Tuhan telah mengajar Adam tentang asma-u atau nama-nama. Mungkin sekali kosakata Adam sangat terbatas sehingga bisa dihitung dengan jari tangan dan kaki. Jagat raya yang akbar dan penuh misteri ini menelan dirinya. la terlempar, bagaikan sebuah jarum terjatuh di hutan. kecil tiada berarti. mungkin saja dia tidak tahu, bahkan bingung dan takut, bagaimana harus menerangkan dengan kata-kata etika petir berkilat dan guruh menggeletar mengguncang bumi. Ketika air tumpah dari atas. ketika badai mengamuk. Ketika matahari datang dan pergi. Bahkan Habil, anaknya, bingung mengapa Habil tiba-tiba diam tak bereaksi setelah dia tikam. Habil mati. Tetapi Habil tidak tahu apa itu kematian. Dan pasti dia tidak mengucapkan kata mati. Dia bingung dan gusar. Baru setelah matanya melihat dan mengamati dua ekor burung gagak saling berkelahi, kemudian salah satu mati dan yang lain menanamnya dalam tanah, Habil tergerak meniru berbuat yang sama
Komunikasi bahasa pada generasi pertama keturunan Adam tentu bersahaja. Barangkali tak jauh berbeda dari komunikasi dunia binatang. Bahasa dan ucapan-ucapan mereka relatif monoton. Demikian juga halnya masyarakat manusia belum terkapling-kapling seperti sekarang ini. Sebagai penguasa tunggal jagat raya, Adam amatlah kaya. Namun dari segi pengetahuan dan penguasaan terhadap daya-guna alam ia miskin. kalau saja Adam hadir di abad 20 ini, pasti dia bingung melihat perkembangan anak-cucunya. Dia tidak paham akan ucapan dan nama-nama yang keluar dari mulut anak-cucunya. Begitu juga mengenai simbol-simbol komunikasi yang digunakan.
Pada mulanya nama-nama dan kata-kata adalah sederhana dan suci. Karena ia datang dari Yang Maha Suci. Semula kata-kata merefleksikan kebijakan, karena datang dari Yang Maha Bijak. Semula kata-kata meluncur karena desakan kasih, sebab ia memang datang dari Yang Maha Kasih. Kemudian kata-kata, nama-nama, berkembang biak, beranak-pinak, seiring dengan perkembangan generasi anak-cucu Adam. Struktur, intonasi, aksentuasi dan fungsi kata-kata juga berkembang, sehingga sekarang ini manusia tidak sanggup lagi menghitung, berapa juta jumlah kosakata yang dimiliki dan digunakan manusia di muka bumi ini.
Berkata-kata sesungguhnya juga berpikir dan berkehendak. Namun tidak selamanya perkataan, pikiran dan kehendak itu sehat dan benar. Berkata-kata itu kebutuhan dan hak asasi setiap insan. Atas nama hak asasi dan kemerdekaan orang pun berkata menurut pikiran dan kehendaknya. Dan pada gilirannya ketika setiap orang mengaktualisasikan hak dari kemerdekaannya masing-masing maka kemerdekaan seseorang mengganggu dan diganggu oleh kemerdekaan orang lain. Tirani lahir karena adanya kebebasan dan kemerdekaan. Namun tirani juga harus berakhir sehingga terwujud kemerdekaan dan kebebasan. Karena yang terakhir inilah yang fitri dan yang primer.
Pada mulanya kata-kata penuh sahaja dan kejujuran. Tetapi ketika ia hadir sebagai juru bicara ataupun ujung tombak kehendak untuk bebas dan kehendak untuk menjadi tiran, maka kata-kata bukan lagi menerangkan dan mengajarkan kebijakan. Manusia dibuatnya bingung oleh sistim simbol yang ia ciptakan dan kembangkan. Sukar dibedakan, manakah sebuah pernyataan yang tulus ucapannya dan tulus motifnya, dan manakah pernyataan yang manis bunyinya tetapi pahit hatinya. Orang memuji dengan kata-kata. Membenci dengan kata-kata. Menipu, menggertak dan memaksa dengan kata-kata.
Kata-kata itu sendiri telah menjadi tiran ketika diucapkan oleh seorang tiran. Kata-kata telah menjadi diktator ketika dilontarkan oleh seorang diktator. Maka, komunikasi antar manusia bukan lagi komunikasi yang human dan kasih, melainkan komunikasi penaklukkan, permusuhan, penipuan, dan semacamnya. Kata-kata cenderung berkembang otonom, impersonal dan kemudian menciptakan penjara bagi manusia. Manusia dikurung Oleh kata-kata yang diciptakan. Oleh gagasan, oleh konsep, oleh ideologi dan oleh keinginan yang dibangunnya sendiri. Manusia menciptakan penjara bagi dirinya. Ia berusaha lari menyelamatkan diri dari satu pintu penjara, namun ternyata terjebak dalam penjara yang lain. Manusia mencuri satu berhala ideologi, tetapi tanpa sadar ia juga merupakan juru bicara dari berhala ideologi lainnya.
Pada mulanya manusia membangun irasionalitas dalam peradabannya, namun mereka berujung pada tembok irasionalitas. Maka, lembaga pengadilan kadang juga berarti lembaga ketidakadilan. Lembaga demokrasi kadang-kadang berarti lembaga kediktatoran. Team anti korupsi bisa juga bergeser pengertiannya menjadi tim pendukung korupsi. Demikianlah seterusnya, ketika kata bergeser maknanya, dan ketika makna-makna dan nama-nama yang agung dan luhur terputus sumbernya dari Yang Maha agung dan luhur terputus sumbernya dari Yang Maha Agung dan Maha Luhur.
Dunia menjadi absurd, ketika ikatannya lepas dari Yang Maha Suci. Maka beruntunglah mereka yang masih mau bersujud lima kali sehari semalam. Membebaskan dirinya dari jeratan-jeratan absurditas. Bahwa semua ini fana. Semua ini nisbi dan relatif. Semua tidak absolut. Hanya ketika seseorang berada di puncak gunung ia akan melihat dataran bumi. ketika ia berada bersama Yang Maha Benar, ia akan tahu yang serba salah memasuki orbit Yang Maha Kekal, ia akan tahu yang serba fana.
Penulis: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Artikel ditulis saat Mantan Rektor UIN Jakarta ini menjadi koresponden Panji Masyarakat dan menempuh pendidikan S3 di Turki. Sumber: Panji Masyarakat, No. 502, 1 Mei 1986.