Berkembangnya berbagai bidang kajian keilmuan serta beragamnya jalur pendidikan yang terbentuk akibat pengaruh modernisasi saat ini, tidak jarang mendatangkan kebingungan di kalangan pelajar dan mahasiswa Islam. Dikenalnya jalur pendidikan yang terbagi dalam apa yang disebut “sekolah umum” dan “sekolah agama” telah banyak dirasakan membawa pada suasana dilematis dan serba terbelah.
Para pelajar dari sekolah agama tidak sedikit yang mengeluh sehubungan dengan kekhawatiran akan relevansi keilmuan yang dipelajarinya bila kelak dihadapkan pada kebutuhan hidup sehari-hari yang terlihat semakin berorientasi pada duniawi. Akan tetapi sebaliknya para pelajar sekolah umum juga tidak sedikit yang merasa khawatir akan ancaman orientasi keduniaan yang dibawa akibat kedangkalan “ilmu-ilmu agama” yang diterimanya.
Lebih parah lagi, akhir-akhir ini semakin jelas terlihat kesulitan di beberapa kalangan pelajar sekolah umum yang sifatnya sangat mendasar. Yakni sehubungan dengan pandangan yang menempatkan kajian ilmu-ilmu umum yang dipelajarinya, dari sudut keagamaan dilihat kurang penting atau bahkan kurang relevan dari tujuan pokok keislamannya.
Sebagai gambaran, saya pernah menjumpai seorang aktivis mahasiswa Islam di IPB yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang banyak dipelajarinya dianggap tidak mendukung tujuan keislamannya karena jauh kaitannya dengan kehidupan akhirat. Demikian pula saya pernah mendengar ada sekelompok mahasiswa UI yang juga aktif belajar agama, merasa frustrasi dalam mengikuti perkuliahan karena menganggap bahwa bidang-bidang ilmu yang diberikan di universitas adalah ilmu-ilmu yang dianggap sekuler atau bahkan menyesatkan. Mungkin gejala semacam ini akan tumbuh terus bila tidak terdapat pandangan keagamaan yang mendamaikan.
Apa sesungguhnya yang menjadi akar timbulnya kesulitan-kesulitan ini? Berbagai analisa dapat dilakukan melalui sudut pandang yang berbeda-beda. Salah satunya dapat dilihat dari sudut historis pandangan keilmuan yang pernah berkembang, sebagaimana akan dicoba berikut ini.
Bila kita mengamati perkembangan kajian keilmuan yang terjadi di dunia Islam, maka corak kajian yang mula-mula berkembang jelas tidak lepas dari orientasi pada segi-segi keagamaan. Sejalan dengan keyakinan bahwa Al-Qur’an dan Sunah sebagal acuan utama kebenaran, maka tidak mengherankan bahwa bentuk keilmuan yang pertama kali berkembang antara lain adalah bidang hukum dan teologi.
Perkembangan hukum terjadi akibat munculnya berbagai tuntutan kebutuhan administratif dan yudisial yang harus dipenuhi dengan segera. Sedangkan teologi, beberapa penulis mengatakan sebagai akibat dari persoalan-persoalan politik yang kemudian membawa pada pertanyaan-pertanyaan mendasar menyangkut batasan kafir tidaknya seseorang, hubungan dosa dan kekafiran dan sebagainya. (Lihat antara lain Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sajarah Analisa Perbandingan, 1978, hlm. 1-10).
Kemudian selanjutnya, atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang bersifat lebih praktis berkembang pula ilmu-ilmu kealaman (atau yang kini dikategorikan sebagai “ilmu-ilmu umum”), seperti astronomi, ilmu hitung, kedokteran, matematika, fisika, dan sebagainya. Pada Zaman Islam Klasik (abad ke-7 hingga abad ke-13) yang sering kali orang mengatakan sebagai periode kejayaan Islam, berkembanglah berbagai bidang ilmu secara menyeluruh, tidak saja terpusat pada ilmu-ilmu keagamaan saja tetapi juga ilmu-ilmu kealaman.
Akan tetapi masa subur perkembangan iimu ini mulai meredup di saat memasuki Zaman Pertengahan. Kehancuran kekuasaan politik yang ditandai dengan jatuhnya Bagdad pada abad ke-13, seolah-olah diikuti dengan mandengarnya kreatifitas pengkajian keilmuan. Demikian pula bidang-bidang kajian juga mengalami penyempitan dengan lebih terfokus kembali pada bidang-bidang ilmu-ilmu agama. Penyempitan kajian ini tercermin pada kurikulum madrasah-madrasah di abad-abad ke-12, 13 dan ke-14 yang menempatkan hukum dan teologi sebagai bagian sentral dari sistem pendidikan Islam. (Lihat Fazlur Rahman (terjemahan), Islam dan Modernitas, 1985, hlm. 38).
Suatu perkembangan yang saat ini dirasakan sangat menyesakkan adalah bahwa mulai saat itu telah mulai dilakukan pembedaan-pembedaan tertentu pada berbagai bidang keilmuan atau cabang-cabang pengetahuan ke dalam suatu klasifikasi. Sebagian klasifikasi, sebagaimana dicatat Fazlur Rahman, antara lain dibedakan antara “ilmu-ilmu teoretis” (yang umumnya dimaksudkan teologi atau ilmu tauhid, — ilmu tentang keesaan Tuhan — atau ushuluddin (dasar-dasar agama) atau kemudian ilahiyat (ilmu teologi) dan “ilmu-ilmu praktis” (ilmu hukum atau disebut fikih atau syariah). Demikian pula selanjutnya dikenal pembedaan antara “ilmu-ilmu agama” (’ulum syar’iyah) dan “ilmu-ilmu rasional/sekuler”. Termasuk di dalamnya ilmu-ilmu kealaman atau ilmu-ilmu yang kini disebut ilmu umum. (Ibid., hlm. 38-39)
Dengan’ dilakukannya pembedaan-pembedaan keilmuan semacam ini, tanpa diduga telah membawa akibat-akibat lebih jauh di dalam corak perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan umat muslimin. Atas dasar pembedaan ilmu ke dalam “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu rasional/kealaman” muncul pandangan yang memihak “ilmu-ilmu agama’ sebagai prioritas utama untuk dikaji dibanding “ilmu-ilmu rasional/kealaman’”.
Salah satu cerminan pemihakan ini, yang diperkirakan memiliki pengaruh besar di Indonesia, antara lain dilakukan oleh Imam Al- Ghazali (lahir 1058) dalam bukunya Ihya Ulumiddin. Menurutnya, orang harus memberikan prioritas dalam mempelajari ilmu pengetahuan dengan alasan bahwa ilmu itu luas dan hidup itu singkat. Kemudian dengan membedakan tingkat faedahnya antara dua kelompok ilmu tersebut, maka dengan sendirinya prioritas utama kajian diberikan pada ilmu-ilmu agama yang dianggap lebih berkaitan erat dengan tujuan pokok keislaman yaitu memperoleh kejayaan hidup di akherat. (Lihat Al-Ghazali (terjamahan), Ihya‘al Ghazali, 1983, hlm. 200).
Dalam tinjauan yang lebih terperinci Al-Ghazali membagi lapangan kajian ilmu atas dasar prioritasnya ke dalam kategori: ilmu yang fardhu ‘ain dan ilmu yang fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib bagi setiap muslim untuk mempelajarinya. Sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari dalam lingkup kolektif atau menunaikan kewajiban itu cukup diwakilkan pada beberapa orang saja dalam kelompoknya.
Ilmu fardhu ‘ain di bagi menjadi dua bagian yaitu ilmu mu ‘amalah (yang berkaitan dengan rukun Islam) dan ilmu mukasyafah (ilmu mengenal Allah Ta’ala). Sedangkan fardhu kifayah terdiri dari ilmu syari’ah dan ilmu bukan syarifah. Yang pertama adalah ilmu yang diperoleh dari nabi-nabi, dan bukan dari akal manusia seperti ilmu hitung atau kedokteran, demikian Al-Ghazali memberikan contoh. Ilmu yang bukan syariah kemudian dibagi menjadi ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan. (Penjelasan terperinci lihat ibid. Hlm. 39-156).
Atas dasar pembagian seperti ini maka dengan sendirinya mempelajari ilmu fardhu ’ain menjadi prioritas dibanding ilmu fardhu kifayah. Di antara ilmu fardhu. kifayah, ilmu syariah menjadi prioritas dibanding ilmu yang bukan syariah. Demikian pula di antara ilmu yang bukan syariah, ilmu yang terpuji menjadi prioritas dibanding ilmu yang hanya sekadar bersifat mubah (dibolehkan).
Menelaah pembedaan semacam ini, walau pun tidak berarti secara keseluruhan memiliki dampak negatif, akan tetapi jelas sikap psikologis yang muncul, yaitu tidak menolak ilmu-ilmu rasional/kealaman tetapi cenderung meremehkannya karena dianggap kurang menunjang kesejahteraan spiritual manusia, mempunyai kaitan penting dengan munculnya berbagai kesulitan umat Islam dalam berpartisipasi mengkaji bidang keilmuan modern.
Dengan kata lain, klasifikasi ilmu atas dasar tingkatan prioritas semacam ini selain yang menciptakan suasana kekakuan dalam usaha mengkaji bidang-bidang ilmu yang lebih luas, juga cenderung menciptakan pemusatan kajian di bidang-bidang tertentu saja, yaitu pada bidang yang dikategorikan sebagai “ilmu-ilmu agama”. Kemudian sebaliknya, kekosongan pun cenderung terjadi dalam kajian-kajian ilmu rasional/kelaman atau pun kalau pun ada hidup dalam keadaan terjepit. Keadaan inilah yang terjadi hingga saat ini. (Hubungkan pula dengan pendapat Marshai G.S. Hodgson yang antara lain menyebutkan bahwa salah satu sebab kegagalan umat Islam dalam memelopori Abad Modern adalah konsentrasi yang kelewat besar penanaman modal harta dan manusia peda bidangbidang tertentu, sehingga pengalihannya kepada bidang lain merupakan kesulitan luar biasa. Lihat Nurcholish Madjid, ed., Khasanah Intelektual Islam, 1984, hlm. 54).
Menyadari kelemahan cara berpikir semacam ini, maka perlu dirintis atau digalakkan upaya-upaya baru untuk mencari jalan keluar dengan melihat konteks permasalahan kekinian yang ada. Salah satu upaya pemikiran adalah menghilangkan kategorisasi bidang keilmuan yang terpilah-terpilah sebagaimana dilakukan Al-Ghazali dan mengganti dengan pandangan yang melihat keseluruhan objek kajian keilmuan secara lebih utuh. Cara pandang yang lebih bulat dan tetap didasarkan pada pemikiran Islami, melihat seluruh pengkajian ilmu sebagai upaya memahami ayat-ayat Tuhan yang digelarkan ke dalam alam semesta ini. Ayat-ayat Tuhan ini digelarkan dalam dua bentuk.
Pertama, ayat-ayat Kauniyah, yaitu ayat-ayat Tuhan berupa alam semesta, termasuk di dalamnya manusia dengan segala hukum-hukumnya yang berlaku. (“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” Qur’an: Ali Imran (3): 190; “Dan di bagi orang-orang yang yakin, dan juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan.” Q.S. Adz-Dzariyat (51): 20, 21. Lihat juga Al Baqarah (2): 164; Al An’aam (6):65,96; Yusuf (12): -05; Arra’d (13): 2-4; Al-Isra (17): 12; An-Nahl (16) : 11-13, 65-96; Thaha (20): 31-32; Yaa Siin (36): 33-34; Fush-shilat (41): 53-54; Asy-Syura (42): 28-29, 32-35; Al-Jatsiyah (45): 3-13).
Kedua, ayat-ayat Qur’aniyah, yaitu ayat-ayat Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an. (“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lainnya (ayat-ayat) mutasyabihaat…” (Ali Imran (3):7; “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keragu-raguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa’ (Al Baqarah (2)-2). “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (An-Nahl (16):64); “Dan demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an yang merupakan ayat-ayat yang nyata; dan bahwasanya Allah memberikan petunjuk. kepada siapa yang Dia kehendaki (Al Hajj (22):16).
Kemudian bila diperinci lebih jauh ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat dibedakan dalam dua kelompok.
• mengenai. alam gaib atau yang menyangkut dimensi supra natural/non empiris (ayat-ayat mutasyabihat)
• mengenai alam nyata termasuk di dalamnya tentang seluk-beluk manusia (ayat-ayat muhkamat). Oleh karena itu ayat ini berkaitan erat dengan ayat-ayat Kauniyah, dan keduanya harus dibuktikan tidak saling bertentangan karena sama-sama ayat Tuhan.
Jadi dengan mengampil pengertian bahwa seluruh pengkajian ilmu sebenarnya memiliki obyek yang sama yaitu ayat-ayat Tuhan, baik yang digelarkan dalam bentuk ayat-ayat Kauniyah maupun Qur’aniyah, maka karena itu semua aktivitas pengkajian keilmuan dalam bidang manapun, asalkan dikaitkan dengan niat ibadah dan didasarkan prinsip-prinsip pokok aqidah Islamiah, semuanya termasuk aktivitas keagamaan. Jelasnya, sebagaimana juga dikemukakan Endang Saifuddin Anshari (Lihat Endang Saifuddin Anshari “Kiasifikasi Iimu Ditinjau dari Segi Obyek Matcrinya: Sebuah Kerangka Pengantar ke Arah Filsafat Islam Tentang Ilmu”, makalah, 1984, hlm. 12), bentuk kajian ilmu pada “ilmu-ilmu rasional/kealaman”, harus dilihat dalam upaya tafakkur fi Khalqis smawati wal-ard, memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah di kala berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ya Tuhan kami tiada Engkau menciptakan. ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah . kami dari siksa neraka” (Al – Imran (3): 190, 191).
Sedangkan pengkajian pada apa yang sebelumnya disebut “ilmu-ilmu agama” dan dalam hal ini dimaksudkan sebagai kajian ayat-ayat Qur’aniyyah, dipandang sebagai tafaqquh fid-din, memikirkan tentang agama. “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mu’min itu : pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa Orang untuk memperdalam pengetahuan mereka (tentang agama untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka dapat menjaga diri’. (At Taubah (9): 122).
Dengan didasarkan pada kerangka berpikir semacam ini, maka pembagian bidang keilmuan tidak lagi secara tegas dibedakan pada “ilmu agama” (yang oleh Al-Ghazali disebut sebagai ilmu untuk akhirat) dan ‘ilmu umum” (yang dikesankan sebagai ilmu untuk dunia). Bila mengikuti sudut pandang kedua, maka kedua kajian itu sebenarnya mempunyai tujuan akhir yang sama yaitu mendapatkan rida Allah untuk kebahagiaan di dunia dan
akhirat kelak. Oleh karena itu sewajarnyalah upaya pengkajian dari kedua bidang itu mempunyai nilai yang sama karena sama-sama mempelajari ayat-ayat Allah Swt. Dengan demikian, pembagian prioritas pengkajian juga tidak selaku sebelum, sebagaimana dilakukan Al-Ghazali, tetapi lebih bersifat longgar dalam arti memberikan ruang gerak pada upaya pengkajian iimu-ilmu umum (ilmu-ilmu rasional/kealaman), walaupun tidak berarti mencampakkan akan pentingnya ilmu-ilmu agama.
Dalam kaitan inilah, maka penulis menganggap perlu memberikan dukungan terhadap pendapat Endang Saifuddin Anshari, salah seorang tokoh pemikir Islam dari mesjid kampus Salman ITB, yang berpendapat. bahwa mempelajari dasar-dasar ilmu agama maupun ilmu umum, keduanya sama-sama fardhu ’ain. Sedangkan mempelajari secara lebih mendalam (spesialisasi) pada kedua macam ilmu itu adalah fardhu kifayah.
Demikian pula, anjurannya yang: memiliki kaitan erat dengan permasalahan ini, penulis anggap sangat positif yaitu bahwa yang perlu dilakukan bagi masing-masing ilmuwan “umum” maupun ilmuwan “agama” adalah di samping terus menekuni bidang disiplin ilmu yang dipilih sebagai spesialisasinya dan ilmu umum (yang fardhu ’ain bagi mereka), keduanya seharusnya juga terus melengkapi ilmu yang bukan spesialisasinya. Maksudnya, bagi ilmuwan umum harus berusaha mengkaji Al-Qur’an dan Sunah lebih dalam lagi, terutama yang berkaitan langsung dengan disiplin yang dipilihnya. Sedangkan bagi ilmuwan agama juga dituntut untuk memilih dan mempelajari lebih lengkap lagi bagian ilmu umum, setidaknya salahsatu disiplin ilmu “umum” yang diminatinya.
Jadi demikianlah semoga kreativitas pengkajian yang saat ini juga dituntut pada keseluruhan bidang dapat berjalan tanpa keraguan. Jalur pendidikan yang kini terpilah (bila tidak bisa dikatakan “tersekulerkan”) menjadi sekolah umum dan sekolah agama, betapapun banyak kelemahan, tidak harus menimbulkan kekakuan yang tak terpecahkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis: Dr. Imam B. Prasodjo, dosen Sosiologi FISIP-UI. Artikel ditulis saat pendiri Yayasan Hati Nurani Dunia ini saat menjadi mahasiswa tingkat terakhir di tempatnya mengajar kini.
Sumber: Panji Masyarakat, No. 501, 21 April 1986