Aktualita

Tanah, Nyawa Kehidupan Petani

Avatar photo
Written by Arfendi Arif

Bagi petani, tanah adalah kebutuhan pokok untuk kehidupan. Petani dan tanah adalah sinergi hidup yang tidak bisa dipisahkan. Ia ibarat tubuh dan nyawa untuk menunjang kelangsungan ekonomi.

Hubungan simbiosis mutualisme antara petani dan tanah paling nyata terlihat di pedesaan. Perkembangan pasar untuk menjawab kebutuhan permintaan beragam jenis hasil bumi pertanian mendorong produktivitas kerja petani.

Seperti terlihat di Nagari Balingka, Kabupaten Agam, Bukittinggi,Sumbar, kebutuhan tanah makin meningkat. Ini terutama disebabkan adanya gairah masyarakat untuk bertani menjawab kebutuhan pasar yang makin meningkat terhadap beberapa komoditi pertanian dengan nilai jual harga yang bagus.

Jsnis-jenis tanaman baru yang sedang viral (meminjam iistilah medsos) di masyarakat seperti cabe, strawberry, buncis, loba, bawang merah, wortel dam lainnya, maka perkembangan kebutuhan tersebut meningkatkan perlunya lahan tanah untuk melakukan penanaman komoditas pertanian tersebut.

Karena itu gairah pembukaan lahan -lahan baru dengan merambah tanah kosong yang ditumbuhi hutan liar makin intensif. Jika selama ini lahan tersebut tidak diperhatikan dengan serius dan dibiarkan menjadi rimba atau hutan kecil, kini mulai digarap untuk menanam komoditi yang laku di pasaran.

Pembabatan lahan atau tanah tersebut dilakukan oleh pemilik sendiri, namun juga bisa pula digarap bukan oleh pemiliknya, tetapi oleh orang luar dengan cara menyewa sekian tahun sesuai kesepakatan.

Namun, bisa juga terjadi digarap oleh bukan pemilik tanah, sehingga kemudian ada yang mengklaim sehingga dibuat kesepakatan, misalnya dengan mengadakan perjanjian sewa atau kontrak tanah.

Tetapi bisa juga terjadi konflik atau sengketa, masing-masing mengaku sebagai pemilik tanah. Masalah tanah di pedesaan atau nagari ini memang ruwet, karena umumnya tanah pusaka atau tanah ulayat, tidak ada bukti sertifikat. Yang dijadikan alasan hanyalah kemampuan untuk mengungkapkan nasab atau sejarah tanah tersebut secara turun temurun dari mulai keluarga dan seterusnya.

Demikian juga munculnya komoditi pertanian yang laku di pasaran, menyebabkan timbulnya ekspansi petani dari luar desa atau nagari. Datangnya petani dari luar ini juga mengakibatkan sebagian warga desa menjual tanah atau menyewakan tanah. Dengan demikian lahan tidak sia-sia dan tidak menganggur, tanah yang sudah liat atau mengeras menjadi berguna dan bermanfaat setelah diolah.

Positif lainnya dengan fenomena penggarapan tanah baru tersebut membuka lapangan kerja baru. Yaitu dibutuhkan tenaga pemetik hasil pertanian dan tenaga penggarap untuk membuka lahan baru yang masih hutan atau rimba. Seperti yang nampak, banyak tenaga kerja pemetik cabe dan strawbery ini dari kalangan wanita dan ibu-ibu rumah tangga dan sebagian laki-laki. Sedangkan pembuka lahan baru baru atau lahan yang sudah ditumbuhi hutan rata-rata tenaga kerja laki-laki.

Ada kebijakan pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah Nagari dan pemuka masyarakat atau pengulu (pemuka adat)– meski baru bersifat himbauan–agar orang luar atau pendatang–tidak diperbolehkan dan dibatasi untuk membeli tanah atau menyewakan tanah– ini dengan maksud agar penduduk setempat lebih mendapatkan peluang untuk mencapai kemajuan dan terangkat kehidupan ekonominya.

Kenyataan di atas memang sesuai dengan banyak pengalaman, bahwa pekerja pendatang lebih agresif, ulet, rajin dan kreatif dalam bekerja dan aktifitas ekonomi ketimbang penduduk setempat atau penduduk asli, yang cepat merasa puas dalam bekerjpa dengan penghasilan tidak maksimal.

Dan, himbauan ini suatu upaya atau sinyal agar penduduk asli atau lokal bisa bekerja dan berusaha lebih baik agar menjadi tuan di kampungnya sendjri. Tentu hal ini sangat manusiawi.

About the author

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda