Masalah prinsip, sukses, dan gagal ini bukan semata-mata menyangkut pilihan, umpamanya dalam pemilihan umum, melainkan juga dalam memegang kekuasaan (bukankah yang kita bicarakan politik). Lama tidaknya seseorang duduk dalam kekuasaan, di samping bergantung pada kemampuannya dalam mengendalikan pemerintahan, juga pada kesanggupannya mempertahankan posisinya. Ketentuan-ketentuan konstitusional tentang lamanya seseorang duduk dalam kekuasaan, bila ada, tentu sekali perlu. diperhatikan. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan wajar atau tidaknya seseorang meneruskan kekuasaannya, atau yang berhubungan dengan kepatutan dan ketidakpatutan, lebih bergantung pada kebiasaan serta perasaan masyarakat bersangkutan. Dan untuk dapat dihargal, soal kemampuan dan kesanggupan itu selanjutnya juga bergantung pada cara kekuasaan itu dilaksanakan. Akhirnya dua faktor menentukan: kepercayaan dari rakyat, atau kemampuan pemerintah dengan kekuataan dan paksaan.
Tetapi kekuasan, seperti yang dicita-citakan di Indonesia oleh golongan mana pun (dan ini sesuai dengan cita-cita pergerakan kemerdekaan dahulu), bukan tujuan, melainkan alat. Orang bukan duduk sekadar untuk duduk dan kuasa, melainkan untuk berbuat yang lain — dengan kekuasaan itu umpamanya menegakkan keadilan, membangun. Dalam hal keadilan ini orang mempertanyakan apakah keadilan itu menyeluruh sifatnya serta tercermin dalam kenyataan, atau hanya untuk sebahagian orang saja. Dalam hal. membangun, apakah sifat membangun itu menyeluruh atau hanya untuk sebagian orang pula, atau – sebagai daerah. Tentu saja maksud serta cita-cita itu diuji dalam program dan dalam pelaksanaan. Dengan kata lain, akan dipertanyakan akhirnya apakah kekuasaan yang ada itu dimanfaatkan untuk diri, golongan, atau keseluruhan.
Nyatalah bahwa hubungan prinsip di satu-pihak, dan sukses atau kegagalan di pihak lain, sangat: erat. Prinsip ini bisa pula berbagi dua: yang baik (seperti keadilan yang menyeluruh tadi, membangun dengan merata, jujur, ikhlas, dan sebagainya); yang tidak baik (seperti keadilan untuk diri dan golongan saja, membangun untuk diri dan golongan pula, curang, mau menang sendiri dan sebagainya). Kedua jenis prinsip ini perlu jelas tercermin dalam memberikan penilaian.
Kita tidak perlu terlalu jauh untuk mengambil ibarat, seperti Sokrates yang dihukum mati (jadi gagal?) sedangkan namanya tercatat sampai kini sebagai pemegang prinsip yang baik (jadi sukses?). Atau Ibn Taimiyah yang mati dalam penjara (jadi gagal?) padahal ajarannya senantiasa dijadikan pegangan tiap kebangkitan Islam kemudian (jadi berhasil?).
Ambillah Diponegoro, Imam Bonjol, Cik Ditiro dan banyak pahlawan yang benar-benar pahlawan. Mereka semua gagal dalam -membela kebenaran dan keadilan. Malah di antaranya ditangkap dan dibuang oleh musuh. Tetapi mereka senantiasa dihargai terus, sampai kepada anak cucu, malah tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa, karena ukuran prinsip yang mereka pakai mereka laksanakan dengan konsekuen; keadilan (termasuk di dalamnya kemerdekaan, karena perhambaan dalam bentuk jajahan tidak bersandar pada keadilan), kejujuran, dan keikhlasan — mereka satu kata dengan perbuatan. Dan pada waktu-waktu tertentu mereka pun didoakan oleh jutaan manusia? Alangkah nikmat arwah mereka menerimanya.
Cobalah lihat Bung Hatta! Dari segi kekuasaan politik, nyata ia gagal! Semenjak tahun 1956 sampai akhir hayatnya, ia tidak memegang apa-apa kekuasaan atau kedudukan resmi. Banyak pula cita-citanya yang dikemukakannya sejak masa jajahan tidak wujud. Padahal cita-cita itu bukan untuk dia, melain untuk bersama, untuk rakyat -yang. kebanyakan masih hidup di bawah kelayakan, baik material maupun rohaniah. Dilihat pada lahirnya memang gagal; namun sebagai insan ia sukses, dan inj tercermin dari kesayangan kita melepasnya pergi pada akhir hayatnya, dari ribuan mereka yang berjejal mengantar jenazah, puluhan karangan yang dipatrikan dalam buku untuk mengenang dan menghormatinya! Dan janji begitu banyak manusia untuk. meneruskan cita-citanya!
Lihatlah Buya Hamka! itu ulama yang acap kontroversial, baik pada waktu muda, maupun pada waktu tua. Di masa muda ia lawan orang-orang tua yang ’’kolot’’, ia karang buku-buku roman yang bagi sebagian orang termasuk ’’nauzubillah’’ . dengan téma pemberantasan kebiasaan-kebisaan yang tidak sesuai lagi dengan zaman, tetapi yang senantiasa menundukkan diri kepada Allah Yang Maha Besar! Pada waktu berumur ia pilih Masyumi sebagai partainya (oleh sebab itu ia ’’lepaskan” sebagian umat, yaitu yang berada di luar Masyumi), dan ia pilih Islam di atas Pancasila dalam sidang-sidang Konstituante. Setelah umur tambah lanjut ia katakan bahwa Pancasila perlu ditegakkan Pancasila yang tidak dilepaskan dari Islam — dan ia menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia. Sebagai ketua umum ini ia bermaksud menjembatani jurang yang ia lihat terbentang antara ulama dan umara, terutama pemerintah .Maka kedua pihak pun, ulama dan pemerintah, mempertanyakan pendirinya yang sesungguhnya. Tetapi dua bulan sebelum ia menghadap Ilahi, ia letakkan kursi ketua umum Majelis Ulama itu, tanpa bermusyawarah dengan siapa pun kecuali anaknya. Maka terbitlah dalam Panji Masyarakat, majalah yang ia dirikan dan ia asuh, beberapa kalimat kata-kata hikmah yang diambil dari sastra Arab, yang mengutamakan harga diri.
Rupanya dengan harga diri yang ia tegakkan ini, ia menjumpai Tuhannya, dan Tuhan kita sekalian. la berjuang dari masa mudanya dengan segala kelemahan dan kekuatannya, dan ia tidak pernah duduk dalam kekuasaan resmi. Tetapi betapapun, di atas paham kejujuran yang ia dambakan dari masa ke masa, dan pada saat ia tidak mempunyai apa-apa kedudukan resmi lagi (kecuali sebagai ketua umum Yayasan yang mengurus mesjid (Al-Azhar), ia dipanggil Allah Swt. Dan tanpa diserukan oleh siapa pun juga, termasuk penguasa, orang berbondong melepasnya ke pemakaman. Dan bumi pun bagai turut bersedih; seperti juga pada pemakaman Hatta, air menitis membasahinya.
Banyak contoh yang dapat dikemukakan lagi. Dan banyak pula ibarat yang bisa ditampilkan tentang orang-orang yang berkuasa ataupun pernah berkuasa serta mempunyai berbagai tanda jasa, yang dimakamkan dengan ‘segala ‘macam upacara kebesaran, tetap diiringi oleh sekedar sanak keluarga dan angkatan-angkatan yang bertugas dalam mendengar atau membaca berita tentang – kematiannya, orang mungkin juga terharu karena memang peristiwa-peristiwa kudus seperti ini menimbulkan keharuan. Orang juga akan mengucapkan “innalilahi”, tetapi orang juga akan teringat pada kecurangan dan ketidakadilannya, pada kebengisannya yang tersembunyi dan ‘terbuka, ketika ia hidup dalam kekuasaan.
Oleh sebab itu, bagi kita yang melihat segalanya ini, termasuk sebagian kita yang terbawa oleh arus dan gelombang kekuasaan dan politik pada umumnya, terbuka pilihan: Kita bisa pilih antara keadilan dan ketidakadilan, antara kejujuran dan kecurangan, antara keikhlasan dan ’’sifat mumpung’’ antara kekuasaan untuk menegakkan nilai-nilai tinggi tadi atau kekuasaan untuk kuasa! Kita pun bisa pilih antara orang yang berpegang pada prinsip-prinsip. yang baik tadi dan menegakkannya, atau orang yang mempergunakan prinsip-prinsip yang tidak baik, dalam perjalanan hidupnya, terutama dalam menjalankan kekuasaan. Namun dalam tiap pilihan yang kita lakukan, kita harus bertanggung jawab bila tidak di dunia, di akhirat nanti. Karena memang hidup ini tidak terputus atau ‘terbatas pada dunia belaka. Mudah-mudahan pilihan kita jatuh kepada keadilan, .kejujuran, kelurusan, keikhlasan, dan kepada orang-orang yang benar-benar menegakkannya. Amin.
Penulis: Prof. Dr. Deliar Noor (1926-2008), ilmuwan politik, antara lain pernah menjabar rektor IKIP Negeri Jakarta (kini UNJ/Universitas Negeri Jakarta)
Sumber: Panji Masyarakat No. 336, 21 September 1981