Ads
Aktualita

Pemilu dan Kemerdekaan Berpikir

Avatar photo
Ditulis oleh Iqbal Setyarso

Dalam tafsir yang saya fahami, ada tarikh kebangsaan untuk menyebut sejarah bahwa Indonesia jangan sampai melupakan betapa bangsa-bangsa asing telah menjajah Indonesia bertahun-tahun. Dari episode itu, saya suka mencupliknya untuk menyajikannya sebagai fakta sejarah, sebagai hal yang perlu disampaikan untuk pengingat bagi bangsa Indonesia.


Pada era Indonesia modern, pernah dikemukakan setidaknya pada dua tahun lalu, indeks demokrasi kita belum menggembirakan! Saya paparkan laporan dari BPS per 2018-2020, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Menurut Aspek dan Provinsi, menerakan riset pada aspek kebebasan sipil secara nasional (se-Indonesia) angkanya pada tahun 2018: 78,46; tahun 2019:77,2; tahun 2020: 79,4. Aspek hak-hak politik angkanya pada tahun 2018: 65,79; tahun 2019: 70,71; tahun 2020: 67,85. Aspek Lembaga Demokrasi angkanya pada tahun 2018: 75,25; tahun 2019: 78,73; tahun 2020: 75,66. Sedangkan di Aceh lebih tinggi angkanya untuk aspek kebebasan sipil pada tahun 2018: 96,79; tahun 2019: 93,28; tahun 2020: 84,49. Aspek hak-hak politik pada tahun 2018: 68,09; tahun 2019: 65,22; 2020: 64,94. Aspek lembaga demokrasi tahun 2018: 77,67; tahun 2019: 79,08; tahun 2020: 74,91.


Sedangkan di DKI Jakarta, angkanya untuk aspek kebebasan sipil pada tahun 2018: 95,09; tahun 2019: 91,01; tahun 2020: 93,27. Aspek hak-hak politik pada tahun 2018: 75,43; tahun 2019: 83,95; 2020:84,82. Aspek lembaga demokrasi tahun 2018: 87,82; tahun 2019: 91,89; tahun 2020: 90,86 (seumber: Badan Pusat Statistik, 2009-2020, http://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/data/599/sdgs_10/1, diakses 27 Mei 2023).

Memotret Demokrasi Indonesia
Menurut laporan The Economist Intelligence Unit 2021 (bertajuk Democracy Indext 2020: in Sickness and Health?), Indonesia pada kategori demokrasi yang belum sempurna (merdeka.com, 6 Februari 2021, diakses 27 Mei 2023). Dari 5 indikator penilaian, Indonesia mendapat nilai 7.92 untuk proses pemilu dan pluralisme, 7.14 fungsi pemerintah, 6.11 partisipasi politik, 5.63 budaya politik demokrasi, dan 5.59 kebebasan sipil. Zaman terus berputar, kian tajam dan mendalam kriteria pengukuran kedemokratisan sebuah negeri. Menjadi kontekstual, menyandingkan prinsip seorang yang pernah menjadi hoofd redacteur/pemimpin redaksi di Hindia Baru, medianya orang-orang Belanda yang berpikiran maju.


Diceritakan, sebagai tokoh masyhur, ia dikenal sebagai penulis dan jurnalis piawai. Juga ketokohannya tak diragukan, sebagai tokoh partai besar: Sarekat Islam. Saat dilamar untuk memimpin koran, pria bersahaja ini mengajukan syarat: ia mendapatkan kebebasan. Bebas mengatur cara dan bentuk pemberitaan, membuat tajuk rencana, dan mengisi rubrik “Mimbar Jum’at” (yang terakhir, koran ini pelopornya…sebelumnya, tak ada di media cetak di Hindia Belanda).


Owners media setuju syarat yang diminta. Koran ini hadir merebut simpati juga mengundang kontroversi pembaca. Maklum, pemimpin redaksinya tidak mengurus koran itu seperti koran partai. Harian inipun makin maju meski mulai tidak sehaluan dengan pemiliknya. “Tuan Salim. Tolong kurangi, atau perlunak kritik saudara,” demikian kata sang komisaris utama perusahaan koran ini. Diingatkan begitu, Agus Salim, jurnalis ini malah keluar. Langsung? Ya. Ia tidak lebih dulu mencari-cari peluang lain sebelum memutuskan berhenti bekerja. Kawan-kawannya juga kaget. Mohammad Roem bertanya,” Pendapatan mendadak berhenti darimana uang untuk membayar kontrakan?” Saat itu Agus Salim orang kedua di Sarekat Islam setelah Oemar Said Tjokroaminoto, memang masih mengontrak.


“Hal itu sudah saya pikirkan sebelumnya. Selama saya menjadi pemimpin dan pengisi Hindia Baru, saya tidak berbuat seperti pemimpin Sarekat Islam, dan kalau saya menulis tajuk rencana saya tidak berpikir seperti dalam rapat partai. Saya melihat di hadapan saya Indonesia pada umumnya…Saya berusaha benar-benar agar Hindia Baru menjadi harian umum. Dalam hal ini saya mendapat kritikan dari kawan-kawan sendiri. Dan banyak kawan-kawan partai mengirim karangan yang tidak saya muat, karena kurang bermutu, atau hanya bermutu bagi partai. Tetapi mengenai keyakinan saya tentang pemerintah Hindia Belanda serta kebijaksanaannya, saya tidak bersedia tawar-menawar…Apakah memerlukan waktu untuk pindah rumah, lebih tepat ditanyakan kepada pemilik rumah…Kalau saya terus menulis, hanya dua kemungkinan: saya tidak mempedulikan permintaan pemilik harian, atau saya menyerah dan berkompromi dengan hati nurani saya.”


Dan Agus Salim bersama istri dan enam anaknya gonta-ganti rumah kontrakan karena ekonominya tidak pernah membaik. Ia alami apa yang pernah ia katakan:”Een leidersweg in een lijdenweg. Leiden is lijden.” Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita..
Tak heran kalau seorang diplomat Belanda, Schermerhon – lawan Sjahrir pada perundingan Linggarjati (14 Oktober 1946) menulis dalam catatan hariannya,” Dalam hubungan ini khusus saya ingat kepada Salim, …Orang tua yang sangat pandai ini sangat jenius dalam bidang Bahasa, mampu bicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit Sembilan Bahasa, mempunyai satu kelemahan: selama hidupnya melarat.”


Tentang itu, khalayak bumi putera Indonesia. Kalau saya mengungkap saat ini, saya pastikan hal itu punya relevansi dengan fenomena kontemporer negeri kita, meskipun kita tidak di alam penjajahan pihak asing manapun, dan kita sedang di alam Indonesia Merdeka.

Menakar Kualitas Demokrasi
Maka, pada era multimedia seperti saat ini, media sosial pun menjadi ruang kampanye termasuk pemerintah. Tak lagi cukup prasangka baik membaca pemberitaan, harus menyiapkan diri untuk mencermati madia mainstream maupun media sosial.


Saya baca perkembangan, sejumlah pasal dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017  tentang Pemilu mengenai sistem proporsional terbuka menjadi pembuka diskursus politik di awal 2023, masih menjalani uji materi. Delapan fraksi di DPR kompak menolak, sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berada di barisan yang setuju dengan materi uji materi. 


Sikap PDIP sudah jelas dari awal. Satu dari enam nama yang mengajukan uji materi ke MK adalah pengurus PDIP. Dia adalah Demas Brian Wicaksono. Lima nama lain adalah Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.  Uji Materi itu tercatat dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Adapun poin penting dari uji itu adalah meminta agar MK mengubah bunyi pasal dari sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup dengan alasan lebih menjamin hadirnya kualitas legislatif dan lebih hemat anggaran.


Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto beralasan partainya berprinsip ingin mendorong mekanisme kaderisasi di internal partai politik. Sistem pemilu tertutup dipercaya bisa memberi ruang bagi politisi berpengalaman dan berkualitas untuk mengisi posisi legislatif sehingga melahirkan kebijakan yang berkualitas. “Bagi PDIP kami berpolitik dengan suatu prinsip, dengan suatu keyakinan berdasarkan konstitusi, peserta pemilu adalah parpol dan kemudian kami ingin mendorong mekanisme kaderisasi di internal partai,” ujar Hasto di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Selasa (3/1) silam.


Sikap keras PDIP justru dianggap sebagai upaya melanggengkan oligarki politik oleh delapan partai lainnya di parlemen. Wakil ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin justru mengatakan sistem proporsional terbuka lebih mewakili kehendak rakyat karena pemilih bisa mencoblos langsung calon yang dipercaya. Delapan partai bersepakat putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan pemilihan terbuka sudah tepat. 


Adapun 8 fraksi yang menandatangani sikap bersama adalah fraksi Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PBB). Para fraksi sependapat bahwa pemilu harus dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, yaitu pemilih mencoblos caleg saat pemilu bukan mencoblos partai.   “Kemajuan demokrasi pada titik tersebut harus kami pertahankan dan malah harus dikembangkan ke arah yang lebih maju, dan jangan kami  biarkan setback, kembali mundur,” ujar delapan fraksi dalam surat pernyataan bersama yang ditandatangani Selasa (3/1).


Dalam pernyataannya, delapan fraksi menekankan pada tiga poin sikap. Pertama, akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju. Kedua, meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.   “Ketiga, mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai amanat Undang-Undang, tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara,’ tulis delapan fraksi dalam pernyataan. 


Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan lembaganya tidak akan terganggu dengan polemik para partai terkait sistem pemilu. Ia menyerahkan pada Mahkamah Konstitusi untuk memutus uji materi yang sedang dilakukan. Hasyim menyebut KPU akan lebih fokus melakukan sejumlah persiapan demi mensukseskan penyelenggaraan pemilu 14 Februari 2024 mendatang. AKankah ikhtiar itu menggaransi kualitas demokrasi melalui pemilu? Wallahu a’lam

Tentang Penulis

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda