Ads
Cakrawala

Kolom Fachry Ali: Umat dan Politik

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Seorang mahasiswa datang dan bertanya: “Dengan perkembangan politik dewasa ini, bagaimanakah masa depan politik umat Islam?”


Sang mahasiswa mungkin tidak sedang mengungkapkan kegelisahannya. Dia sedang mengumpulkan pendapat untuk sebuah buku, Sebuah kreasi baru kalangan mahasiswa (era 1980-an, red.), setelah berbagai peraturan dan surat keputusan membatasi gerak mereka.


Tapi siapakah yang dimaksudkan dengan umat Islam? Sang mahasiswa tidak menjawab. Setidak-tidaknya, jawaban yang diberikan tidak semakin memperjelas permasalahan. Namun jelas pula, pertanyaan itu merefleksikan suatu tradisi pemikiran. Suatu asumsi umum yang meluas, ketika Islam mulai menyejarah dalam struktur kehidupan “kekotaan”.


“Islam kota” – dalam perspektif perkembangan masyarakat Indonesia yang agraris – tumbuh bersama gagasan-gagasan Barat. Tetapi sekaligus tumbuh untuk memperjelas perbedaan dua bentuk masyarakat yang kontradiktif: penguasa kolonial dan masyarakat pribumi. Konsep keumatan lahir dari jarak politis yang dibuat antara pribumi dan kolonial asing.


Maka, dalam konteks jarak politik ini, konsep keumatan menjadi buyar dalam alam Indonesia merdeka dan Orde Baru (kita tambahkan, sampai era sekarang atau pasca-Reformasi; red). Ketika anak-anak Islam telah bergerak dalam berbagai posisi pemerintahan; ketika mereka bergerak dalam lapangan politik yang beraneka partai. Dengan, atau tanpa, cap Islam yang resmi.


Mungkin sekali, kegagalan merumuskan kembali konsep umat dalam situasi dan tantangan yang baru itulah, yang menyebabkan tradisi berpikir keumatan lama tetap terpakai sebagai suatu kategori. Dan seorang muda datang, bertanya tentang masa depan politik umat Islam.


Tapi Islam bukanlah sebuah kategori. Dan dari perspektif itu pula, akar konsep keumatan yang lebih luas bisa dilacak. Setidak-tidaknya, inilah yang terlihat secara kasat mata. Dari konteks ini, Islam lebih terlihat sebagai sebuah ajaran tentang kehidupan manusia di dunia serta implikasinya di akhirat, yang berinteraksi dengan tradisi kehidupan manusia.


Mungkin, lantaran aspek jaran keduniawian inilah yang menyebabkannya lebih senang bergulat dengan tradisi. Islam memberikan perspektif terhadap struktur posisional sebuah tradisi, tempat ia berkembang. Tapi ia tidak menolak tradisi. Ia bahkan merangkum tradisi yang berkembang di zamannya. Bahkan, seperti yang terlihat daam sejarah, ia memberikan energi baru bagi tradisi-tradisi yang telah lama pudar sekalipun.


Mungkin, pada sifat dasarnya yang terbuka serta kemampuan memberikan energi penggerak baru inilah yang menjadi kunci utama penyejarahan Islam. Islam menjadi hadir pada kehidupan nyata. Rangkumannya terhadap berbagai aspek tradisi, politik, ilmu pengetahuan, sosial dan budaya, telah membentuk gambaran Islam yang utuh sebagai sebuah ajaran tentang kehidupan dunia. Ia bergulat secara historis dengan masyarakat-masyarakat beraneka tradisi. Tapi ia memberikan perspektif dirinya. Perspektif keislaman yang relatif standar inilah yang, secara empiris, mendukung lahirnya konsep keumatan.


Tapi konsep keumatan, di Indonesia, menjadi lebih sempit. Ia tidak memiliki dasar-dasar tradisi yang luas. Ia hanyalah sebuah warisan yang dikelola secara kaku dan terpendam. Maka ketika Indonesia berubah, ia menjadi gamang, gugup melihat kenyataan. Bagaimanakah ia bisa memberikan perspektif dan energi baru bagi realitas Indonesia yang lain, yang telah berbeda dari yang dihadapinya dahulu?
Telah datang seorang muda dan bertanya tentang politik umat Islam.


Penulis: Fachry Ali, peneliti, dan pengamat sosial politik dan budaya.
Sumber: Panji Masyarakat, No. 493, 1 Februari 1986.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda