Ads
Cakrawala

Esai Cak Nur: Ikhtilaf dan I’tilaf (Suatu Tinjauan Islam tentang Pluralisme)

Ditulis oleh Panji Masyarakat

TULISAN ini, merupakan suatu upaya percobaan untuk membuat tinjauan dari sudut pandangan teologis tentang kemajemukan di kalangan para pemeluk Islam dan persoalan kerukunan sesama mereka.

Istilah teologi di sini tidak digunakan dalam pengertian khususnya, sebagai ilmu kalam (teologi skolastik), tetapi sebagai penalaran tentang ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Hal pertama yang memerlukan penegasan ialah bahwa teologi sebagai ilmu (misalnya, tercermin dalam istilah ’’ilmu kalam’’), dapat dilihat sebagai hasil dialog antara para pemeluk Islam dengan perkembangan zaman dan tempat, dan karenanya, merupakan wujud warisan tantangan dan jawaban suatu bentuk perubahan sosial dalam sejarah.

Itu berarti bahwa terlebih dahulu harus disadari tentang kerelatifan suatu pandangan teologis. Pandangan seseorang dan pemahamannya mengenai suatu agama tentu diaku oleh yang bersangkutan sebagai yang paling tepat dan benar mengenai agama itu. Tetapi, sebagai entitas mengenai entitas yang lain, maka adalah tidak masuk akal (absurd) untuk melihat kedua-duanya sebagai identik dan bisa saling ditukar (interchangeable).

Jadi, pemahaman seseorang atau kelompok tentang suatu agama bukanlah dengan sendirinya senilai dengan agama itu sendiri. Ini lebih-lebih lagi benar jika suatu agama diyakini hanya datang dari Tuhan (wahyu, ’’agama samawi’’), dan bukannya hasil akhir suatu proses historis dan sosiologis. (Dengan istilah agama wahyu’’ atau ’’agama samawi’’ maka wewenang menetapkan agama atau tasyri’ (seharusnya!) hanya ada pada Tuhan atau berasal ’’dari langit’’. Smentara yang datang dari manusia atau dari arah bumi [juga seharusnya!] dipandang sebagai relatif belaka).

Penalaran Teologis, Proses Sejarah

Dalam Islam, seperti juga dalam agama-agama atau ideologi-ideologi lain (Marxisme, misalnya), penalaran teologis (atau ideologis) itu terjadi sebagai hasil perkembangan sejarah. Hasil-hasil penalaran itu, berupa berbagai perangkat ajaran atau doktrin yang mapan, dapat sepenuhnya dilihat sebagai hasil proses sejarah.

Sudah umum dikenal dalam perkembangan pemikiran Islam, misalnya, bahwa polemik di sekitar masalah qadariah dan jabariah adalah kelanjutan logis dari polemik sekitar Fitnah Besar Pertama, yakni pembunuhan Khalifah III, Utsman ibn Affan. Dari polemik itu berkembang pemikiran ilmu kalam, yang kemudian semakin semarak oleh adanya pinjaman-pinjaman dari luar, khususnya Hellenisme. Peminjaman itu sendiri, cukup menarik, dimulai dengan warisan metafisika Aristoteles oleh para pendukung paham jabariah yang kebanyakan terdiri dari kaum Bani Umayyah di Damaskus. Bergandengan dengan masalah kemampuan manusia itu ialah keimanan seseorang yang melakukan dosa besar.

Meskipun Bani Umayyah, dengan pemerintahan yang kuat, berhasil mengembalikan ketertiban umum dan menyudahi fitnah-fitnah, pertentangan antara para pengikut ekstrem jabariah dan qadariah (kebiasaan melakukan takfir, yakni pengkafiran atau ekskomunikasi merajalela) selalu menjadi sumber ancaman terhadap keutuhan umat. Maka timbul banyak usaha-usaha penalaran dan argumentasi yang ingin mencari jalan keluar dari kesulitan itu.

Muncullah paham irja” yaitu faham bahwa penghukuman apakah seseorang yang berdosa besar masih beriman atau sudah kafir harus ditunda sampaj dengan saat Pengadilan Tuhan kelak (lihat, Q., S. At-Taubah/9:105-106, “Dan katakanlah [wahai Muhammad],’ Bekerjalah kamu sekalian, maka Allah bakal menyaksikan pekerjaanmu itu, demikian pula Rasulnya dan semua kaum beriman, dan kamu bakal dikembalikan kepada Dia yang mengetahui alam gaib dan alam syahadah [lahir], kemudian Dia akan membeberkan kepadamu sekalian segala sesuatu yang telah kamu kerjakan itu. Sedangkan banyak orang lain ditunda sampai dengan adanya keputusan Allah, boleh jadi Dia menyiksa mereka itu atau memberi mereka ampun. Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana!’’)

Tidak Boleh Partisan

Paham irja’ yang berlebihan diketahui, sekurangnya dikhawatirkan, membuat pertimbangan etis dan moral menjadi lemah, dan banyak mendorong orang ke arah jabariah. Tapi, dari beberapa sudut, banyak yang dengan tepat melihat bahwa paham irja’ adalah cikal bakal pertumbuhan paham Sunni. Inti paham ini ialah semacam relativisme internal Islam, karena itu juga moderasi dan toleransi.

Paham Sunni itu sendiri sesungguhnya dimulai dengan paham Jama’ah yang banyak menekankan pentingnya memelihara kesatuan dan persatuan kaum beriman (al‘mu’minun jama’ah wahidah tahta din Allah — Orang-orang yang beriman adalah jamaah yang tunggal di bawah agama Allah), yang dirintis oleh tokoh-tokoh Madinah seperti Abdullah ibn ’Umar (ibn Al-Khattab). Kesunian ditambahkan sebagai penegasan segi metodologinya, yaitu bahwa mereka, setelah kepada Kitab Suci, berpedoman kepada Sunah, yang tidak terbatas kepada Sunah Nabi saja, tetapi juga Sunah para Sahabat dan malah para pengikut Sahabat atau Tabi’in, yaitu angkatan awal umat Islam yang sering diacu sebagai golongan salaf yang saleh (as-salaf ash-shalih).

Sekalipun begitu, menurut Ibn Taymiyyah, dalam memandang pribadi-pribadi dari kalangan kaum Salaf itu kita tidak boleh bersikap partisan, apalagi sektarian, yang biasanya mengambil bentuk pengikutan kemutlak-mutlakan. Sebab tak seorang pun di antara manusia, termasuk kaum Salaf sendiri, yang bebas dari kesalahan. Nabi pun bersifat ma’shum (bebas dari salah) hanya dalam hal “menyampaikan pesan’’ (tabligh ar-risalah). Karena itu tidak ada alternatif daripada moderasi dan toleransi . Berkata Ibn Taymiyyah:

“…Dari hal-hal yang berkaitan dengan masalah ini ialah, hendaknya diketahui, bahwa seseorang yang agung di bidang ilmu dan agama di antara para Sahabat, para Tabi’in, dan orangorang yang datang sesudah mereka sampai Hari Kiamat, baik dari kalangan Ahlul Bait (Rumah Tangga Nabi) atau pun lainnya, kadang-kadang terjadi padanya sejenis pemikiran (ijtihad) yang dibarengi dengan prasangka (dzann) atau semacam hawa (nafsu) yang tersembunyi, sehingga karenanya menghasilkan sesuatu yang tidak sepatutnya diikuti, meskipun orang itu termasuk kalangan para wali (kekasih) Allah yang bertakwa. Dan kalau pengikutan (yang tidak sepatutnya) itu terjadi, maka akan timbullah fitnah antara dua kelompok, satu kelompok mengagungkannya dan ingin membenarkan tindakan itu serta mencontohnya, dan satu kelompok lagi mencelanya dengan akibat menodai kewalian dan takwa orang tersebut… Kedua-duanya pihak yang ekstrim itu adalah keliru… Dan barangsiapa menempuh jalan moderasi (i’tidal, sikap tengah), maka ia tentu akan mengagungkan orang yang berhak untuk diagungkan, mencintai dan menyayanginya, serta memberi seseorang haknya, menghormati yang benar dan mencintai sesama makhluk. Telah diketahui bahwa seseorang selalu ada padanya berbagai kebaikan dan keburukan, sehingga ia bisa dipuji atau dicerca, bisa diberi pahala atau dihukum, dan dalam suatu segi boleh dicintai serta dalam segi lain boleh dibenci. Inilah mazhab Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. (lbn Taymiyyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah fi Naqd Kalam asy-Syi’ah wal-Qadariyyah, 4 jilid [Beirut: Dar al-Kutub al-’IImiyyah, tanpa tahun], Jil. III, h. 139). Argumen serupa juga dibeberkan dalam Ikhtilaf al-Ummah fi l‘Ibadat, Raf’ al-Mulam an al-A’immat al-A’lam, dan Al-Aqidat al-Wasitiyyah).

Menarik sekali bahwa K.H. Moh. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, juga mempunyai pendapat yang sama. Beliau berkata:

“…Diketahui bahwa benar-benar telah terjadi perbedaan (ikhtilaf) dalam perkara cabang (al-furii’) di antara para Sahabat Rasulullah Saw./r.a., padahal mereka adalah sebaik-baik umat. Namun tidak seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, tidak seorang pun membenci yang lain, dan tidak pula seorang pun menisbatkan yang lain kepada kesalahan atau pun cacat. Demikian pula telah terjadi perselisihan dalam perkara cabang antara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik r.a. dalam berbagai masalah yang jumlahnya mencapai sekitar empat belas ribu yang menyangkut bab ibadah dan muamalah; dan antara Imam Syafi’i dan gurunya, Imam Malik, r.a., dalam berbagai masalah yang jumlahnya mencapai kira-kira enam ribu; demikian pula antara Imam Ahmad ibn Hanbal dan gurunya, Imam Syafi’i, r.a., dalam berbagai masalah. Begitu pun tidak seorang dari mereka memusuhi yang lain, tidak seorang pun mencaci-maki yang lain, tidak seorang pun dengki kepada yang lain, dan tidak pula seorang pun menisbahkan yang lainnya kepada kesalahan atau pun cacat. Sebaliknya, mereka tetap selamanya saling mencintai, semuanya menunjukkan sikap yang bersih kepada sesama saudara mereka, dan saling berdoa satu sama lain untuk kebaikan bersama. Jika Anda menyadari hal itu semua, Anda akan mengerti bahwa sikap saling membenci, memusuhi, dan saling memutuskan hubungan yang terjadi antara kita karena perbedaan dalam suatu perkara atau beberapa perkara yang tidak seberapa itu adalah berasal dari godaan syetan dan dari keinginan saling unggul dan menyombongkan diri antara sesama saudara, serta karena dorongan mengikuti hawa nafsu. Padahal nafsu, maka engkau akan disesatkannya dari jalan Allah Q.S. Shad/38:26. (Muhammad Hasyim Ash’ari, At-Tibyan fi an-Nahy ‘an Muqata al-Arham wa l-Aqarib wa I-Ikhwan (Surabaya: – Matba’ah Nahdatul Ulama, tanpa tahun], hlm. 11-12). (Risalah ini rampung ditulis K.H. Hasyim Asy’ari pada Syawal, 1360 H. atau Februari, 1941 M.).

Bahwa perselisihan di antara para pemeluk berkenaan dengan masalah keagamaan adalah disebabkan oleh perbedaan dalam interpretasi kepada sumber-sumber pemahaman ajaran justru setelah sumber-sumber itu sendiri tersedia diisyaratkan, antara lain, dalam firman.

“Hendaknya dari kamu semua ini terbentuk suatu kelompok (umat) yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang pantas dan mencegah yang tidak pantas. Mereka itulah orang-orang yang bahagia. Dan janganlah kamu seperti mereka yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka berbagai ajaran (al-bayyinat). Mereka itulah orang-orang yang bakal mendapat siksa yang hebat.’’ (Q.S. Alu ‘Imran/3: 104-105).

“Dan janganiah kamu termasuk mereka yang musyrik, yang terdiri dari orang-orang yang memecah-belah agama mereka, kemudian mereka menjadi berkelompok-kelompok, setiap kelompok membanggakan apa yang ada pada diri mereka.’’ (Q.S.Ar-Rum/30: 32).

“Sesunguhnya mereka yang memecah-belah agama mereka, kemudian menjadi berkelompok-kelompok, engkau (hai Muhammad) sedikitpun tidak termasuk mereka itu.’’ (Q.S. Al-An’am/6: 159).

Ibn Taymiyyah memberi contoh tentang sikap yang fair, tanpa a priori, kepada sesama kelompok Muslim, dengan pernyataannya:

“…..Di antara kaum Rafidah (kelompok Syi’ah ekstrem yang menolak keabsahan Khalifah-khalifah Abu Bakr, Umar dan Utsman, lawan utama polemik Ibn Taymiyyah) terdapat orang yang rajin beribadat, wira’i (menjaga diri dari perbuatan dosa) dan zahid (asketik). Tetapi dalam hal itu pun mereka tidaklah menyamai orang-orang lain dari kalangan Ahl al-Ahwa (ejekan Ibn Taymiyyah kepada kelompok-kelompok bukan Sunni). Kaum Muktazilah masih lebih berakal dari mereka (kaum Rafidah) itu, juga lebih terpelajar dan lebih religius. Kebohongan dan kecurangan pada mereka (kaum Muktazilah) itu lebih sedikit ketimbang pada kaum Rafidah. Dan kaum Zaidiyyah dari kalangan Syi’ah (yang lain) masih lebih baik dari pada mereka (kaum Rafidah), dan lebih mendekati kebenaran, keadilan dan ilmu. Dan tidak terdapat pada kalangan Ahl al-Ahwa orang yang lebih benar daripada orang-orang Khawarij. Namun lepas dari itu semua, Ahlus Sunnah menerapkan sikap yang adil dan moderat (al-insaf, sikap menengahi) kepada mereka semua, dan tidak berlaku zalim. Sebab kezaliman adalah mutlak haram, sebagaimana telah diterangkan di muka. Bahkan Ahlus -Sunnah, dalam sikap kepada setiap kelompok dari mereka (kaum Rafidah) itu, masih lebih baik daripada sikap sesama mereka sendiri… Tidak diragukan lagi bahwa seorang Muslim yang mendalam pengetahuannya dan adil, menunjukkan sikap yang lebih adil terhadap mereka dan kepada segolongan mereka (kaum Rafidah) itu dibandingkan dengan sikap sebagian dari mereka sendiri. Kaum Khawarij mengkafirkan Ahl al-Jama’ah; demikian pula kebanyakan dari kalangan kaum Muktazilah mengkafirkan orang-orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka. Kebanyakan kaum Rafidah pun demikian pula. Dan jika mereka tidak mengkafirkan, mereka menfasikkan. Demikian pula kebanyakan Ahl al-Ahwa’, mereka menciptakan suatu pendapat, kemudian mengkafirkan orang lain yang tidak sepakat kepada mereka. Tapi Ahlus Sunnah mengikuti yang benar dari Tuhan mereka yang dibawa oleh Rasul, dan mereka tidak mengkafirkan orang yang tidak bersepakat dengan mereka. Malahan mereka inilah yang lebih tahu tentang yang benar, lebih mencintai sesama manusia, sebagaimana Tuhan menggambarkan orang-orang yang pasrah (muslimiin) itu dengan firman-Nya, ’’Kamu adalah sebaik-baik ummat yang diketengahkan bagi sesama manusia’’ Q.S. Al-’Imran/3: 110. Ibn Taymiyyah, Al-Muntaqa min Minhaj al-I’tidal (Pilihan dari Jalan Moderasi; ringkasan kitab Minhaj as-Sunnah yang dibuat oleh Al-Hafiz Abu Abdillah Muhammad ibn ’Utsman Ad-Dhahabi, 673-748 H.), Damaskus: Maktabah Dar al-Bayan, tanpa tahun), h. 328.

Dari yang telah dikatakan di atas itu dapat disimpulkan bahwa perbedaan (ikhtilaf) di antara para pemeluk harus diterima sebagai kenyataan yang selama-lamanya tidak akan bisa dihapus. Maka perlu i’tilaf (serasi, harmoni) berujud pola hubungan antara sesama pemeluk di atas kerangka pandangan yang penuh pengertian dan tenggang-menenggang.

Kitab Suci mengisyaratkan prinsip dasar yang maha penting ini, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 10 – 11. Wallahu a’lam bsh-shawab.

Penulis: Prof. Dr. Nurcholish Madjid (1939-2005), pendiri dan rektor pertama Universitas Paraamadina. Tulisan ini dimuat ketika Cak Nur menjadi staf peneliti LIPI dan staf pengajar Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta. Semula tulisan ini merupakan makalah untuk Musyawarah “Keragaman dan Kerukunan Ummat Islam’, Departeman Agama, 11-12 Februari 1986 di Jakarta.

Sumber: Panji Masyarakat, No. 496, 1 Maret 1986

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda