Salah satu fenomena yang sering terjadi menjelang berlangsungnya pemilu dan pilpres adalah para politisi pindah partai. Apakah yang mendorong munculnya pindah haluan partai ini?
Secara ringkas bisa digambarkan ada dua faktor mendasar. Pertama, faktor idealis dan kedua faktor pragmatis. Faktor idealis, ini disebabkan partai dianggap tidak lagi bisa mewadahi cita-cita dan harapan politisi. Harapan itu bisa dalam bentuk kebijakan partai, misalnya, sebuah partai yang awalnya didirikan menyatakan sebagai partai oposisi kemudian beralih menjadi partai yang berpihak kepada pemerintah. Dengan adanya partai berkoalisi dengan pemerintah, maka partai akan kehilangan watak kritisnya dan tidak menjalankan fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat.
Kedua, partai yang tidak komit dengan visi dan missinya. Misalnya, partai yang menyatakan sebagai partai yang berpihak pada orang-orang kecil atau wong cilik, namun dalam perjalanannya menjadi partai yang membela penguasa atau pemilik modal, sehingga wong cilik yang menjadi taqlinenya atau fokus perjuangannya tidak lagi diindahkan. Ini juga bisa menjadi kader partai tersebut hengkang dari partai.
Ketiga, ada partai yang selalu dirundung konflik internal yang tidak terselesaikan. Kondisi ini menyebabkan kader partai tersebut merasa tidak nyaman dan merasa kehadirannya sia-sia dan membuang-buang waktu. Sehingga memutuskan lebih baik pindah partai saja.
Faktor yang kedua, yang disebut pragmatisme, saat ini lebih populer disebut politisi “kutu loncat”. Politisi ini pindah partai hanya melihat peluang ia bisa lolos ke Senayan. Jika di partai sebelumnya ia melihat tidak menguntungkan, maka ia akan mudah berpindah ke partai lain. Bisa juga jika di partai lamanya tidak dicalonkan lagi, maka ia segera mencari partai lain untuk berlabuh.
Mencegah terjadinya kebiasaan pindah partai ini, maka partai sebaiknya melakukan seleksi yang ketat dalam menerima anggota partai. Seleksi itu dengan meyakinkan para calon anggota partai bahwa partai bukan semata mengejar kedudukan, baik sebagai pejabat maupun anggota dewan, tapi ada idealisme dan cita-cita yang diperjuangkan. Dan cita-cita atau idealisne tersebut menjadi pengikat, dihayati serta diyakini dengan total oleh anggota partai. Dengan keyakinan ini maka diharapkan anggota partai tidak mudah berpindah-pindah ke partai lain.
Demikian juga partai jangan mudah tergiur dengan para figur yang dianggap mudah mendulang suara. Misalnya, partai dengan mudah memasukkan para publik figur apakah artis atau selebriti lainnya diterima sebagai caleg dan politisi. Harus diuji komitmen, kesetian serta idealismenya masuk partai. Kalau hanya dilihat sebagai pendulang suara, sementara komitmen dan cita-citanya tidak jelas, atau semata ingin mengincar jadi anggota dewan, maka bisa dipastikan kader politisi model ini akan mudah pindah-pindah partai alias menjadi politisi kutu loncat.
Begitupun, saat ini di lingkungan partai bisa saja terjadi “bajak membajak” anggota partai. Misalnya, jelang pemilu ada tawaran untuk menjadi caleg oleh partai tertentu dengan kompensasi tidak dikenakan mahar, bahkan diberi bantuan untuk biaya sosialisasi atau kampanye. Sedangkan soal loyalitas ke partai tidak diperhatikan. Ini juga bisa menjadi peluang munculnya perilaku tidak setia ke partai.
Tentu, suatu partai yang anggotanya mudah berpindah-pindah akan memberikan citra yang kurang baik terhadap partai. Dan, partai sebagai kaderisasi untuk melahirkan calon pemimpin juga akan terganggu.
Menjelang pemilu dan pilpres 2024 ini sudah mulai terasa bakal munculnya fenomea pindah partai. Bukan saja terjadi di tingkat politisi lapis bawah, tapi juga di tingkat elit partai. Misalnya, ramai diberitakan di media bahwa politisi Gerindra yang juga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno telah keluar dari Gerindra dan diisukan akan merapat ke PPP. Bahkan, muncul berita ia bakal jadi cawapres Ganjar Pranowo yang diusung PDIP.
Juga muncul dalam pemberitaan pendiri Partai Hanura Jendral (purn) Wiranto sedang merapat ke Gerindra, dan keluar dari Hanura karena merasa tidak cocok dengan kepemimpinan Hanura sekarang.
Bahkan, beberapa pentolan partai lain seperti Prof. Amien Rais pendiri PAN, bukan hanya keluar dari PAN, tapi mendirikan partai baru yaitu Partai Ummat. Soalnya, karena sudah tidak sejalan dengan kepemimpinan PAN sekarang.
Hal yang sama juga terjadi di PKS, karena konflik yang terjadi, elit Partai PKS antara lain Anis Matta dan Fahri Hamzah mendirikan partai Gelora.
Apa yang terjadi di atas adalah fenomena dan riak-riak kehidupan politik jelang pesta besar demokrasi tahun 2024.
Dalam hal gejala pindah partai ini menarik ucapan Ketum Gerindra Prabowo Subianto. Bahwa, partai itu adalah alat perjuangan, bukan kendaraan politik seperti bus, dimana orang bisa berhenti dan turun seenaknya.
Pernyataan Menhan Presiden Jokowi ini agaknya mengingatkan para politisi akan pentingnya punya idealisme dan cita-cita luhur dalam berpolitik