Kebaikan (al-khair) dan keburukan (asy syarr) adalah dua makna yang tercakup dalam satu jiwa, yang dapat diketahui dengan tanda-tanda tertentu. Tanda-tanda ini dapat terlihat dari perbuatan seseorang, kata-katanya, atau mungkin tercuat dari bentuk aur mukanya. Sullam bin Amru membuat dendang syair begini:

“Jangan tanya seseorang tentang kelakuannya! (Lihat) di wajahnyu ada saksi berita! “
Di antara perbuatan baik adalah rasa malu, al haya. Dan di antara perbuatan buruk adalah umpatan. Bersabda Rasulullah Saw:

“Sikap malu dan kalem adalah dua cabang iman. Caci maki dan lancang mulut adalah dua cabang sifat munafik.”
Tentu keduanya mengandung risiko. Sekali lagi beliau bersabda: “Al-haya adalah daripada iman dan iman tempatnya di surga. Sedangkan lancang mulur (al-badza) adalah kebengisan, dan kebengisan terminalnya neraka”.
Karena itu, orang kerap memilih lafal “tak tahu malu”, untuk menunjuk perbuatan kurang ajar atau kebal muka. Bagi yang terbiasa, orang tidak akan malu-malu lagi berbuat tak senonoh meski disaksikan umum. Sikap itu tercermin, sebagai contoh, pada beberapa produser rekaman yang melipatgandakan jumlah kaset-kaset konser musik Live Aid, yang menggegerkan baru-baru ini, dan mencoreng wajah Indonesia di mata dunia. Tanpa tahu malu, para produser itu mengeruk untung milyaran dari hak orang-orang Afrika yang sekarat kelaparan.
Sikap iman yang semakin “menipis” (yanqush) membuat sebagian remaja puteri tidak malu-malu lagi bunting sebelum menikah. Dulu. orang tua mau membunuh anaknya yang tertimpa “kecelakaan” semacam itu, untuk menutup coret arang di muka keluarganya. Sekarang tidak. Dan Umar ra memerintahkan pencambukan anaknya, Abu Syahmah, hingga tewas karena berzina. Anjuran beberapa sahabat untuk mem-“peti es”-kan perbuatan anaknya ditolak tegas oleh Umar. “Hei anakku, lebih baik engkau menerima hukuman ini sekarang, daripada nanti ayahmu menanggung malu di hadapan Allah di akhirat!” kata Umar kepada anaknya. Adat “mundur” dari jabatan, adalah kebiasaan sebagian masyarakat Jepang, jika menurutnya kalau kursi Itu diduduki, ia akan menanggung malu di depan rakyat. Berkata seorang penyair:

“Jika menciut air muka, berkuranglah malunya. Dan tidak ada kebaikan pada wajah yang menciut airnya Malu-mu jagalah untuk dirimu sendiri, karena rasa malunyalah yang menunjukkan perbuatan mulia.”
Para Kiai atau santri di pesantren-pesantren adalah contoh manusia yang Paling banyak memiliki watak malu. Kitab-kitab akhlak, tauhid, tasawuf atau fikih selalu mengurai butir-butir peribahasa atau puisi-puisi yang menyuruh bersikap khudhu’, merendah diri. Banyak ulama yang tidak suka publisitas. Tidak berarti karena tak bisa apa-apa, bahkan karena semakin mendalam lautan ilmunya. Abu Dzarr Al Ghiffari, seorang sahabat Nabi paling pemalu. Ia dikenal sangat alim dan luar biasa jujurnya. Menyudut ke pinggir kota, menghindarkan seluruh tawaran jabatan yang diberikan kepadanya. Namun sekali dipinta fatwanya, ia mengkritik lantang keburukan tatanan sosial dan kebobrokan penguasa setempat dengan jujur, tanpa malu-malu.
Seorang hukama mengatakan: ” Barangsiapa menutup dirinya dengan baju malu, selamanya orang tidak akan melihat cacat dirinya.” Yang lain mengatakan: “Hidupnya muka adalah dengan malunya, sebagaimana hidupnya tanaman adalah dengan airnya.” Karena itu, orang yang berbuat semaunyalah yang tak tahu malu. Berkata Nabi Saw: “Wahai manusia, kalau kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu!”
Seorang penyair telah membuat kejelasan Hadits ini dan menguraikannya dalam puisinya:

Jika engkau tidak takut bencana, atau tidak malu, berbuarlah sesukamu ! Tidak, demi Allah, tidak ada kebaikan dalam kehidupan ini, dan akan lenyap dunia, Jika tercabut rasa malu.
Orang hidup sepanjang malu karena kebaikan, sebagaimana tumbuhan kekal, sepanjang masih ada kulit pembungkusnya.
Ada tiga rupa sifat malu: Malu manusia dari Allah, malunya dari manusia lain, dan malunya kepada dirinya sendiri.
Malu kepada Allah, adalah dengan mengikuti perintah-Nya dan menjauhkan larangan-Nya. Ibnu Mas’ud meriwayatkan, bahwa Nabi Saw berseru: “Malulah kalian kepada Allah ‘azza wa jalla dengan malu yang sesungguh-sungguhnya!” Orang-orang bertanya: “ Bagaimana kami malu kepada Allah dengan sungguh-sungguh?” Beliau menerangkan:
“Barangsiapa memelihara kepala dan isinya, perut dan muatannya, menempiskan perhiasan dunia, mengingat maut dan siksa, berarti dia sudah berbuat malu kepada Allahdernganmalu yang sesungguh-sungguhnya. “
Seorang muslim pernah datang kepada Nabi Saw, “Wahai Rasul, berilah aku nasihat!” Menjawab Rasulullah: “Malulah kepada Allah azza wa jalla, seperti halnya engkau malu kepada orang-orang terhormat dari kaummu.”
Adapun malu kepada manusia, adalah dengan menahan cacian (kaffil adza) dan meninggalkan keburukan secara terus terang (tarkil mujaharah bil qabih). Berkata Rasulullah Saw:

“Di antara takwa kepada Allah, adalah takwa (sesuai) kepada manusia.”
Jenis haya ini, bisa muncul dari tata sopan yang baik atau pujian-pujian sepantasnya. Karena itu Rasulullah Saw menegaskan: “Barang siapa mengenakan jilbab haya, ia tak Akan terfitnah.”
Sedangkan malu manusia kepada dirinya sendiri, adalah dengan kesucian diri atau meninggalkan keinginan yang hina (‘iffah), dan memelihara perenungan diri (shiyanah al- khalawat). Seorang ahli hikmat mengatakan:

“Hendaknya malu-mu kepada dirimu sendiri lebih besar daripada malu-mu kepada orang lain.”
Jenis haya ini, terbit dari keutamaan jiwa (fadilatun-nafs) dan keindahan lakulampah (husnu al sarirah). Kapan saja seseorang “sempurna” dalam tiga bentuk sifat haya ini, maka sempurnalah baginya jalan-jalan kebaikan, dan tercegah darinya biang-biang kejahatan. Al Haya, rasa malu yang positif, perlu ditumbuhkan.
Penulis: Didin Sirojuddin AR, pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat sebelum total menjadi penulis dan pelukis kaligrafi dan dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia juga pendiri Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka) dan Pondok Pesantren Kaligrafi Lemka, Sukabumi, Jawa Barat.
Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 1 Januari 1986