Ads
Cakrawala

Kebangkitan Nasional dan Kontribusi Organisasi Islam

Avatar photo
Ditulis oleh Fuad Nasar

Setiap 20 Mei bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Momentum kebangkitan nasional dihitung sejak 20 Mei 1908. Tanggal bersejarah itu merupakan hari berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo di Batavia (Jakarta). Boedi Oetomo diprakarsai oleh pelajar Sekolah Kedokteran STOVIA (School tot opleiding voor Indische Artsen) dengan tokoh penggeraknya Dr. Soetomo.

Semenjak bangsa asing menginjakkan kaki di bumi Nusantara, kaum pribumi telah melancarkan politik non-cooperatie dan bangkit melakukan perlawanan secara fisik, ideologi dan pemikiran terhadap penjajahan (kolonialisme dan imperialisme). Walau ada sebagian kecil orang Indonesia yang bekerja sama dan membantu pemerintah kolonial daripada membela nasib bangsanya, tetapi arus pergerakan nasional jauh lebih besar dan menentukan perjalanan sejarah.

Mohammad Hatta dalam Kumpulan Karangan Jilid I, mengemukakan, “Barangsiapa yang mempelajari Pergerakan Kemerdekaan di Indonesia, janganlah ia menyangka, bahwa pergerakan itu berdiri sendiri dan tidak bertali atau bersangkut dengan kejadian-kejadian dunia.”

Kebangkitan nasional 1908 bukan suatu peristiwa atau gelombang sejarah yang berdiri sendiri. Kebangkitan nasional memiliki hubungan dengan rangkaian peristiwa sebelum dan sesudahnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Membicarakan kebangkitan nasional tak dapat dilupakan peranan pergerakan Islam dalam merintis tumbuhnya rasa kebangsaan dan nasionalisme Indonesia modern. “Jika tidak ada agama Islam di Indonesia, niscaya akan lenyaplah kebangsaan Indonesia dari kepulauan ini.” demikian kata pahlawan nasional Dr. Ernest Douwes Dekker alias Dr. Setiabudi.

Menurut catatan A.K. Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (1967), pada tahun-tahun pertama kehadirannya, Boedi Oetomo tidak mengarahkan perhatian kepada seluruh Indonesia, tetapi hanya untuk seluruh Jawa dan terbatas untuk orang-orang terpelajar dan ningrat saja. Berbeda dengan Boedi Oetomo, Sarekat Islam sejak berdirinya diarahkan kepada rakyat jelata dengan ruang lingkup seluruh Indonesia.

Sebelum Boedi Oetomo telah lahir terlebih dahulu Sarekat Dagang Islam (SDI) yang berdiri pada 16 Oktober 1905. Organisasi ini dipelopori dan dipimpin oleh Haji Samanhoedi, seorang saudagar batik di kota Solo. Wartawan senior H. Rosihan Anwar dalam buku Jatuh Bangun Pergerakan Islam di Indonesia (2011) menulis, “pelopor gerakan nasionalisme yang menentang kolonialisme dan imperialisme Belanda ialah Islam.”

Kendati SDI dimaksudkan sebagai koperasi pedagang batik, gaung kehadirannya mampu melintasi wilayah ekonomi. SDI muncul sebagai simbol perlawanan rakyat Indonesia melawan kesewenang-wenangan bangsa asing (Belanda) yang mengeksploitasi kekayaan bumi Indonesia dan menyebabkan rakyat pribumi tetap hidup dalam kemiskinan. Dalam waktu yang relatif singkat SDI mempunyai cabang di berbagai pelosok Nusantara. Tujuh tahun kemudian, tahun 1912, SDI mengubah dirinya menjadi organisasi politik yang pertama di Indonesia, dengan nama Sarekat Islam disingkat SI.

Seperti dikemukakan oleh Bung Hatta, walaupun perkumpulan politik ketika itu masih dilarang oleh undang-undang pemerintah kolonial, namun Sarekat Islam terus mengembangkan sayapnya ke seluruh Indonesia. Beratus-ratus ribu rakyat dari segala golongan dapat berlindung di bawah panji-panji Sarekat Islam, seolah-olah perserikatan ini suatu pondok umum, tempat segala orang mengadukan keluh kesahnya dan membongkar isi perutnya, tulis Bung Hatta.

Sejak semula Sarekat Dagang Islam dan seterusnya Sarekat Islam mendasarkan perjuangannya pada asas Islam dengan watak anti-imperialisme, anti-kapitalisme, dan anti-feodalisme. SDI menghimpun kekuatan kaum muslimin tanpa memandang suku maupun golongan. Organisasi pelopor tersebut menggerakkan rakyat untuk melawan imperialisme, kapitalisme dan feodalisme.

Margono Djojohadisusumo dalam Kenang-Kenangan Dari 3 Zaman (terjemahan dari bahasa Belanda oleh Drs. Muhammad Radjab, 1969) mengemukakan Sarekat Islam pada waktu itu sungguh-sungguh satu organisasi massa, yang berbeda dengan Budi Utomo atau Indische Partij. Dua tokoh penting Sarekat Islam yaitu Hadji Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto merupakan kekuatan yang menggerakkan Sarekat Islam, tulis Margono Djojohadikusumo yang juga pendiri Bank Negara Indonesia 1946 (Bank BNI).

Dalam aliran semangat memajukan umat dan bangsa sesuai perintah agama Islam agar umatnya memperjuangkan hasanah fid dunya dan hasanah fil akhirah serta melawan hegemoni sistem kolonial, berbagai perkumpulan dan organisasi keagamaan telah berdiri sejak sebelum Indonesia merdeka. Persyarikatan Muhammadiyah lahir di Yogyakarta tahun 1912. Para tokoh keturunan Arab di Jakarta mendirikan perkumpulan Jamiat Kheir (1901). Selain itu lahir Al-Irsyad Al-Islamiyah (1914), Persatuan Islam (1923), dan Nahdlatul Ulama (1926).

Organisasi Islam dan pendidikan yang lahir di luar Jawa, seperti di Sumatera, dalam zaman kolonial yang serba membatasi kegiatan rakyat, antara lain: Madrasah Adabiah Padang (1909), Sumatera Thawalib Padang Panjang (1911) dan Parabek, Persatuan Guru-Guru Agama Islam atau PGAI Padang (1918), Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang (1923), Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Canduang (1928), Persatuan Muslimin Indonesia atau PERMI yang berwujud partai politik di Padang Panjang (1930), Jam’iyatul Washliyah di Medan (1930), dan organisasi lainnya di berbagai daerah. Organisasi Islam lahir dan tampil sebagai wujud kebangkitan bangsa Indonesia di bidang dakwah agama, pendidikan, sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan mengandalkan kekuatan bangsa sendiri.

Menurut Prof. Dr. H.A.Mukti Ali dalam buku Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia (1964), background dan latar belakang berdirinya gerakan-gerakan Islam itu yang disimpulkan dalam lima segi, salah satu di antaranya ialah karena keadaan politis, ekonomis dan sosial, sebagai akibat keadaan Indonesia sebagai negeri jajahan. Faktor-faktor inilah – ujar Mukti Ali, mantan Menteri Agama itu – yang menjadi sebab mengapa organisasi-organisasi itu berdiri dan harus berdiri, dan kepada sektor-sektor inilah aktivitas organisasi-organisasi itu ditujukan.

Mohammad Natsir dalam kutipan Deliar Noer pada buku Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, mengatakan bahwa bertahun-tahun sebelum pemakaian kata nasionalisme Indonesia, pada waktu berbagai organisasi, seperti Boedi Oetomo, Pasundan, Jong Sumatranen Bond dan sebagainya, membatasi keanggotaannya pada suku bangsa bersangkutan masing-masing, pergerakan-pergerakan yang berdasar kepada agama Allah semata-mata, sudah lama mempunyai ikatan ‘Kebangsaan Indonesia’.

Menurut Natsir, “Pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia, yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mula-mula menanam persaudaraan dengan kaum yang sama senasib di luar batas Indonesia dengan tali keislaman.”

Sejarah mencatat dalam setiap gelombang perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan dan mengobarkan semangat kemerdekaan, pergerakan Islam, baik yang bersifat lokal maupun nasional mengambil peran sebagai perintis jalan atau istilah lainnya sebagai kekuatan pelopor. Organisasi keagamaan ikut membidani kemerdekaan Indonesia dan mengisi kemerdekaan di bidang keagamaan, kemasyarakatan dan kemanusiaan yang membawa kemaslahatan untuk semua. Mengutip istilah Prof. Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, organisasi Islam tidak hanya sebagai majelis/perkumpulan doa, dalam arti tidak hanya bergerak dalam soal keyakinan dan ibadah.

Organisasi Islam tidak eksklusif, tetapi menyatu dengan denyut nadi perjuangan dan kebangkitan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama, golongan dan pilihan politik. Seluruh pergerakan Islam yang tumbuh di zaman penjajahan dan seterusnya bergerak dalam konteks dinamika keislaman dan keindonesiaan!

Tentang Penulis

Avatar photo

Fuad Nasar

Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Kementerian Agama RI, pernah menjabat Sesditjen Bimas Islam.

Tinggalkan Komentar Anda