Haji adalah perintah Allah yang wajib ditunaikan setiap muslim. Sekali seumur hidup bagi yang mampu. Menurut fikih, haji memiliki lima syarat: Islam, balig, berakal, merdeka, dan kesanggupan. Yang tidak atau belum mampu serta belum mencapai usia akil balig, dengan sendirinya tidak wajib. Apatah lagi yang tidak berakal. Adapun syarat merdeka, rasanya di zaman sekarang tidak ada manusia yang berstatus budak.
Namun, seperti dikemukakan Buya Hamka, haji bukan melulu soal fikih. Kata dia, haji adalah persoalan cinta. Seperti halnya tukang cukur yang bermodal gunting cukurnya sebagai bekal perjalanan ke Makkah, kata Hamka, tentu jika menunggu cukup modal ia tidak akan pernah berangkat haji.
“Lebih-lebih kisah Nabi Ibrahim yang diuji cintanya kepada Allah dengan cintanya kepada anaknya. Begitu pula kisah ulama sufi Ibrahim bin Adham yang meninggalkan anaknya untuk berangkat haji. Labbaik. Laa syarika laka, Labbaik. Saya telah datang, aduhai Tuhanku. Inilah saya Tuhanku, tak kupersembahkan cintaku kepada-Mu dengan yang lain, ” ungkap Buya, yang menunaikan ibadah haji pada 1927, ketika usia remaja. Kisah Buya menunaikan ibadah haji bisa dibaca dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup.
Syariat haji, menurut Buya, punya rahasia terpenting: orang tidak akan mengenal Dia melainkan hanya yang bersih-suci hati. Yakni orang-orang yang hatinya telah penuh oleh rasa cinta kasih. Karena itu, dulu Buya Hamka menyayangkan orang-orang yang sengaja menghubungkan ibadah ini dengan urusan siyasah atau politik. Yang mencoba menghalang-halangi orang yang ingin beribadah ke Tanah Suci dengan alasan bahwa berbelanja di sana hanya merugikan urusan nasional dan memperkaya Kerajaan Arab Saudi.
“Apa hubungan di antara cinta akan Allah dengan “urusan nasional” yang demikian? Kalau belum sanggup mengerjakan haji tak usahlah pergi. Tetapi jangan sekali-kali dihubungkan ketidaksanggupan itu dengan suatu ibadah yang menjadi rukun dari agama. Mengapa kalau orang pergi melancong menghabiskan uangnya ke Eropa, ke Napoli, ke Swiss sehingga menjadi pangkal kekayaan dari negeri-negeri yang diziarahi itu tidak ada halangan, bahkan dibuat promosi sekuat-kuatnya? Sedang orang mengerjakan haji dikatakan merugikan urusan nasional? Adakah akan disamakan orang pergi menghamburkan uang berpelesir, menghabiskan umur, dengan orang yang pergi haji, tunduk dan cinta kepada Tuhannya? Padahal pula orang naik haji dengan ongkos sendiri.”
Lebih jauh Hamka mengemukakan bahwa ibadah haji selain mendidik perasaan akan kecintaan kepada Allah, juga menyusun bangsa-bangsa untuk persatuan besar. “Bertawaf keliling Ka’bah, segala bangsa dari berbagai warna bangsa, disamakanlah tujuan para manusia di tempat yang satu, menambah keinsafan di dalam hati, bahwasanya kewajiban umat Islam itu bukan berlingkung di kalangannya sendiri saja, tetapi sebagai Islam merata ke seluruh penjuru dunia.”
Menurut Hamka, dengan mengerjakan haji tercapailah sebagaimana diterangkan Tuhan: supaya mereka lihat manfaat untuk mereka dan supaya mereka tawaf bersama-sama di keliling rumah yang telah berumur itu. “Dengan haji, hiduplah dengan suburnya rasa persaudaraan sedunia. Terlepaslah diri daripada perasaan katak di bawah tempurung. Kenallah kita bahwa di samping kita dan di samping bangsa dan negara kita, ada lagi bangsa dan negara lain dan orang lain yang sama pandangan hidupnya dengan kita, berkumpul ke satu tempat, padang Arafah, dan memakai satu corak pakaian, yaitu kain ihram yang tidak berjahit, dan tidak ada perbedaan pakaian budak dengan raja, dan tidak ada kelebihan seseorang dari seorang yang lain, hanyalah karena takwanya kepada Alah.”