK yang menolaknya. Sangat terkenal ucapan Bung Karno ketika meminta para anggota BPUPK menerima hasil kerja Panitia Sembilan. “Saya minta dengan rasa menangis, dengan rasa menangis, terimalah rumusan ini,” ujar Bung Karno yang menyebut Piagam Jakarta sebagai kompromi terbaik antara kalangan Kebangsaan dengan kalangan Islam.

Pada peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni 2017 Presiden Joko Widodo mengungkapkan sekilas sejarah Pancasila yang merupakan hasil dari sebuah rangkaian proses yaitu rumusan Pancasila tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan oleh lr.  Soekarno, Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, dan rumusan final Pancasila tanggal 18 Agustus 1945.

Pengesahan UUD 1945
Pada 18 Agustus 1945 rapat PPKI mengesahkan Rancangan Pembukaan UUD 1945 tanggal 22 Juni 1945 dengan perubahan tujuh kata pada sila pertama dasar negara yaitu: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam notula Sidang PPKI tertera acara rapat PPKI Sabtu 18 Agustus 1945 berlangsung dari pukul 10.00 WIB (karena tertunda, pen) dan berakhir siang menjelang ashar. Rapat bersejarah itu dipimpin oleh Ketua Sidang Ir. Soekarno.

Pencoretan “tujuh kata” dalam Rancangan Pembukaan UUD 1945 setelah mendapat persetujuan tokoh Islam anggota tambahan PPKI yang dilobi oleh Bung Hatta tanggal 18 Agustus 1945 pagi hari yakni Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan. Adapun K.H.A. Wahid Hasjim – menurut keterangan Prawoto Mangkusasmito setelah dikonfirmasi kepada Ibu Wahid Hasjim semasa hidupnya – tidak hadir karena sedang perjalanan menuju Jawa Timur. Tujuh kata di belakang kata “ Ketuhanan” diganti dengan kata-kata “Yang Maha Esa”. Menurut sumber informasi sejarah Djarnawi Hadikusumo, kata-kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama Pancasila adalah atas usulan Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Perubahan kata-kata sila pertama Pancasila adalah sesuai dengan saran Bung Hatta demi kelangsungan persatuan bangsa. Saat itu muncul ancaman terhadap disintegrasi bangsa dari sebagian penduduk Indonesia di wilayah Indonesia Timur yang dikuasai Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Bung Hatta dalam buku Memoir (1979) menyebut pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebagai “toleransi pemimpin-pemimpin Islam”.

Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna mengemukakan analisa yang penting disimak, meskipun pencoretan “tujuh kata” itu menimbulkan kekecewaan bagi sebagian golongan Islam karena dianggap melanggar kompromi sebelumnya, secara de facto dan de jure pencoretan tujuh kata itu mencerminkan realitas politik yang ada dan memiliki keabsahan. Kekuatan representasi politik Islam di PPKI nyatanya memang tak seberapa, sedangkan yang berwenang menetapkan UUD tak lain adalah PPKI, bukan BPUPK. Lagi pula, pencoretan tujuh kata itu tidak mengubah semangat dasar Piagam Jakarta, seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta.

Dari segi proses Pancasila menjadi dasar negara, Menteri Agama periode 1978 – 1983 Alamsjah Ratu Perwiranegara mengatakan, “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.” Menurut Alamsjah, dalam autobiografinya Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu (1995), ia mengungkapkan fakta sejarah karena saat itu masih ada kelompok-kelompok umat Islam yang kurang mengerti tentang Pancasila dan berpandangan bahwa Pancasila akan mengganti peran agama.

Sewaktu disahkannya Pembukaan Undang-Undang Dasar, sejak saat itu Pancasila menjadi dasar negara Republik Indonesia. Beragam pemikiran ideologis, aspirasi kenegaraan dan aliran politik di awal kemerdekaan dapat diwadahi dalam Pancasila. Pancasila selain merupakan dasar negara, juga pedoman dalam pelaksanaan politik dalam negeri dan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Pengesahan Undang-Undang Dasar tanggal 18 Agustus 1945 merupakan tonggak bersejarah setelah Proklamasi. Tanggal ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Konstitusi dengan Keputusan Presiden No 18 Tahun 2008.

Dalam perjalanan bangsa mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 tidak mudah melahirkan negarawan sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Muhammad Yamin, K.H.A.Wahid Hasjim, Mohamad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, Soepomo, dan role model negarawan terbaik Indonesia yang pernah kita miliki di masa lampau. Semangat zaman sudah berubah, tantangan yang dihadapi juga berbeda, tetapi landasan dan tujuan bernegara tidak berubah.

Membangun peradaban bangsa dalam iklim pertumbuhan global membutuhkan sumber daya manusia unggul, akhlak mulia dan kegotong-royongan sebagai modal sosial. Generasi muda Indonesia perlu belajar dari pemikiran, perjuangan dan nilai-nilai keteladanan para pendiri bangsa. Bangsa ini membutuhkan negarawan yang Pancasilais dalam perkataan dan perbuatan.

Tentang Penulis

Avatar photo

Fuad Nasar

Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Kementerian Agama RI, pernah menjabat Sesditjen Bimas Islam.

Tinggalkan Komentar Anda