Tiap orang akan sangat gembira bila ia sukses, berhasil, dalam apa yang ia lakukan: dalam olahraga, studi, dagang, industri, ataupun pekerjaan lain, dan tentu juga dalam berumah tangga. Bagi orang yang beragama sukses ini diiringinya, dengan bersyukur, secara sendiri ataupun bersama seperti dengan mengadakan kenduri (selamatan), resepsi atau peringatan dalam bentuk lain. Tetapi peringatan seperti ini terkadang lebih pula memperlihatkan tanda ria (bermegah) dari pada syukur. Sebaliknya orang akan kecewa bila ia gagal. Bergantung pada iman seseorang apakah kekecewaannya itu dapat ia batasi atau berkembang menjadi kekesalan atau lebih dari itu: seperti frustrasi, disertai pula dengan umpatan (siapa pun yang ia umpat itu); ataukah ia dengan sabar mengingat kegagalannya untuk dapat mengubahnya menjadi sukses pada kali lain.
Tulisan ini akan mencoba melihat soal sukses atau kegagalan ini dalam rangka politik. Hal ini menyangkut bukan saja orang-seorang yang berkecimpung di dalamnya, melainkan menyinggung ataupun menyeret banyak orang. Bukan saja kawan, tetapi juga orang-orang yang tak dikenal oleh yang bersangkutan; malah bisa pula menyangkut seluruh bangsa. Tetapi sebelum kita melangkah ke dalam persoalan ini, sukses dan kegagalan itu kita coba Iebih dahulu menelaahnya dalam rangka bidang lain. Barangkali dengan demikian ada persamaan (ataupun kelainan), sekurang-kurangnya perumpamaan, yang dapat diperhatikan, yang kemudian akan membantu kita menjelajahi masalah pokok. sukses dan kegagalan dalam politik.
Seperti dikatakan tadi, di antara bidang-bidang yang kita lakukan ada yang menyangkut diri kita saja, atau sebagian kecil orang-orang lain yang dekat dengan kita. Tetapi juga yang menyangkut banyak orang. Ketika kita masih kecil, kemudian remaja, dalam rangka kita bersekolah keberhasilan kita bukan saja akan menggembirakan kita sendiri, melainkan juga orang tua, kaum kerabat, dan handai tolan kita. Mereka malah turut bangga dengan sukses kita itu. Demikian juga dalam kita berolahraga. Dan bila kita gagal dalam studi dan olahraga itu, mereka pun turut sedih dan kecewa. Umumnya mereka akan mendorong semangat kita agar jangan kecewa, dan agar kesedihan yang menimpa kita hilang; mereka pun turut mendoakan serta mengharapkan agar pada masa berikutnya kita akan lebih berhasil. Maka dapatlah kita simpulkan bahwa dalam bidang (seperti studi dan olahraga tadi yang tampaknya merupakan bidang yang dimasuki secara individual, ada saja Orang sekitar kita yang turut merasa gembira dengan kegembiraan kita, dan sebaliknya turut bersedih dalam kegagalan kita.
Tetapi perlu pula diperhatikan bahwa baik kegembiraan, maupun kesedihan itu, pada diri kita dan pada diri mereka yang seperasaan dengan kita, banyak sedikitnya bergantung pada kejujuran dan kelurusan kita. Dalam studi tadi umpamanya, kita terpengaruh oleh penilaian apakah kita jujur -dalam arti telah bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga materi yang kita pelajari sudah kita kuasai, dan kita umpamanya dapat mulus dalam ujian. Ataukah kita bermalas-malas, dan masih mengharapkan keberhasilan? Dalam hal yang akhir ini, kemungkinan kesedihan kawan, kerabat dan orang tua kita bila kita gagal tidaklah sedalam bila kita sudah bekerja giat dan rajin. Agaknya pun ada di antara mereka yang menyesali kita karena telah bermalas-malas itu. Demikian pula soalnya dalam olahraga.
Dalam keadaan biasa, dalam usaha dagang dan industri, kita jumpai juga persamaan kegembiraan dan kekecewaan itu seperti dalam studi dan olahraga gembira dan bersyukur bila berhasil, sedih dan kecewa bila gagal. Tetapi dalam kedua bidang akan ada aja Orang yang terus menyanjung kita dalam usaha dagang dan industri ini, apa pun yang kita lakukan dalam keberhasilan itu. Artinya, akan ada saja orang yang tidak melihat kepada soal cara dan upaya dalam Keberhasilan itu; tidak soal apakah Kita berhasil dengan penipuan dan kecurangan, dengan merugikan orang lain ataupun negara, dengan melanggar peraturan dan undang-undang yang berlaku (asalkan tidak ketahuan!). Tetapi, kawan sebenar kawan, dan orang tua serta kerabat yang lebih suka melihatkan kita “selamat’’ (apalagi dalam pengertian dunia dan akhirat) akan berharap tentunya bahwa keberhasilan kita memang diperoleh dengan kejujuran dan bukan kecurangan, Kegembiraan memang akan berlipat ganda rasanya bila sukses itu tidak dibayangi dengan kemungkinan balas dendam orang (disebabkan kecurangan kita) atau pengejaran alat negara (karena melanggar peraturan).
Kebetulan sekali, ketika karangan ini sedang ditulis, Australia, benua di sebelah Selatan negeri kita, sedang dilanda kemelut ekspor daging sapi. Sebagai diketahui daging sapi merupakan bagian besar dari expor negeri Kanguru ini. Dengan tiba-tiba saja ekspor tersebut kini terancam karena dijumpai di Amerika Serikat — negeri pengimpor penting dari daging sapi Australia — campuran daging kuda pada daging yang disebut daging sapi dari Australia itu. Malah kemudian ternyata bahwa ada pula daging kanguru diberi cap daging sapi. Orang di Amerika (berbeda dari di negeri kita seperti Payakumbuh dan Cianjur; atau Timur Tengah) tidak makan daging kuda, dan daging kanguru memang tak lazim dimakan manusia. Buat Australia sendiri daging kuda dan kanguru biasanya disediakan untuk campuran makan hewan piaraan.
Keberhasilan Australia dalam ekspor daging sapi ini sedang dibayangi oleh kerugian yang akan menimpa industri daging, di samping soal kepercayaan.
Oleh sebab itu maka sifat jujur dan lurus merupakan jalan yang terselamat dalam keberhasilan. Dalam studi, kebiasaan menyontek tidak akan membawa kegembiraan walau berhasil, dan dalam olahraga orang diundang untuk mencibirkan bibirnya tanda cemooh bila terjadi kecurangan dalam kemenangan; mungkin pula suara ejekan akan meninggi. Dengan jujur dan lurus jadi kegembiraan dan rasa syukur pun bersifat bulat, penuh. Oleh sebab itu kejujuran dan kelurusan Merupakan prinsip yang penting dalam menilai keberhasilan dan kegagalan.
Apakah prinsip ini juga berlaku dalam politik? Yang kita maksudkan dengan politik di sini tentulah politik di masa damai, bukan dalam peperangan, karena perang adalah tipu daya. Apakah prinsip jujur dan lurus tadi berlaku juga dalam politik?
Jawabannya, ya dan tidak. Kalau politik itu sekadar dikaitkan dengan kuat dan kuasa — dua nilai penting dalam politik — maka prinsip jujur dan lurus kurang, dan malah mungkin, tidak dianggap penting. Prinsip atau nilai kuat dan kuasa mendorong orang asal menang! Apa pun yang terjadi. Artinya, asalkan menang maka ’’tujuan pun menghalalkan cara’’. Padahal di balik kemenangan itu sumpah serapah akan tiba kepada si pemenang, baik sumpah itu diucapkan ataupun’ sekedar tertera dalam hati. Lawan yang kalah, oleh karena kecurangan si “pemenang’’, akan melawan atau akan diam — bergantung pada keadaan serta sifatnya pula. Tetapi tetap akan tercatat — yang segera atau lambat akan pasti ketahuan — apakah seseorang atau sekelompok itu dalam politik menang dengan jujur serta lurus atau dengan penipuan.
Yang pertama akan dikenang, yang kedua akan diumpat malah mungkin dilaknat. Prinsip lurus dan jujur akan menimbulkan segan dan hormat orang; prinsip asal menang mengundang cacian dan makian serta kutukan sungguhpun mungkin dalam bermuka-muka hal-hal ini tidak kentara. Perlu sekali diingat bahwa hormat dan kutukan ini tidak datang dari pihak yang kalah saja. Oleh karena politik menyangkut banyak orang, maka suatu peristiwa politik yang secara langsung pada lahirnya mengenai segolongan atau beberapa golongan orang, akan menyangkut banyak orang dan banyak pihak pula; mungkin sekali rakyat pada umumnya. Jadi hormat dan kutukan bisa datang dari rakyat umum. Oleh karena itu, maka soal gagal atau berhasil dalam politik perlu sekali diletakkan atas prinsip tertentu: jujur, lurus, atau sebaliknya curang.
Bersambung
Penulis: Prof. Dr. Deliar Noor (1926-2008), ilmuwan politik, antara lain pernah menjabar rektor IKIP Negeri Jakarta (kini UNJ/Universitas Negeri Jakarta)
Sumber: Panji Masyarakat No. 336, 21 September 1981