Ads
Bintang Zaman Nuruddin Ar-Raniri

Nuruddin Ar-Raniri (2): Mendukung Kepemimpinan Perempuan

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Pada kira-kira tahun 1580 sampai 1583 paman Ar-Raniri yang bernama Muhammad Jailani Humaid datang ke Aceh. Maksud kedatangannya ialah untuk mengembangkan agama Islam kepada penduduk serta berbagai macam ilmu yang penting dipelajari seperti ilmu fikih, ilmu mantik dll.

Sayangnya setelah beberapa lama bekerja, namun ia tidak mendapat pengikut yang lumayan. Sebelumnya, orang Aceh sangat sibuk belajar ilmu tasawuf, karenanya Syekh Jailani menemui kegagalan itu. Maka pergilah ia ke Makkah untuk belajar ilmu tasawuf pula.

Setelah kembali lagi dengan membawa ilmu tasawuf yang mendalam, barulah ia beroleh pengikut yang wajar.

Kemudian kira-kira 50 tahun belakangan barulah Nuruddin datang ke Aceh. Sebenarnya sebelum ini, ia telah hendak pergi ke Aceh, tapi ia tidak senang Sultan Iskandar Muda yang berkuasa ketika itu, mendukung pendirian Syamsuddin Pasai atau Saymsuddin As-Sumatrani dan Hamzah Fansuri mengenai wihdatul wujud. Pendirian kedua ulama tasawuf itu sangat bertentangan dengan pendirian Nuruddin.

Menurut Prof. Hoesein Dajadiningrat, di zaman pemerintah Iskandar Muda, ia sudah pernah datang ke Aceh. Akan tetapi ke Aceh untuk kedua kali  ketika Iskadar Muda tidak berkuasa lagi.

Kekuasaan Aceh ketika itu sudah pindah ke tangan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda. Nururddin menetap di Aceh sejak tahun 1634 sampai 1644 (sepuluh tahun). Waktu itulah ia mengarang buku- bukunya di bawah perlindungan Iskandar Tsani.

Memang ketika itu, hanya ulama-ulama yang berada di bawah perlindungan kerajaanlah yang dapat mengembangkan ilmunya di tengah masyarakat. Sedangkan ulama yang bertentangan ajarannya dengan pihak kekuasaan, tentu tidak akan mendapat tempat, bahkan akan selalu dihalangi bahkan di penjarakan.

Menurut Tudjimah, Syamsuddin Pasai dan Hamzah Fansuri mengajarkan tasawuf wihdatul wujud yang berarti roh manusia bersatu dengan Tuhan. Ajaran ini dianggap salah oleh Ar-Raniri, dan ulama yang mengajarkan itu bahkan dikatakan kafir. Itulah sebabnya ketika zaman Iskandar Muda ia tak mendapat tempat. Iskandar Tsani dapat menerima ajarannya. Karena itu ia bebas tinggal di Aceh. Lebih jauh Tudjimah menulis dalam bukunya tentang ajaran Syamsuddin dan Hamzah seperti berikut:
Bahwa Allah itu adalah roh dan wujud kita, dan kita adalah roh dan wujud Tuhan. Menurutnya mereka itu ‘kafir. Nuruddin menganjurkan kepada Sultan supaya buku-bukunya dibakar, dan kedua orang ulama itu disingkirkan dari Aceh.

Nuruddin juga menyebut dalam bukunya tentang pendirian Hamzah mengenai kadim, yakni roh Muhammad Saw. K arena ia dijadikan Allah dari zatnya yang kadim, menurut i’tiqad Hamzah Fansuri nur Muhammda itu tercerai daripada zat Allah.

Secara terus terang Nuruddin menentang pendapat itu dengan keras. Menurut dia, roh itu diciptakan oleh Tuhan. Karena itu ia melawan keras sebutan “Anal haq’’.

Hadis yang mengatakan; ’’Man arafa nafsahu, arafa rabbahu’’ (Barangsiapa mengenal dirinya, niscaya mengenal Tuhannya) dimaknai oleh Syamsuddin bahwa manusia bersatu dengan Tuhan. Demikian juga pengertian Hamzah.

Ar-Raniri benar-benar menentang pendirian ini. Dia mengatakan, bahwa siapa mengenal dirinya sebagai makhluk, maka ia akan: mengenal Tuhannya, sebagai khalik yang mencipta. Untuk mengenal siapa yang yang baqa, ia memperbandingkan roh dengan Tuhan. Roh tidak dapat diketahui tempat tinggalnya, tetapi terang ia ada. Demikian juga Tuhan, terang ia ada, tapi tidak diketahui di mana tempatnya. Dalam ajarannya bahwa roh itu diciptakan, dan orang tak dapat mengetahui bagaimana adanya dan hanya Tuhan saja yang tahu.

Perbedaan paham tentang roh dan ketuhanan itu, merupakan perselisihan pendapat yang tidak kecil artinya dalam masyarakat. Paham Syamsuddin dan Hamzah Fansuri mengenai roh dan Ketuhanan itu sama dengan paham dan i’tiqad Siti Jenar di Jawa (salah seorang ulama tasawuf) dan Al-Hallaj di zaman Ghazali.

Al-Hallaj berpendapat bahwa Tuhan dapat menjelma ke dalam manusia. Demikian pula sebaliknya manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Mazhab ini dinamakan dengan mazhab hulul atau “wihdatul wujud’” yang berarti kesatuan vang ada. Syekh Siti Jenar di Jawa akhirnya dibunuh karena paham dan keyakinannya itu. Demikian pula dengan Al Hallaj.

Besar sekali jasa Ar-Raniri dalam meluruskan paham dan i’tiqad masyarakat yang telah disesatkan oleh kedua orang ulama sebelumnya itu. Sejak itulah Aceh diberi Orang julukan ’’Aceh Darussalam Serambi Mekkah’’ Karena perkembangan agama di situ.

Syekh Nuruddin tidak saja mengajar sebagai guru tetapi juga banyak menulis buku yang bernilai. Dalam buku Prof. Tudjimah dileretkanlah jumlah buku-buku karangannya seperti di bawah ini.

•   Shirathal Mustaqim (jalan yang lurus, ed) Kitab ini merupakan kitab fikih yang besar      dan lengkap dalam bahasa Melayu. Kitab ini kemudian disyarah lebih luas lagi oleh Syekh Arsyad Banjar. Menurut pengarangnya buku ini dikerjakan selama sepuluh tahun. Waktu Kedah (Malaya) menganut agama Islam, kitab inilah yang segera dikirimkan ke sana, untuk memimpin masyarakat di sana 
•   Durratul Faraid bi Syarhil Aqa’id (permata keluarga tentang uraian akidah, ed). Buku ini ditulis tahun 1645 mengenai i’tiqad dan kepercayaan. 
•   Hidayatul Habib fi Targib wat-Tarhib (petunjuk kekasih dalam hal yang menggembirakan dan menakutkan, ed). Kitab  ditulis tahun 1046 H, berupa kumpulan hadis dalam bahasa Arab dan Melayu. Buku ini sangat besar pengaruhnya di Aceh. 
•   Bustanussalatin fi Zikri’il  Awwalin wal Akhirin (taman para suktan tetang riwayat orang yang dahuu dan kemudian), ditulis tahun 1047H/1648 M, mengenai  sejarah. 
• Lathaiful Asrar (kehalusan rahasia), kitab mengenai tasawuf.
• Asrarul Insan fi Ma’rifatir Ruh war-Rahman, sebagaimana sudah disebutkan. Dan banyak iagi karangannya yang lain. Semuanya berjumlah 23 buah, terdiri dari buku-buku tebal dan bernilai tinggi.

Pernah ia pulang ke Ranir sewaktu Iskandar Tsani meninggal dunia. Tapi kemudian waktu pengangkatan Safiatuddin, istri Iskandar Tsani, sebagai sultanah, ia kembali lagi ke Aceh. Dan dialah yang berani mendukung pengangkatan raja wanita (sultanah) itu, padahal umumnya orang menolak wanita menjadi raja.

Kemudian pada tahun 1654 ia pulang ke Ranir dan tidak kembali lagi. Pada tahun 1658 meninggal dunia di Ranir.

Seorang pejuang agama yang besar, tidak asli Indonesia, tapi besar sekali jasanya bagi Indonesia. Karangan-karangannya dalam bahasa Indonesia (Melayu), lebih baik dari pada dalam bahasa Arab. Dia adalah penegak tauhid yang besar di masanya, yang telah dapat mengalahkan: dua orang ulama besar Syamsuddin Pasai dan Hamzah Fansuri. Dengan dukungan dia pulalah Safiatuddin dapat dinobatkan menjadi raja Islam wanita alias sultanah pertama di Indonesia (Aceh)

Kemudian berturut-turut tiga orang wanita lagi menjadi sultanah di Aceh, barulah kembali kepada laki-laki pula.

Penulis: Tamar Djaja 1913-1984), wartawan dan penulis buku-buku populer dari agama, biografi, novel, sampai sejarah
Sumber: Panji Masyarakat, No 347, 11 Januari 1982

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda