Ads
Bintang Zaman

Abdullah bin Abdulkadir Munsyi: Pujangga dan Ulama dari Tanah Melayu

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi adalah seorang pengarang Melayu yang terkenal di abad ke-19. Karena itu ia digelari munsyi di belakang namanya, yang berarti pujangga. la hidup dalam zaman penuh pergolakan, tetapi penuh dengan kegiatan kemajuan. Zaman Abdulkadir disebut zaman yang cukup hebat dalam sejarah kemajuan kesusastraan di Asia Tenggara terutama di Malaysia masa lalu.

Abdullah telah banyak mengarang buku yang bernilai. Abdullah hidup dalam aneka ragam corak dan pergolakan, menyebabkan ia seorang yang dilecut oleh masanya untuk menyadari situasi tersebut. Seakan-akan hidupnya bertolak dari zaman kehancuran Melayu menuju tegaknya peradaban Barat di tanah Melayu yang menimbulkan inspirasi kenang-kenangan baginya.

la mempunyai keinginan mendalami soal bahasa yang diturunkan oleh jiwa ayahnya. Karena itu tidaklah diherankan seorang yang sangat memuja bahasa Melayu dan banyak menulis dalam bahasa tersebut.

Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh Abdullah, sebenarnya tidaklah murmi seluruhnya, bahkan banyak ia mempergunakan perkataan yang sukar dimengerti. Akan tetapi sebagai seorang pujangea di zamannya yang terbesar dan paling memberikan perhatian terhadap bahasa itu, maka ia tak bisa disesalkan.

Maka berbanggalah orang Melayu di seluruh Malaysia akan perjalanan hidup Abdullah sebagai seorang tokoh utama dalam bahasa Melayu dan pujangga dalam kesusastraan Melayu.

Silsilah keturunannya

Hikayat Abdullah adalah salah satu dari karangannya yang menerangkan silsilah keturunannya seperti berikut.

“Sebermula moyangku laki-laki itu seorang Arab negerinya Yaman dan bangsanya Usmani,sedangkan marganya Syekh Abdulkadir. Pekerjaan menjadi guru tentang agama dan bahasa. Dari Yaman ia turun ke negeri bawah angin singgah di Negeri India.

Di negeri itu ia mengajar agama beberapa lama. Kemudian ia kawin di negeri itu dengan wanita Keling. Dengan istrinya ini, ia beroleh empat orang anak laki-laki, yaitu; Muhammad Ibrahim, Muhammad Disa, Nur Muhammad dan Abidin.

Setelah ia wafat, anak-anaknya turun lagi ke bawah angin. Anaknya yang bernama Muhammad Ibrahim datang ke Malaka, kemudian beristeri di situ dan itulah nenekku perempuan bernama Paraci. Kemudian lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdulkadir sebagai mengambil berkah nama bapaknya yang telah meninggal.

Mengenai anaknya yang tiga orang lagi, semuanya pergi ke tanah Jawa. Muhammad Disa pergi ke Ambon dan kawin di sana. Muhammad Nur pergi ke Sedayu beranak cucu pula di sana. Dan Zainal Abidin pergi ke Semarang, juga beranak cucu disitu, sampai meninggalnya. Mengenai Abdulkadir yang menjadi bapak dari Abdullah menetap di Malaka. Waktu kecilnya belajar Qur’an kemudian belajar bahasa. Kemudian ta berdagang sekitar Malaka juga. la berdagang sambil mengajar pula tentang agama seperti sembahyang dan membaca Al-Qur’an dan pelajaran yang rendah-rendah. Karena demikian ia dikawinkan di kampung Lubuk Keping dan ia diangkat menjadi khatib dalam negeri itu. Kemudian ia pindah ke Sungai Baru dan di situ pun ia diangkat menjadi ulama dan khatib.

Anaknya yang pertama bernama Muhammad Ali dan seorang anak perempuan bernama Syarifah.
ia seorang yang paham bahasa Melayu, la pandai mengarang surat dan mengatang kisah-kisah. Karena kepandaiannya itu ia dapat mencari makan sekedarnya. Juga ia mengajar scorang Inggris dalam bahasa Melayu.

Demikian beberapa lama ia tinggal di Sungai Baru dengan pekerjaan itu. Kemudian atas desakan familinya ia banyak tinggal di Malaka. Dengan kepindahan ini, ia terpaksa bercerai dengan isterinya yang di Sungai Baru. Di Malaka pun kemudian ia dikawinkan dengan seorang wanita yang berasal dari Hindu yang lahir di Kedah namanya Salmah.

Itulah ibunya Abdullah.”

Di Malaka, Abdulkadir bekerja sebagai sjahbandar Belanda, karena waktu itu Belanda yang memerintah di Malaka, pekerjaannya sebagai syahbandar itu sangat menguntungkan rupanya sehingga ia seakan-akan seekor tikus yang jatuh ke gudang beras hidup dengan mewah sekali berlebih-lebihan. Salmah melahirkan empat orang anak laki-laki tetapi sayang keempat-empatnya meninggal dunia.

Inggris datang mengambil alih kekuasaan Belanda di Malaka. Maka Malaka berada di bawah kekuasaan Inggris yang dipimpin Mayor Cook. Kemudian Cook. pergi digantikan. oleh Falquhar sebagai raja di Malaka.

Setelah terjadi perubahan kekuasaan Malaka itu, Abdulkadir merubah usahanya menjadi saudagar ‘membawa dagangan ke negeri Siak. Siak adalah megeri yang sangat. kaya, di waktu itu berpikul-pikul emas didatangkan dari sana.

Tapi tak lama kemudian Abdulkadir kembali bekerja dengan pemerintah Inggris yaitu dengan raja muda Malaka tuan Adrian Kock. Ia diangkat pula menjadi raja-raja Melayu’ seperti Lingga, Pahang, Terangganu, Kelantan, Palembang bahkan sampai ke tanah Jawa dan sebagainya.

Karena itu namanya menjadi terkenal di setiap negeri sebagai orang besar, diplomat dan ahli siasat yang ulung.

la berkenalan dengan raja-raja negeri itu secara baik dan ia dihargai sepantasnya sebagai seorang utusan raja suatu negara.

Masa kecilnya

Abdullah dilahirkan pada tahun 1796 di Kampung Pali (Kampung Mesjid). Sebelum kelahiran Abdullah ini, ibunya telah melahirkan empat orang anak yang semuanya laki-laki, tetapi semuanya pula meninggal dunia sejak kecil.

Tentu saja ibunya sangat bérduka cita atas kematian berturut-turut itu sehingga ia seakan-akan telah berputus asa dan akan beroleh anak lagi. Setiap hari ibunya menangis dan tersedu-sedu saja. Pada suatu. hari seorang Arab bernama ‘Abdullah Haddad., konon dikata orang ia itu seorang aulia; dan seorang guru agama yang masyhur alimnya.

Kebetulan rumah habib itu berhadapan dengan rumah ibu Abdullah. Karena selalu saja dilihatnva bermuram durja dan menangis, maka Abdullah memberi nasehat kepada wanita itu supaya tetap bersabar dan tak lama lagi ia tentu akan hamil dan akan melahirkan seorang anak laki-laki. Dan kalau anak itu kelak telah lahir, hendaklah diberi nama Abdullah. Benarlah kemudian lahirlah Abdullah.

Di masa kecilnya, ternyata Abdullah tetap berpenyakitan saja. Hal mana mengecewakan ibu bapaknya. Akan tetapi karena terlalu sayang kepada anak, biji mata yang sangat dicintai tidaklah segala macam penyakit itu menjadi halangan bagi mereka. Bahkan bermalam-malam tidak tidur karena mengasuh anak yang dalam sakit itu.

Pelajaran pertama yang diterimanya ialah mengaji. la diserahkan waktu siang kepada guru mengaji dan malamnya belajar dengan ayahnya sendiri di rumah.

Cara mengajar di zaman itu sungguh terlalu. kasar yang dilakukan guru terhadap murid-muridnya. Murid-murid yang belajar selalu dipukul dan ditimpa dengan kayu atau rotan sehingga menurut kisah Abdullah sendiri:

’’Maka berapa banyak kena pukul dan tampar, dan berapa banyak papan dan Ioh yang pecah-pecah ditumpaskan oleh guru kepadaku dan berapa rotan yang pecah-pecah ditubuhkan, dan berapa kali ditangisi oleh bundaku akan daku, sebab terlalu banyak kena pukul itu. Maka jari-jariku sampai bengkak-bengkak kena pukul sebab menulis salah. Ketahui olehmu ydemikian memperoleh ilmu dan akal serta kepandaian yang baik. Seorang ibu atau Bapak yang hendak menyerahkan anaknya belajar agama atau mengaji Qur an, harus berhati tabah dan sabar. Karena penyerahan itu akan berakibat anaknya ditimpa-timpa kena pukul dan hardik serta perkataan-perkataan kasar. Bahkan di tempat mengaji itu, disediakan bermacam-macam alat penghukum si murid yang dianggap bersalah yang semuanya sangat menakutkan.

Dan orang tua yang menyerahkan anaknya berkata kepada guru yang akan mengajar ’’Saya serahkan anakku kepada tuan untuk diajar ilmu pengetahuan agama. Hanya saya minta kepada tuan guru, matanya jangan dicungkil, dan kaki tangannya jangan dipatahkan. Selain itu tuan perbuatlah sekehendak hati tuan terhadap anakku ini.’’

Harus begitu orang tua berkata sang Guru. Dan barulah anaknya bisa diterima.

Di samping belajar agama itu, ayahku sendiri mengajarku menulis baca.’’

Abdullah tidak boleh bermain-main, tetapi harus rajin belajar. Berkat rajinnya belajar tulis baca itu, kerap kali ia diupah menuliskan ayat-ayat Qur’an oleh orang-orang Islam yang ingin tahu, Qur’an.

Di samping itu ia belajar pula bahasa Hindustan karena pergaulannya banyak dengan orang-orang India yang menjadi penduduk di Malaka itu. Dan sesudah bahasa-bahasa Melayu dan Hindustan itu dikuasainya ia pun kemudian diangkat orang menjadi guru bahasa di Malaka. Itulah sebabnya ia diberi nama “Munsyi” yang artinya guru bahasa.

Mengarang

Adalah ayah Abdullah seorang pandai dan bijaksana pegawai tinggi dari pejabat Inggris di Malaka. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai pegawai tuan Adriaan Cook. Akan tetapi Abdullah sendiri selalu diasuhnya baik-baik di rumah terutama belajar tults-menulis (karang mengarang).

Ayahnya selalu dimintai orang bantuannya tentang mengarang surat apa pun juga, orang pergi kepada ayahnya untuk mengarangkannya. Ayah Abdullah tiap hari sibuk dengan permintaan-permintaan surat-menyurat ini.

Sebab waktu itu orang yang pandai  membuat surat, sulit sekali. Satu-satunya hanyalah ayah Abdullah.

Abdullah pun dididik kepandaian mengarang ini oleh ayahnya dengan baik. Ayahnya sangat streng mengajar. Selain streng, juga sangat pemarah. Abdullah tak pernah baik atau terpuji oleh ayahnya, selalu saja dianggap bodoh. Karena itu takutnya Abdullah kepada ayahnya bukan main.

Suatu hari seorang nakhoda kapal datang, dari Siak datang ke rumahnya. Ketika itu Ayah Abdullah sedang tak ada di rumah. Sejak pagi nakhoda itu menunggu di rumah tapi belum juga pulang. Setelah pulang tengah hari, nakhoda itu kembali lagi dan menunggu juga, namun ayah Abdullah tak datang juga.  Abdullah sendiri yang sejak tadi tadinya tak mau ikut campur urusan ayahnya, sekarang timbul pikirannya hendak menegur tamu yang sudah terlalu lama menunggu itu.

Ia bertanya: ’’Apakah kira-kira maksud Encik?
‘‘Saya menunggu Ayah (Abdulkadir) karena hendak membuat surat jalan ke Siak,’’ jawab tamu itu.

“Mungkin Ayah lama baru pulang, karena kerja terlalu sibuk di kantor.”

“Kami telah berjanji di rumah ini’’ jawab Nakoda. :

“Apakah boleh saya mencoba menolong tuan?’’

“Jika anak bisa, terimakasih.’’ . Setelah menanyakan apa-apa yang perlu, maka Abdullah lalu menuliskan surat jalan yang dimaksud.

Dan ternyata surat itu sudah betul dan cukup baik. Dengan mengucapkan banyak terimakasih, maka nakhoda itu menyodorkan uang seringgit, sebagai upah jerih payahnya.

Alangkah gembiranya Abdullah menerima uang sebanyak itu padahal usahanya hanya sedikit saja.

Tiba-tiba datanglah ayahnya. Dan Abdullah lari ke dalam kamarnya karena ketakutan, dan menyesal karena telah berani membuat karangan surat itu.

la bersembunyi dalam kamar seraya mendengarkan percakapan antara ayahnya dan nakoda itu. Bukan main takutnya ketika mendengar namanya disebut oleh nakhoda itu. Ayahnya ketika melihat karangan yang dibuat Abdullah itu berkat anak nakal berani membuat surat……. tuan boleh pakai surat itu, katanya kemudian.

Ayahnya tersenyum-senyum masuk ke dalam ruangan kamar. Ibunya merasa heran mengapa ayah jadi tersenyum-senyum itu, padahal biasanya tak demikian. “inilah anak yang kucita-citakan, selama ini. Kini, ta sudah boleh dibanggakan, sebagai anak yang baik. la telah pandai menulis, telah pandai mengarang, telah boleh menggantikan kedudukanku.”

Abdullah yang mendengar di dalam itu, ikut gembira, karena barulah sekarang mendapat pujian dari ayahnya. Tapi anehnya ketika ayahnya masuk ke dalam kamar, bukan pujian yang dikeluarkan, tapi tetap  merupakan celaan.

Dikatakan surat yang ditulisnya itu terlalu. banyak salahnya, tapi sudah dibetulkan. Abdullah belajar bahasa Melayu kepada Datuk Sulaeman.

Istimewa tentang pembacaan Qur’an, ia belajar dengan seorang Arab asal Yaman serta muallim Muhyiuddin yang baru datang dari Aceh. Belajar tentang ilmu-ilmu agama, dengan Sayid Syech bin Alwi Bafaqih.

Demikian secara ringkas kisah hidup Abdullah bin Abdulkadir Munsyi pujangga Melayu dan ulama Islam tanah Melayu itu. Sebagai pengarang ia telah menulis buku-buku:

  1. Hikayat Abdullah bin Abdulkadir Munsy!
  2. Sejarah Malaka
  3. Kisah pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan
  4. Syair Singapura dimakan api.

§. Hikayat Panjatanderan (Hikayat Galilah dan Damimah)

•  Kisah perjalanan Abdullah ke negeri Jeddah.

Dalam kehidupannya yang lebih 50 tahun itu ia telah banyak membaktikan Jasa-jasanya untuk tanah Melayu. Ia meninggal tahun 1854 waktu menunaikan ibadah haji di Mekkah.

Penulis: Tamar Djaja (1913-1984), wartawan dan penulis buku-buku populer dari agama, biografi, novel, sampai sejarah

Sumber: Panji Masyarakat No 336, 21 Seeptember 1981

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading