Aktualita

Memilih Antara Cinta Partai dan Cinta Bangsa

Avatar photo
Written by Arfendi Arif

Partai politik merupakan salah satu institusi yang ada di masyarakat dan negara. Ia merupakan bagian dari ciri negara moderen dan negara demokrasi. Partai politik menjadi sebuah institusi yang diakui secara sah untuk ikut berkompetisi dan berkontestasi untuk berperan memimpin negara, memimpin daerah dan mengisi lembaga legislatif melalui pemilihan umum.

Karena partai terlibat dengan perebutan kekuasaan melalui mekanisme yang sah, maka kedudukan partai menjadi sangat penting. Sebuah partai bisa dikatakan besar kalau ia mempunyai anggota yang besar, dipilih oleh rakyat dengan jumlah suara yang besar, menguasai parlemen, memimpin negara dengan menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan lainnya.

Dengan demikian partai memperebutkan suatu posisi penting dan strategis dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bahkan dalam kehidupan ini. Bila dipertanyakan dalam kehidupan riil ini apakah ada yang lebih berharga selain kekuasaan?

Jawabannya pastilah kekuasaan sesuatu yang menjadi obsesi manusia untuk mendapatkannya, termasuk partai politik.

Karena politik adalah jembatan atau wadah untuk mendapatkan kekuasaan, maka tingkat antusiasme atau fanatisme politisi pada partai boleh dikatakan bisa melebihi dari yang lainnya. Apalagi, kalau partai tersebut telah memegang kekuasaan, ia akan berusaha mempertahankan dengan berbagai cara.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa ada kemungkinan dalam kehidupan berpolitik orang lebih mencintai partainya dari pada bangsa dan tanah airnya. Karena itu dalam berpolitik terasa sulit mewujudkan seorang menjadi pemimpin semua golongan atau pemimpin nasional.

Sebuah partai yang memenangkan pemilu atau pilpres, misalnya, yang seharusnya figurnya menjadi pemimpin mewakili semua golongan akan sulit diwujudkan, akan masih ada anggapan bahwa ia pemimpin golongan atau partai. Kesan ini sulit dihapuskan dan akan masih ada anggapan kesan kepemimpinan sektoral atau sempit tersebut

Presiden Jokowi, umpamanya, yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum harusnya ia menjadi pemimpin untuk semua golongan, tapi oleh pengusungnya partai PDIP ia disebut “petugas partai” yang secara tidak langsung ia dianggap bukan pemimpin untuk semua golongan, tapi menjadi presiden dari partainya. Padahal, seharusnya setelah ia dipilih melalui pemilihan umum harusnya menjadi “petugas rakyat”. Dan, Megawati Ketum PDIP pernah mengatakan, Jokowi tanpa PDIP tidak akan jadi presiden.

Demikian juga anggota DPR yang dipilih oleh rakyat seharusnya ketika duduk di DPR harus menganggap dirinya mewakili rakyat, bukan lagi wakil partai. Tapi, dalam kenyataannya ia masih mengangap wakil partai. Dan harus patuh pada partainya jika ada kebijakan yang harus dijalankan. Demikian juga kita lihat di DPR, kenapa harus ada pengelompokan fraksi-fraksi, bukankah ini hanya menimbulkan fanatisme golongan atau fanatisne ke partaian. Padahal, yang kita harapkan adalah begitu orang menjadi anggota dewan sudah cukup mereka mewakili rakyat saja, jangan lagi menganggap sebagai wakil partai.

Jika konsep cinta partai yang lebih dominan dalam kehidupan politik kita, maka bisa saja terjadi dalam kepemimpinan politik dan negara kita asas pemerintahan yang adil dan taat hukum timbul kepincangan. Penegakkan hukum akan terjadi tebang pilih. Bila pihak yang berseberangan dengan pemerintah melakukan kesalahan, umpamanya, akan dipenjarakan atau diperkarakan. Sedang bila yang melakukan kesalahan dari pihak yang pro pemerintah, didiamkan saja, hukum tidak berjalan alias mental dan kebal dari hukum.

Karena itu benar apa yang dikatakan oleh Miriam Budiardjo, bahwa ada kalanya partai mengutamakan kepentingan partai di atas kepentingan nasional. Loyalitas yang diajarkan adalah loyalitas kepada partai, yang melebihi loyalitas kepada negara. Dengan demikian dia mendidik pengikut-pengikutnya untuk melihat dirinya dalam konteks yang sangat sempit. Pandangan ini malah dapat mengakibatkan pengkotakan dan tidak membantu proses integrasi ( Miriam Budiardjo, penyunting, Partisipasi dan Partai Politik, Sebuah Bunga Rampai, PT Gramedia, Jakarta,1981, hal.16).

Miriam Budiardjo menambahkan, seringkali partai malahan mempertajam pertentangan yang ada. Dan kalau hal ini terjadi dalam suatu masyarakat di mana kadar konsensus nasional adalah rendah, peranan semacam ini dapat nembahayakan stabilitas politik.

Dalam konteks tahun politik sekarang menjelang pemilu legislatif, pilpres, pilkada dab DPD tahun 2024 sudah mulai kelihatan konflik dan pertentangan yang tajam, baik di antara partai politik sendiri maupun masyarakat melalui medsos. Ini tentu akan menimbulkan keterbelahan dalam masyarakat atau munculnya disintegrasi sosial dan politik.

Semua efek negatif di atas salah satu faktorya, bahwa dalam berpolitik faktor cinta kepada partai mungkin lebih besar ketimbang cinta kita pada tanah air dan bangsa. Kita sering mengulang-ulang semboyan NKRI harga mati. Kalau kita konsekuen dengan semboyan tersebut harusnya cinta kita pada tanah air harus lebih besar dari pada cinta pada partai. Dan ini harus ditunjukkan pada perilaku kita dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan mensejahterakan rakyat.

About the author

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda