Tafsir

Ijtijad dalam Tafsir

Written by Panji Masyarakat

PENDAPAT yang menyatakan  bahwa ijtihad hanya terdapat dalam fikih memang ada referensinya, yaitu Schacht dalam Encyclopaedia of Islam, lagi-lagi justru seorang orientalis. Tetapi pendapat yang berlainan dengan pendapat itu, yang menyatakan bahwa ijhad tidak terbatas penggunaannya dalam fikih saja, juga ada referensinya, yaitu Gibb dan Kraemer dalam Shorter Encycpaedia of Islam, bila referensi itu hendak dicari dari kalangan orentalis pula. Namun yang menyatakan bahwa jitihad juga digunakan dalam Tafsir adalah Ibnu Taimiyah, mbah-nya para mujaddid, dalam Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir. Kamus Umum Bahasa Indonesia saja, dalam hal ini, tampak lebih jeli, ketika ia menyatakan bahwa ijtihad adalah “usaha: pemeriksaan (penyelidikan tentang sesuatu hal; pendapat; tafsir; maksud; dan berijtihad adalah ”mempelajari dan menafsirkan menurut pikiran sendiri; mengira:berpendapat.” Jadi tidak menyempitkan pemakaian ijtihad.

Ijtihad sesungguhnya, berarti memeras otak untuk menghasilkan pendapat tentang suatu persoalan. Dalam perkembangan kemudian, ijtihad memang identik maknanya dengan mengeluarkan (istinbath) hukum perdasarkan hukum yang sudah diketahui. Tetapi, kemudian, setelah hukum fikih mengalami kebekuan (jumud), timbullah reaksi dengan. munculnya pembaharuan yang berawal dari Ibn Taimiyah. Sasaran pembaharuan, sebagaimana dapat dilihat dalam sejarah pembaharuan itu, tidak hanya dalam bidang fikih. Untuk melihat bagaimana ijtihad juga dipakai dalam tafsir, maka kita juga harus melihat sejarah.

Sumber tafsir utama dan pertama dalam sejarahnya adalah Al-Qur’an itu sendiri, yang dalam Ilmu Tafsir, terkenal dengan istilah Tafsir Al-Qur’an bil- (dengan) Qur’an. Artinya ayat-ayat ada di antaranya yang menafsirkan ayat lain. Bentuk-bentuk tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an itu, misalnya, adalah penjelasan terperinci, seperti keterangan yang lebih lengkap dalam ayat-ayat lain tentang kisah Adam dengan Iblis dan Musa dengan Fir’a un; penjelasan atas pengertian yang sangat umum, seperti perincian mengenai binatang-binatang yang haram dimakan dalam surat Al-An’am: 3 yang menjelaskan ayat  surat itu juga; penegasan ciri, seperti Surat Nisa’: 92 yang menegaskan bahwa denda menzhihar isteri adalah memerdekakan budak dan budak itu adalah budak yang mukmin; atau menyatukan keterangan-keterangan yang terpencarpencar, seperti ayat-ayat yang menyatakan tentang asal-usul Adam, dalam satu ayat dikatakan dari tanah, dalam ayat lain dan tembikar, dan lain-lain yang kesemuanya itu bila di satukan akan diperoleh kesimpulan bahwa ayat-ayat itu menunjukkan periode-periode penciptaan Adam.

“Bila tafsir tidak dapat diperoleh dari Al-Qur’an sendiri dan dari Hadis maka para sahabat melakukan ijtihad. Ijtihad itulah yang di antaranya yang dimaksud oleh Hadis Mu’‘az ketika ditanya Nabi sewaktu akan diutus ke Yaman tantang apa yang akan dilakukannya dalam menyelesaikan persoalan.”

Bila tafsir tidak dapat diperoleh dari dalam Al-Qur’an sendiri, maka ia dapat dicari dari Hadits sebagai sumber kedua. Bentuk-bentuk tafsir dengan Hadis misalnya adalah penjelasan terperinci, misainya penjelasan hadits tentang waktu-waktu salat lima waktu; penjelasan atas ayat yang samar pengertiannya, misalnya hadits tentang makna boleh makan dan minum pada malam bulan puasa sampal terlihat “benang putih di atas benang hitam”, yaitu malam dan siang; penyempitan makna yang umum, seperti hadits tentang makna “zalim” dalam surat al-An’am: 82 adalah “syirik”; penegasan makna tertentu, misalnya Hadis tentang yang dimaksud dengan “Orang-orang yang dimurkai” dalam surat al-Fatihah adalah “orang-orang Yahudi” dan yang dimaksud dengan “orang-orang yang sesat” adalah “orang-Orang Nasrani”; penegasan tambahan tentang sesuatu hukum, misalnya hadis tentang diharamkannya juga mengawini seorang perempuan bersama bibinya; pembatalan tentang sesuatu ukum, misalnya hadis bahwa ahli waris tidak boleh menerima wasiat; penguatan atas ayat, misalnya tentang makna ayat takwalah kalian berkenaan dengan wanita”, yaitu “perlakukanlah oleh kalian wanita itu dengan baik”. Demikian Az-Zahabi dalam At-Tafsir wal-Mufassirun.

Bila tafsir tidak dapat diperoleh dari Al-Qur’an sendiri dan dari Hadits, maka para sahabat melakukan ijtihad. Ijtihad itulah di antaranya yang dimaksud oleh hadits Mu’az ketika ia ditanya oleh Nabi sewaktu akan diutus ke Yaman tentang apa yang akan dilakukannya dalam menyelesaikan persoalan yang ditemuinya di sana, yang dijawabnya bahwa ia akan mencari penyelesaiannya dari Al-Qur’an, kemudian dari Hadits, dan bila tidak diperolehnya, ia akan melakukan ijtihad. Nabi ketika itu senang dan menepuk-nepuk bahu Mu’az.

Masalah-masalah yang dihadapi Mu’az di Yaman pastilah tidak mungkin dalam bidang hukum saja. Ibn Taimiyah justru menggunakan hadits Mu’az itu sebagai dalil penggunaan ijtihad dalam tafsir. ijtihad dalam tafsir sudah digunakan oleh para sahabat dan tabi’in. Sahabat yang terkenal mempunyai otoritas yang tinggi dalam menafsir adalah para khalifah yang empat, Ibn Mas’ud, dan Abdullah bin Abbas, putra paman Rasul yang beliau doakan supaya betul-betul faham tentang agama dan tafsir, sehingga belakangan terkenal dengan gelar Tarjuman Al-Quran. Dan di antara para tabi’in adalah dan Tirmuzi.

Tetapi, menafsir dengan mengandalkan hanya pikiran bebas oleh Ibn Taimiyah dinyatakan haram hukumnya. Ia menurunkan hadits bahwa siapa saja yang mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an  maka Orang itu harus mencari tempatnya nanti di dalam neraka. Bahkan sekalipun pendapat dari pikiran bebas itu benar, orang itu tetap berdosa, sekalipun dosanya lebih ringan. Dengan demikian, pengetahuan merupakan penentu kebolehan seseorang menafsirkan Al-Qur’an. Pengetahuan yang dimaksud oleh Ibn Taymiyah di sini adalah pengetahuan tentang bahasa Arab dan agama (syara’). Oleh karena itu, Ibn Taimiyah membagi tafsir empat macam, yaitu tafsir yang dipahami oleh umumnya orang Arab, tafsir yang tidak menjadi cacat bagi seseorang bila tidak mengetahuinya, tafsir yang hanya bisa diketahui oleh ulama, dan tafsir yang tidak dapat diketahui oleh siapapun selain Allah.

Ringkasnya, biarlah ijtihad dalam Islam tidak menjadi monopoli ‘fuqaha’ (ulama-ulama fikih) saja.

Penulis: Prof. Dr.Salman Harun, Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Artikel ditulis saat dia menjadi mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Jakarta (1986).

Sumber: Panji Masyarakat, No. 502, 1 Mei 1986.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda