Pada 1444 H/2023 M kaum Muslim di Tanah Air bakal menyelenggarakan salat Idul Adha di hari yang berbeda. Ada yang akan melaksanakannya pada 28 Juni, seperti keluarga besar Muhammadiyah. Ada pula yang melakukannya pada 29 Juni, sesuai dengan ketetapan Kementerian Agama. Hal ini juga terjadi pada tahun 2022. Bedanya, tahun ini pemerintah menambahkan libur hari raya Idul Adha menjadi tiga hari. Ya, antara lain untuk mengakomodir usulan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang telah menetapkan Idul Adha jatuh pada 28 Juni itu.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan, penambahan hari libur itu menunjukkan komitmen pemerintah terhadap konstitusi, khususnya dalam menjamin kemerdekaan warga negara untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. “Dengan tambahan hari libur, umat Islam dapat melaksanakan ibadah salat Idul Adha dengan tenang dan damai,” kata dia.
Abdul Mu’ti, yang juga guru besar UIN Jakarta itu, menyerukan kepada warga Muhammadiyah dan umat Islam yang merayakan Idul Adha pada 28 Juni agar menjaga kerukunan, saling menghormati, dan menjaga ketertiban umum. “Alangkah baiknya penyembelihan hewan kurban dan pembagiannya dilaksanakan pada Kamis, 29 Juni, atau setelahnya sebagai wujud toleransi dan saling menghormati,” kata Abdul Mu’ti melalui akun twitternya @abe_mukti.
Sebagaimana juga terjadi pada perbedaan penetapan 1 Syawal, penetapan 1 Zulhijjah juga kerap berbeda. Jadi, silakan saja mau mengikuti yang mana. Yang penting pada Lebaran Haji atau Idul Qurban, selain disunatkan salat id, umat Islam disunatkan menyembelih hewan kurban yang dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin. Pelaksanaannya sampai tiga hari setelah tanggal 10 Zulhijjah,
Seperti kita ketahui, perintah berkurban ini bermula dari kisah Nabi Ibrahim a.s. yang diperintah oleh Allah untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail, dengan tangannya sendiri. Setelah mendapat kata sepakat dari sang putra, Nabi Ibrahim pun bersiap melaksanakan tugas yang amat berat. Akan tetapi Allah menggantikan keikhlasan kedua hamba yang dikasihi-Nya itu dengan seekor domba yang besar. Peristiwa inilah yang akhirnya menjadi syariat Islam, yang amat menganjurkan kepada umatnya untuk mengurbankan sebagian harta yang disayanginya berupa hewan kurban.
Jika dengan ibadah haji umat dipersatukan untuk mengharap rida atau perkenan dari Allah Swt., maka dengan berkurban, selain meneladani ketaatan dan keikhlasan Nabi Ibrahim dan putranya Ismail dalam menjalankan perintah Allah, kita diajarkan agar memiliki solidaritas terhadap sesama. Terutama terhadap mereka yang papa dan miskin. Jika kita mampu menangkap makna simbolik dari ritual kurban ini, maka persoalan atau masalah seberat apa pun, kita sebagai bagian dari umat dan bangsa bisa menghadapi dan mengatasinya. Umat atau bangsa yang kokoh tidak mungkin akan terbangun jika tidak ada solidaritas di kalangan warganya.
Kita melihat dalam kehidupan modern sekarang, terutama di kota-kota, yang ditandai dengan kecenderungan hidup yang semakin individualistis, solidaritas, persaudaraan, sikap gotong-royong, sikap tolong-menolong di antara sesama, boleh dikatakan semakin pudar. Orang sudah semakin terbiasa untuk tidak memedulikan nasib yang menimpa tetangga sebelah rumahnya, dengan alasan tidak ingin mencampuri kehidupan orang lain. Semakin kendurnya ikatan-ikatan solidaritas ini, akan membuat jarak yang sesungguhnya dekat, terasa jauh, sesuatu yang sesungguhnya akrab terasa asing. Sikap semacam ini pada akhirnya akan memperlemah kesatuan dan persatuan kita, baik sebagai umat maupun sebagai sebuah bangsa.
Jika kita menjadi lemah, maka dengan mudah pula kita bisa dipermainkan, dan bahkan diadu-domba, oleh bangsa atau negara lain. Dengan begitu, mereka pun akan mudah mengatur dan menguasai kita. Sejarah telah menunjukkan, bahwa dulu kita dijajah oleh bangsa asing karena tidak adanya persatuan pada bangsa kita. Tentu musuh kita sekarang bukan kaum kolonial seperti zaman lampau yang ingin menguasai wilayah kita, melainkan kaum kolonial baru yang ingin menguasai kedaulatan ekonomi dan kedaulatan politik negeri kita. Tentu saja dengan cara-cara yang lebih halus dan sopan, dan bahkan konstitusional.
Oleh karena itu, kita ingin mengajak terutama kalangan kaum Muslim, untuk memperkuat solidaritas dengan mempererat tali persaudaran atau ukhuwah di antara kita. Allah berfirman, “Innamal mu’minuuna ikhwatun, fa aslikhu baina akhawaikum, wattaqullaha la’allakum turhamun.” Artinya, “Sesungguhnya para mukmin bersaudara. Karena itu damaikanlah dua saudara kamu, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beroleh rahmat. (Q.S. 49:10). Selain itu, Allah juga mengingatkan agar kita senantiasa berpegang pada tali Allah dan jangan bercerai.(Q.S. 3:103).
Selamat merayakan Idul Adha 1444 H.